Breaking News

Kupi Beungoh

Aceh dan Kepemimpinan Militer XVI - Daud Beureueh: Medan Area, Pembentukan TNI, dan Daerah Modal

Masa jabatan Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanoh Karo, sebenarnya adalah sebuah periode “suluh besar” ditengah kegelapan

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

Masa jabatan Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanoh Karo, sebenarnya adalah sebuah periode “suluh besar” ditengah kegelapan yang menyelimuti NKRI antara tahun 1947-1949.

Betapa tidak, negara yang baru lahir itu praktis berada dalam genggaman Belanda yang kembali hendak menjajah Indonesia.

Ketika Sukarno memberi gelar Aceh sebagai daerah modal pada tahun 1947, banyak orang langsung mengasosiasikan ucapan itu dengan beberapa hal.

Yakni tentang Belanda yang tak pernah lagi menginjakkan kakinya di bumi Aceh, dan gagalnya Belanda mengajak Aceh untuk bergabung ke dalam gugus negara boneka.

Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah mantan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo serta pejuang kemerdekaan Indonesia.
Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah mantan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo serta pejuang kemerdekaan Indonesia. (WIKIPIDEA)

Dan yang terakhir adalah berbagai sumbangan masyarakt Aceh, terutama pengusaha yang memungkinkan Indonesia melakukan diplomasi yang menyelamatkan bayi Republik, sekaligus membiayai pemerintahan yan masih sangat baru.

Semangat mengusir Belanda, dan keihklasan masyarakat Aceh menyumbangkan harta untuk perjuangan pada hakekatnya adalah spontanitas dengan suatu catatan huruf tebal dalam bentuk pertanyaan.

Kondisi apa yang ada pada saat itu ataupun sebelumnya yang menjadikan rakyat Aceh mau mempertaruhkan apapun untuk kemerdekaan Indonesia?

Ada yang hilang yang tak terjelaskan dengan baik dalam narasi sejarah daerah modal. Yang hilang itu adalah siapa aktor intinya yang memungkinkan hal itu terjadi.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (IX) - Iskandar Muda: Angkatan Perang, “Mercineries”, dan “Raja Toke”

Pada masa kritis itu cukup banyak aktor sejarah Aceh yang mesti ditulis ulang dalam sejarah perjuangan kemerdakaan. Di atas segala itu, pemegang peran utamanya adalah Tgk. Muhammad Daud Bereueh.

Pengakuan itu dapat dibaca dengan penunjukan Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo.

Beureueh adalah “outliers”- dari pejabat apapun pada masa sulit yang ditunjuk untuk memimpin operasi militer.

Dia hanya ulama biasa yang kebetulan sangat berpengaruh pada masa itu, tak lebih.

Akan tetapi mayorítas elemen anti Belanda di Aceh pada masa itu, baik secara pandangan pemikiran, pengaruh, dan kekuatan fisik relatif berada dalam jaringan Beureueh.

Ada kapasitas “kebangsaan” yang luar biasa yang dimiliki Beureueh, pada masa itu berikut dengan kepemimpinan moral yang sangat kuat.

Mungkin saja Sukarno dan para pemimpin nasional mempunyai “catatan kaki” tentang Islam Aceh, termasuk energi agama dalam perang melawan Belanda.

Baca juga: Rocky Gerung, Kembang Tanjong, dan Abu Thalib

Energi itulah yang segera dimanfaatkan oleh Sukarno dari masyarakat Aceh melalui kepemimpinan Beureueh.

Mungkin karena Beureueh pernah memberontak melawan pemerintah pusat, tidak cukup banyak kepustakaan yang menulis tentang peranannya dalam dalam keberadaan dan pembentukan TNI di Aceh.

Dari berbagai catatan yang ada, peranan Beureueh dalam formasi tahun-tahun awal TNI tidak hanya signifikan , akan tetapi layak disatubukukan dengan peranan bung Tomo di Surabaya, dan bahkan Jenderal Sudirman yang melakukan gerilya ketika Pulau Jawa praktis dikuasai Belanda.

Yang membuat Beureueh unik, adalah ia memimpin sebuah kawasan yang disebut front barat Sumatera yang tidak pernah diduduki Belanda.

Pada saat yang sama, Aceh mengirim pejuangnya , baik yang pernah terlatih dalam tentara Jepang, maupun rakyat biasa yang disebut dengan lasykar ke Medan area.

Upaya Belanda untuk masuk ke Aceh lewat darat, laut dan udara, tidak pernah berhasil, karena dihadapi tidak hanya oleh tentara dan pejuang, baik yang terlatih maupun tidak, akan tetapi juga massa rakyat yang tak pernah terhitung jumlahnya.

Puncak dari upaya Belanda untuk mengacaukan posisi Indonesia dalam berbagai perundingan adalah membentuk negara boneka di berbagai provinsi di Indanesia.

Apa yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal, Van Mook adalah menggunakan kolaburator lokal untuk negara bagian boneka itu.

Paling kurang ada 6 negara bagian yang dibentuk Van Mook, terdiri dari Indonesia Timur, Jawa Timur, Madura, Pasundan, Sumatera Timur, dan Sumatera Selatan.

Selain itu ada berbagai daerah otonom yang terdapat di Kalimantan, Jawa Tengah, dan Riau yang tunduk di bawah kolaburator Sultan Hamid II dan juga menjadi bagian dari persekutuan negara-negara boneka kreasi Van Mook.

Baca juga: Tangis Haru Peringatan 18 Tahun Tsunami Aceh, Kisah Nasehat Pria Tua Berjubah Putih Sebelum Bencana

Apa yang menarik dengan Aceh adalah keteguhan Beureueh untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Beureueh yang pada saat itu menjabat Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo membakar surat itu di depan publik.

Bagi Beureueh, sikap itu bukan hanya karena soal tidak setuju, akan tetapi lebih kepada refleksi kemarahan luar biasa, karena surat Van Mook, telah menghina harga diri masyarakat Aceh.

Agresi Belanda, terutama yang ditujukan untuk menduduki wilayah Sumatera Utara, dijawab oleh Aceh dengan dua pekerjaan utama melalui tentara, pejuang, dan lasykar yang dimilliki Aceh.

Pilihan itu diperkuat lagi dengan telegram dari Panglima Sumatera Mayjen Soeharjo yang meminta Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo untuk mengirimkan kekuatan Aceh ke Medan, sampai kota itu kembali ke tangan NKRI (Semdam I Iskandar Muda 1972:581).

Di bawah arahan Beureueh, Aceh mengirimkan pasukan dan juga logistik ke kota Medan dan sekitarnya.

Pekerjaan utama adalah merebut kembali kawasan-kawasan di sekitar kota Medan yang telah diduduki dan dikuasai oleh Belanda.

Pekerjaan kedua adalah membendung tentara Belanda masuk ke Aceh.

Baca juga: Inilah Sosok Perekam Tsunami Aceh hingga Viral pada Masanya

Seperti ditulis oleh Gade Ismail (1994:42), sejumlah operasi militer yang dilakukan oleh kekuatan Aceh untuk merebut kembali daerah-daerah yang telah dikuasai Belanda relatif kurang berhasil.

Dalam keadaan yang mendadak dan miskinnya kordinasi antara sesama tentara dan pejuang di kawasan sekitar kota Medan- disebut juga Medan Area, penyerangan dan upaya perebutan wilayah itu tidak membawa hasil maksimal.

Memang keragaman asal wilayah-banyak pasukan itu dari berbagai wilayah Sumatera bagian Timur, dan mungkin juga perbedaan keahlian berperang antar berbagai kelompok asal itu membuat penggempuran total terhadap pasukan Belanda tak pernah behasil.

Namun sejumlah kegagalan itu tetap saja tidak membuat pasukan Aceh putus asa, karena pekerjaan kedua-membendung Belanda masuk kembali ke Aceh dapat terlaksana dengan baik. Belanda tidak pernah kembali ke Aceh.

Kerja nyata Beureueh yang juga sangat penting untuk dicatat adalah pembentukan TNI di Aceh, yang dmulai dengan pembubaran berbagai laskar dan barisan tentara rakyat yang telah berjuang tanpa pengakuan dan bantuan negara.

Ribuan, mungkin puluhan ribu rakyat Aceh yang secara de facto berasosiasi dengan Beureueh, baik secara jaringan sebelum dan sesudah kemerdekaan kini dilebur dan mengalami proses rasionalisasi organisasi, kesatuan, dan individu.

