Jurnalisme Warga

Membangun KIP Aceh Masa Hadapan

Dari perjalanan kerja lima tahun KIP Aceh ada satu ujian politik yang tidak “husnul khatimah,” yaitu gagalnya pelaksanaan Pilkada Aceh tahun 2022

Editor: bakri
hand over dokumen pribadi
MUHAMMAD NUR, Pemerhati Sosial, Lingkungan, dan Politik Aceh, juga Mahasiswa Magister Hukum Universitas Abulyatama, melaporkan dari Banda Aceh 

OLEH MUHAMMAD NUR, Pemerhati Sosial, Lingkungan, dan Politik Aceh, juga Mahasiswa Magister Hukum Universitas Abulyatama, melaporkan dari Banda Aceh

TIDAK lama lagi mandat tujuh Komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh periode 2018-2023 akan berakhir pada Juli 2023.

Itu berarti, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) akan melakukan rekrutmen baru yang dilakukan oleh tim independen yang bersifat ad hoc (dibentuk dan dimaksudkan untuk satu tujuan saja/sementara) yang hasilnya akan dilakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) oleh DPRA.

Dari perjalanan kerja lima tahun KIP Aceh ada satu ujian politik yang tidak “husnul khatimah,” yaitu gagalnya pelaksanaan Pilkada Aceh tahun 2022.

Pada akhirnya, KIP Aceh “harus” ikut skenario nasional, yaitu Pilkada 2024.

Keputusan KIP Aceh yang menunda Pilkada 2022 pada awal April 2021 lalu bukan hanya merugikan bakal calon kepala daerah hingga melahirkan gugatan yang disampaikan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), melainkan juga menggangu marwah politik Aceh yang oleh undangundang diakui keistimewaan dan kekhususannya.

Dengan begitu, keputusan menunda Pilkada 2022 yang dihasilkan dalam rapat Pleno KIP Aceh pada Jumat (2/4/2021) membuktikan bahwa daya juang para komisioner KIP Aceh masih lemah dalam mempertahankan apa yang menjadi karakter keacehan di bidang politik dan demokrasi.

Padahal, dalam berkerja KIP Aceh tidaklah berjalan sendiri.

Dalam konteks menjaga regulasi politik keacehan ada DPRA sebagai mitra utamanya dan tehtu saja rakyat Aceh.

Dengan begitu, jika ada kendala, maka DPRA sebagai “orang tua” tidak bisa dibelakangi hanya karena KIP menjadi bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Baca juga: 1.875 Orang di Galus Daftar PPS, KIP Aceh Tengah Terima Masukan

Baca juga: Rekrutmen PPK Disorot Gegara Perangkat Desa dan ASN Lulus, Begini Penjelasan Ketua KIP Aceh Selatan

Dengan kata lain, KIP Aceh yang dibentuk dengan sandaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang ruhnya mengandung muatan keacehan yang terkandung dalam MoU Helsinki haruslah sama-sama dihormati dan dijaga, termasuk juga oleh KIP Aceh.

Itu artinya, KIP Aceh yang akan diisi oleh para komisioner baru dan mengemban tugas dan wewenang untuk periode 2023-2028 (masa hadapan) haruslah sosoksosok yang tidak hanya profesional dan berintegritas, tetapi juga cakap dan memiliki daya juang yang tinggi.

Termasuk dalam menjaga karakter khas dan unik politik keacehan.

Jika sekadar menjadi penyelenggara pemilu dan pilkada yang baik tentu saja tidak dibutuhkan ikhtiar untuk membentuk KIP, cukup saja dengan KPU provinsi dan KPU kabupaten/ kota.

Oleh karena itu, tantangan ke depan dalam proses rekrutmen dan uji kepatutan yang melibatkan DPRA dan panitia seleksi sangat penting untuk menemukan sosok-sosok calon komisioner yang memiliki daya juang yang andal dan militan untuk ikut serta menjaga kekhususan Aceh, tentunya dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved