Internasional
Pengungsi Rohingya Kenang Cobaan Berat di Laut, 'Teriakan Anak-Anak Tak Tertahankan'
Para pengungsi Rohingya yang terusir di negeri leluhurnya Myanmar terus mendapat cobaan berat saat berusaha mencari kehidupan lebih baik di negara
SERAMBINEWS.COM, DHAKA - Para pengungsi Rohingya yang terusir di negeri leluhurnya Myanmar terus mendapat cobaan berat saat berusaha mencari kehidupan lebih baik di negara lain.
Seperti penuturan Hatemon Nesa yang menaiki kapal kayu di Cox's Bazar pada akhir November 2022.
Dia meninggalkan kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh dengan harapan menemukan kehidupan yang lebih baik untuk putri-putrinya yang masih kecil.
Dia memulai perjalanannya dengan anaknya yang berusia lima tahun dan meninggalkan putri sulungnya bersama anggota keluarga di kamp.
Dia percaya pelayaran itu akan berhasil dan mereka akan segera dipersatukan kembali di negara lain.
Tetapi mesin kapal rusak sekitar seminggu kemudian dia, putrinya, dan 172 pengungsi lainnya, kebanyakan wanita dan anak-anak, dibiarkan hanyut di Laut Andaman selama berminggu-minggu, tanpa makanan dan air.
Tidak ada negara regional yang melakukan intervensi meskipun ada seruan PBB untuk penyelamatan minggu lalu.
Mereka akhirnya dibawa ke tempat aman oleh nelayan saat kapal mereka memasuki perairan Indonesia.
Baca juga: Pusat Minta Aceh Bentuk Satgas Untuk Tangani Pengungsi Rohingya, Sudah 559 Imigran yang Terdampar
Pada Rabu (28/12/202), upaya tim Arab News membantu menghubungkan kembali Nesa dengan keluarganya, yang tidak dapat menghubunginya selama berminggu-minggu dan mengkhawatirkan yang terburuk.
“Allah Mahakuasa menyelamatkan nyawa kami,” kata Nesa dalam panggilan video dari tempat penampungan di Aceh Utara, saat dia berbicara dengan saudara laki-laki dan ibunya yang tetap tinggal di Cox's Bazar.
“Kami kelaparan saat mengapung di atas kapal, saya tidak bisa makan apapun," katanya.
"Jika saya memegang botol air di tangan, itu akan dicuri dan saya hanya bisa minum air ketika ada hujan,” ujarnya.
Nesa dan putrinya, Umme Salima, termasuk di antara para pengungsi yang mencapai desa pesisir pantai Ujong Pie, Kecamatan Muara Tiga (Laweung) Pidie pada Senin (26/12/2022).
Nesa masuk gelombang kedua, diantara 174 orang terdampar di pantai Ujong Pie.
Gelombang pertama pada Minggu (25/12/2022), dimana sebanyak 58 imigran terdampar di bibir pantai kompleks Cagar Budaya Indrapatra, Gampong Ladong, Aceh Besar.
Baca juga: Terkait Imigran Rohingya, Kapolda Aceh: Menkopolhukam Minta Aceh Bentuk Satgas Penanganan Refugees
Organisasi Internasional untuk Migrasi mengatakan mereka berada dalam kondisi kesehatan yang sangat buruk dan banyak yang menderita dehidrasi parah dan kekurangan gizi.
“Nasi dan miju-miju yang kamu beri makan saya, dengan energi itu saya melakukan perjalanan ke Indonesia,” kata Nesa kepada ibunya saat keduanya menangis saat menelepon.
Setiap kali ada kapal lain yang terlihat, dia dan pengungsi lain di atas kapal akan berteriak minta tolong.
Tapi selama berminggu-minggu tangisan mereka tidak didengar.
“Kami banyak berteriak dan melambaikan tangan seperti apa pun," ujarnya.
"Pada satu titik, rasanya tangan kami akan jatuh dari tubuh kami,” kata Nesa.
Kerabatnya, Rahena (19) yang juga berada di atas kapal, mengenang bagaimana mereka mengambang selama berhari-hari.
“Tangisan anak-anak karena kelaparan tak tertahankan,” katanya.
dia menambahkan setidaknya 20 orang di dalamnya tewas.
Tidak ada bantuan datang ketika kapal mereka memasuki perairan Malaysia awal bulan ini.
Baca juga: Rohingya Menjadi Masalah Bagi Aceh
Tidak ada yang datang ketika menyeberang ke perairan India, meskipun saudara laki-laki Nesa, Mohammed Rezuwan Khan, seorang aktivis Rohingya di Cox's Bazar, memohon untuk diselamatkan.
Ketika Rohingya yang hanyut memasuki wilayah Indonesia, pihak berwenang berulang kali mengatakan tidak dapat menemukan kapal mereka.
Penduduk desa setempat kemudian melihat mereka dan mengorganisir bantuan.
“Dari apa yang saya lihat, keinginan masyarakat untuk membantu sangat luar biasa,” kata Nasruddin, koordinator dari Geutanyoe Foundation, sebuah organisasi kemanusiaan yang berbasis di Aceh, kepada Arab News.
“Ini adalah sesuatu yang perlu kita hargai dan puji," tambahnya.
Ini bukan pertama kalinya para nelayan Indonesia bergabung membantu para pengungsi, membawa mereka ke tempat aman dan memberikan bantuan yang diperlukan.
Nasruddin mengatakan sekitar 600 Rohingya telah mencapai Aceh sejak Maret tahun ini.
Perjalanan Nesa dan putri kecilnya belum berakhir karena Indonesia bukan salah satu pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951, yang berarti mereka tidak bisa meminta suaka.
Namun untuk saat ini, mereka aman dan kembali berhubungan dengan keluarga mereka.
“Dengan bantuan Arab News saya kembali menghubungi kakak saya dan menjalin komunikasi dengannya setelah mendarat di Indonesia,” kata kakaknya.
“Saya ingin menyampaikan terima kasih yang tulus," ujarnya.(*)