Opini
Guru dalam Perspektif Islam
Mengajarkan ilmu merupakan suatu ibadah kepada Allah Ta’ala dan dari segi yang lain merupakan tugas manusia menjadi khalifah Allah
OLEH Dr MURNI SPd I MPd, Wakil Ketua III STAI Tgk Chik Pante Kulu
“GURU adalah seseorang yang bekerja untuk menyempurnakan, membersihkan dan menyucikan serta membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza Wa Jalla.
Ia juga mengatakan bahwa dari satu segi, mengajarkan ilmu merupakan suatu ibadah kepada Allah Ta’ala dan dari segi yang lain merupakan tugas manusia menjadi khalifah Allah.
Sementara dengan melaksanakan tugas tersebut, maka ia telah menjadi khalifah Allah yang paling mulia.” (Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin: 1994).
Guru yang utama dan utama adalah orang tua (ayah dan ibu), karena adanya pertalian darah yang secara langsung dan bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya, karena sukses anaknya merupakan sukses orang tua juga.
Orang tua disebut pendidik kodrat.
Apabila orang tua tidak memiliki kemampuan dan waktu untuk mendidik, maka orang tua menyerahkan sebagian tanggung jawab kepada orang lain atau lembaga pendidikan formal yang berkompetensi untuk melaksanakan tugas mendidik.
Dalam ajaran Islam, guru mendapatkan penghormatan dan kedudukan yang sangat tinggi.
Penghormatan dan kedudukan yang tinggi ini diberikan kepada guru, karena dilihat dari jasanya yang begitu besar dalam membimbing, mengarahkan, memberikan pengetahuan, membentuk akhlak dan menyiapkan anak didik agar siap menghadapi hari depan dengan penuh keyakinan dan percaya diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka bumi ini dengan baik.
Sifat yang harus dimiliki guru adalah sifat zuhud, yaitu tidak mengutamakan untuk mendapatkan materi dalam tugasnya, melainkan karena mengharapkan keridhaan Allah semata-mata.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.Yaasiin, [36] ayat: 21).
Ini tidak berati bahwa seorang guru harus hidup miskin, melarat, dan sengsara, melainkan boleh ia memiliki kekayaan sebagaimana lazimnya orang lain dan ini tidak berarti pula bahwa guru tidak boleh menerima pemberian atau upah dari muridnya, melainkan ia boleh saja menerima pemberian upah tersebut karena jasanya dalam mengajar, tetapi semua ini jangan diniatkan dari awal tugasnya, hendaklah ia niatkan semata-mata karena Allah SWT.
Dengan demikian, maka tugas guru akan dilaksanakan dengan baik, apakah dalam keadaan punya uang ataupun tidak punya uang.
Baca juga: Guru Olahraga Lecehkan 5 Siswi SMP di Medan, Diancam Jika Tak Menurut, Korban Lapor Polisi
Baca juga: Gubernur Aceh Apresiasi Kepengurusan Ikatan Guru Olahraga Nasional Aceh
Orang yang berilmu diwajibkan untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an: dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit.
Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.(QS.Al-Imran: [3] ayat: 187).
Ayat di atas mengandung peringatan bagi para ulama atau orang-orang yang berilmu, supaya mereka tetap berada pada jalannya sehingga apa yang menimpa para ahli kitab tidak menimpa dirinya.
Dengan demikian, maka para ulama harus senantiasa memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, menunjukkan amal saleh kepada orang lain, serta tidak menyembunyikan ilmu sedikitpun.
Dalam hal ini, maka seorang guru harus senantiasa mengajarkan dan mengamalkan ilmunya dengan melihat dari tingkat kemampuan para muridnya, sehingga ilmunya bermanfaat dan memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat.
Untuk itu, maka seorang guru harus senantiasa melakukannya dengan ikhlas, bukan karena tujuan duniawi semata.
Sehingga menjadi amal saleh dan menjadi manusia mulia di hadapan Allah swt.
Imam Al-Ghazali menyatakan, bahwa seorang guru tidak hanya sebatas mengamalkan ilmunya saja, akan tetapi harus dilandasi dengan keikhlasan dalam mendidik dan mengajarkan ilmunya kepada anak didik mereka.
Adapun yang dimaksud dengan ikhlas adalah berbuat suatu dengan tidak ada pendorong apa-apa melainkan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta mengharapkan keridhaan-Nya saja.
Hal tersebut menunjukkan bahwa profesi guru merupakan profesi yang paling mulia dan paling agung dibandingkan dengan profesi yang lain.
Dengan profesinya tersebut, seorang guru menjadi perantara antara manusia dalam hal ini murid, dengan pencipta yaitu Allah swt.
Maka tidak heran jika al-Ghazali mengatakan bahwa, ulama adalah pewaris para Nabi.Sesuai hadits Rasulullah SAW bersabda, “Ulama adalah pewaris Nabi,” (HR.Abu Dawud dan Tirmizi).
Baca juga: Memaknai Peringatan Hari Guru Nasional
Al-Ghazali berpendapat bahwa, guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya serta kuat fisiknya.
Dengan kesempurnaan akal, guru dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik, ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Menurut Imam al-Ghazali hendaknya seorang guru memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1). Seorang guru harus menaruh kasih sayang kepada murid-muridnya dan memperlakukan mereka seperti anak-anaknya sendiri.
Dalam hal ini Rasul sebagai pendidik umat memisahkan dirinya sebagai ayah bagi para sahabatnya dalam hal ini sebagai anak didik.
2). Hendaknya mengajar mengikuti syara’ yaitu Nabi Muhammad SAW.
Sehingga ia mengajarkan ilmu bukan untuk mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi dengan mengajar itu ia bermaksud mencari ridha Allah.
3). Menasihati muridnya agar tidak sibuk dengan ilmu-ilmu yang abstrak sebelum selesai ilmuilmu yang pokok.
Bagi tahap permulaan atau ibtidai, hendaknya seorang guru jangan membiarkan seorang murid untuk mempelajari ilmu-ilmu yang sukar dipahami, karena itu bisa mengacaukan pikirannya.
Baca juga: Hari Guru di Pidie, Ada Santunan Emas Hingga Gelar Beragam Lomba, Ini Pemenangnya
Hendaknya ia diajarkan materi-materi yang bersifat kongkret.
Ini dilakukan untuk melatih akal pikirannya.
4). Mencegah murid dari suatu akhlak yang tidak baik dengan jalan sindiran.
Memberi hadiah dan ganjaran adalah salah satu metode pendidikan yang efektif dalam membina sikap, kreativitas dan motivasi murid dalam belajar.
Memberi hadiah tidak kalah pentingnya dengan memberi ganjaran.
Namun dalam memberi ganjaran ini harus diperhatikan metode dan konsekuensinya bagi murid.
5). Hindari mencela ilmu yang lain, seperti guru bahasa merendahkan ilmu Fiqih, begitu juga mengerjakan disiplin ilmu fiqih mencela ilmu hadits.
Seorang guru harus memberikan pengertian kepada muridnya untuk mendalami ilmu yang lain setelah ia menguasai suatu ilmu.
6). Mengajarkan ilmu sesuai dengan tingkat pemahaman murid.
Petunjuk akan hal ini banyak dijumpai dalam Alquran maupun al-Hadits, di antaranya firman Allah yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ...”.(QS.Al-Baqarah [2] ayat: 286).
7). Jangan menimbulkan rasa benci pada murid untuk belajar ilmu yang lain, tetapi seyogianya membuka jalan kepada mereka untuk mempelajari ilmu tersebut dan 8).
Seorang guru harus mengamalkan ilmunya.
Konsep ilmu yang disertai dengan amal perbuatan, pada derajat pertama, ditujukkan kepada ilmu-ilmu agama dan hukum-hukum Islam, dan selanjutnya ditujukan kepada ilmu-ilmu yang lain.
Jika para guru tidak beramal pada berbagai lahan ilmu yang telah dicapainya, maka ia tidak ada sedikit pun manfaat yang dapat dipetik umat manusia dari dirinya.
Ilmu yang tidak diiringi amal perbuatan hanya akan menjadi kemewahan pengetahuan semata. (murni166@yahoo.co.id)
Baca juga: Mendikbud Ristek Umumkan Aturan Baru Guru PPPK 2023, Terkait Gaji dan Formasi
Baca juga: 320.000 Guru Honor Diangkat Jadi PPPK