Paling kurang ada tiga divisi “partikulir” yang mempunyai anggota dan wilayah, yakni Divisi Tgk Chik di Tiro yang membawahi wilayah Pidie dan sekitarnya.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XIII) Van Heustz: Doktrin Perang dan “De Slager van Atjeh”

Divisi Tgk Chik di Paya Bakong dengan wilayah sebagain besar pantai utara, dan timur Aceh, dan Divisi Rencong yang berkedudukan di Banda Aceh dan sekitarnya.

Selain berbagai divisi yang berasosiasi dengan rakyat itu, di Aceh telah pula didirikan TRI-Tentara Rakyat Indonesia yang telah mulai ada semenjak awal kemerdakaan, dan berasosiasi dengan pemerintahan.

Adalah Jenderal Mayor tituler T.Nyak Arief yang pada waktu itu menjabat sebagai Residen Aceh yang memprakarsai pembentukan TRI itu yang anggotanya didominasi oleh mantan anggota tentara Jepang- Gyugon, Heiho, yang umumnya telah memperoleh pendidikan dan pengetahuan kemiliteran.

Persoalannya menjadi kompleks instruksi Panglima Sumatera no 616/tkt tentang pembubaran tentara dan lasykar rakyat berikut dengan pengabungannya ke dalam TNI mempunyai sejumlah ketentuan khusus yang mesti dipatuhi dan dilaksanakan.

Berbagai ketentuan itulah yang mendapat kritikan dan bahkan nyaris menjadi perlawanan ketika hal itu diberitahukan kepada mereka yang telah berjuang secara swakarsa.

Banyak pihak yang merasa dirinya berjasa kepada Republik tak mau bergabung dengan TNI, dan ingin berlanjut dalam kesatuannya.

Alasannya sederhana, revolusi belum selesai, dan banyak anggota TNI yang merupakan bekas tentara KNIL Hindia Belanda.

Di lapangan timbul sejumlah ketegangan antara TRI dengan beberapa lasykar rakyat itu.

Keadaan menjadi semakin tegang ketika dua Komandan TRI dan pasukannya, pada kesempatan yang berbeda, nyaris menyerang Divisi Rencong.

Kepemimpinan Beureueh benar-benar diuji ketika itu. Berkat kesabarannya, Beureueh mampu meyakinkan para anggota ketiga divisi itu dan laskar rakyat lainnya untuk dibubarkan, dan dileburkan ke dalam TNI.

Seluruh senjata yang dimilki oleh tentara “non pemerintah” itu diserahkan kepada TNI.

Hanya sebagian kecil para pejuang itu yang dimasukkan ke dalam TNI.

Sedangkan mayoritas anggota lainnya kembali ke masyarakat secara ikhlas tanpa permintaan atau layanan apapun.

Seluruh personil yang bergabung dalam TNI di Aceh pada Juni 1948 disatukan dalam sebuah divisi yang diberi nama Divisi X

Baca juga: Sejumlah Kapolres Dimutasi, Kombes Irwan Fahmi Ramli Jabat Kapolresta Banda Aceh

Masa kepemimpinan Beureueh sebagai Gubenur Militer juga berasosiasi dengan kontribusi ikhlas rakyat Aceh yang membuat bayi Republik yang baru lahir tidak sempat cacat, apalagi meninggal dengan sekarat.

Dari berbagai realitas yang ada, seolah-olah kontribusi materi Aceh untuk Republik pada masa-masa sulit seringkali hanya disebut dengan pesawat Dakota yang menjadi “kenderaan” perang diplomasi Republik dengan Belanda.

Asal muasal RI-001 Seulawah itu sebenarnya sebuah spontanitas pengusaha Aceh ketika bertemu dengan Sukarno.

Dalam pertemuan di Hotel Aceh pada 16 Juni 1948 Sukarno yang ditemani oleh Gubernur Militer, Daud Beureueh melemparkan ide sekaligus permintaan tentang pesawat udara untuk bayi Republik.

Ucapan itu segera direspons oleh anggota GASIDA-Gabungan saudagar Indonesia Daerah Aceh.

Adalah Muhamad Juned Yusuf sendiri dan kawan-kawan GASIDAnya berangkat ke Singapura untuk menyerahkan emas dan uang yang dikumpulkan di Aceh kepada Wiweko, opsir AURI yang ditugaskan di Singapura oleh pemerintah.

3 bulan kemudian RI-001 itu mengudara, dan yang terjadi kemudian adalah sejarah.

Hal lain yang yang juga tidak kurang penting dari konektivitas udara, adalah konektivitas informasi.

Ketika RRI Yogyakarta dibungkamkan dengan kedatangan Belanda, hanya RRI Banda Aceh yang tersisa.

Keberadaan Republik yang seolah sudah ditutup oleh kembalinya Belanda secara de facto, tidak membuat Indonesia hilang.

Aceh tidak hanya bebas dari pendudukan Belanda, namun rakyat dan saudagarnya mampu menembus blokade Belanda di Selat Malaka untuk kegiatan perdagangan.

Perang informasi pada saat itu tidak berimbang, karena Belanda membuat propaganda besar-besaran melalui RRI Medan dan Jakarta.

Baca juga: Kisah-Kisah Menakjubkan saat Tsunami Aceh 2004, Diselamatkan Ular hingga Bantuan Boat dari Buaya

Adalah Mayor Jhon Lie yang menembus blokade Belanda itu dengan membawa pemancar radio tambahan RRI yang dibeli dari Pulau Penang, Malaysia.

Atas arahan Beureueh, radio itu dipindahkan berkali-kali untuk menghindari serangan dan sabotage Belanda.

Krueng Simpo, Bireuen; Cot Goh, Aceh Besar, dan kemudian dipindahkan lagi ke km 62 jalan Takengon, Rimba Raya., adalah tempat-tempat dimana radio itu pernah ditempatkan.

Catatan sejarah radio perjuangan itu kemudian dikenal dengan Radio Rimba Raya.

Keberhasilan menembus blokade Belanda adalah sumber pemasukan senjata, dan berbagai perbekalan untuk perjuangan.

Di atas segala itu penembusan blokade laut itu, ada kegiatan perdagangan yang menyertainya yang kemudian menjadi mesin uang untuk pengusaha, rakyat, dan yang paling penting adalah untuk bayi Republik.

Ketika Sukarno dan Hatta menjadi tawanan Belanda, dan pemerintahan RI -PDRI yang dipusatkan di Bukit Tinggi, sebagian besar biaya perjuangan dikirimkan dari Aceh.

Tidak kurang dari 20.000.000 ringgit Malaysia dikirim oleh pemerintah Aceh dari penjualan obligasi untuk rakyat , dan berbagai donasi dari pengusaha.

Seluruh dana itu diterima oleh Utoyo Ramelan di Singapura, dan Dr. Sudarsono di India.

Uang itu kemudian dibelanjakan antara lain untuk pembiayaan PDRI, staf Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Uang itu juga digunakan untuk diplomasi keliling dunia H. Agus Salim, pembiayaan Dr.Sudarsono dan LN Pallar di PBB, New York AS, biaya Perwakilan RI di Singapore dan Pulau Penang.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XV) - Daud Beureueh: Ulama, Mayor Jenderal, dan Gubernur Militer

Ketika Sukarno berkunjung ke Aceh, pada Juni 1948 dalam pidatonya di lapangan Blang Asan di Sigli, Pidie, ia menabalkan Aceh sebagai daerah modal yang kemudian dilanjutkan lagi dalam pidatonya pada bulan yang sama di Markas Divisi 10 di Bireuen.

Ia menyadari realitas dan ia mengungkapkannya secara terbuka tentang keberadaan, kesetiaan, dan kesiapan Aceh untuk kehadiran dan keberlanjutan negara baru, Indonesia.

Beberapa hari sebelumnya, pada Juni 1948 ketika ia tiba di Banda Aceh dan berpidato di Pendopo Kerisidenan Aceh, ia meminta bantuan “Kakak”-panggilan akrab Sukarno untuk Daud Beureueh, sebagai Gubernur Militer pada masa itu untuk menggerakkan rakyat Aceh berperang mempertahankan kemerdekaan dan melawan Belanda.

Ada pengakuan dan fakta disitu Beureueh adalah aktor utama dalam pengakuan status Aceh sebagai Daerah Modal dari Presiden Sukarno.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved