Opini

Butuh Bukti, Bukan Janji Membangun Aceh

Ada asumsi yang sering muncul dalam diskusi warung kopi, dan forum elite, bahwa kita cenderung tak mau repot ketika melakukan proses produksi.

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Hanif Sofyan, Pegiat literasi tinggal di Tanjung Selamat Aceh Besar 

Oleh Hanif Sofyan

Pegiat literasi tinggal di Tanjung Selamat Aceh Besar

FAKTA ini pastilah bukan hoaks, bahwa dalam sepuluh tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Aceh terendah di Sumatera.

Jika pernyataan Bank Indonesia Provinsi Aceh tersebut benar, bahwa pertumbuhan ekonomi Aceh dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata 2,66 persen menjadi yang terendah di Sumatera, karena patokan angka minimumnya saja 3,92 persen. Apakah yang salah kebijakannya atau orang yang menjalankannya?

Faktanya, ekonomi di provinsi paling barat Indonesia itu masih sangat bergantung pada sektor primer yakni pertanian dan pertambangan serta minimnya sektor industri pengolahan.

Pangsa pasar industri pengolahan masih berada 4,68 persen di bawah pangsa pasar sektor industri pengolahan Sumatera sebesar 20,50 persen. Artinya kita masih menganut prinsip menjual barang mentah tanpa mau repot mengolahnya agar memiliki value yang lebih tinggi.

Pengusaha Muda Siap Bersinergi Membangun Aceh

Ada asumsi yang sering muncul dalam diskusi warung kopi, dan forum elite, bahwa kita cenderung tak mau repot ketika melakukan proses produksi.

Bahkan sebagaimana kita selalu kekurangan pasokan telur ayam saja, ada kecenderungan kita enggan memproduksi sendiri peternakan ayam petelur di Aceh, jika marginnya masih sangat rendah, dibanding jika meng-impor saja dari Medan.

Maka muncullah lelucon, telur ayam dari Medan masuk ke Aceh Senin-Jumat, sedangkan telur Aceh masuk ke Medan Sabtu-Minggu.

Artinya kita memang sejatinya tak mau repot dan tak mau kerja. Apakah secara ekonomi sikap tersebut betul, jawabannya bisa jadi tidak salah. Namun ada hal substansial yang dilewatkan.

Bahkan kebijakan yang ditempuh pemerintah Aceh, tak pernah serius sampai pada persoalan substansial. Seperti mendorong hadirnya industri pengolahan pakan ternak.

Padahal implikasinya akan sangat luar biasa bagi, multiplier effect ekonomi. Sebuah pabrikan pakan ternak tidak hanya menyerap tenaga kerja massal, tapi juga mendorong tumbuhnya sisi ekonomi lain seperti perkebunan dan pertanian.

Limbah dari sekam, dapat diolah menjadi dedak yang menjadi salah satu bahan baku tambahan makanan ternak selain konsentrat.

Begitu pun limbah dari pengolahan industri ikan, yang selama ini selalu dihantui adanya over fishing dan kelebihan panen.

Mualem dan Wali Nanggroe Serukan Kekompakan Semua Pihak Demi Membangun Aceh

Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi limbah ikan itu justru dibuang. Padahal jika disinergisasikan dengan mata rantai industri pakan ternak, maka menjadi nilai tambah yang tidak hanya memancing ekonomi baru, tapi juga pendapatan daerah yang meningkat.

Dampak manja fiskal

Persoalan laten yang juga dialami di Aceh adalah, kemanjaan kita pada ketersediaan dana Otonomi Khusus (Otsus), dana bagi hasil migas.

Sedangkan dari pendapatan, fiskal internal masih mengandalkan pajak. Pajak sangat riskan dijadikan dasar pendapatan, karena bersifat sangat fluktuatif.

Jika kebijakan khusus, seperti pemutihan pajak kendaraan diberlakukan, dengan segera kontribusi pendapatan dari pajak meningkat.

Tapi ketika hanya mengandalkan pendapatan pajak secara reguler, maka ekonomi dengan sendirinya bergantung sepenuhnya pada dana khusus Aceh.

Baiklah jika dana tersebut, sebagaimana keinginan yang terus didorong oleh eksekutif dan legislatif akan menjadi dana abadi-Otsus berkelanjutan.

Namun jika kebijakan pusat pada suatu ketika memutuskan mengurangi atau membatasi jumlahnya secara signifikan, karena pertimbangan seperti keberadaan Project IKN, bukan tidak mungkin kita juga akan terkena imbasnya.

Bergantung terus pada keberadaan dana Otsus juga secara tidak langsung, melanggengkan adanya kelompok atau oligarki yang memanfaatkan kondisi itu untuk kepentingan mereka secara politis dan ekonomi.

Salah satu bentuk nyata dari bukti adanya pengaruh buruk dari Otsus yang tidak dioptimalkan adalah kemunculan proyek yang asal jadi, fiktif dan dikerjakan secara berjamaah diantara kelompok-kelompok kepentingan yang membentuk rantai oligarki.

Maka bukan fakta yang aneh jika Korupsi, nepotisme dan kolusi seolah tak ada relevansinya dengan pilihan kita bersyariat. Bahwa setinggi apa pun cara beragama, dan kemampuan di bidang pendidikan, tak ada kaitan dengan niat untuk korupsi.

Korupsi terus merajalela, meski ada prasyarat harus menguasai dasar agama ketika maju menjadi pemimpin rakyat, dan Provinsi Aceh sebagai kiblat syariah juga seiring jalan dengan “prestasi” kita sebagai provinsi “terkorup”.

Siapa yang umumnya akan menyangkal fakta ini dan banyak berdalih? Bahkan para pelaku tindak korupsi merasa menjadi “kura-kura dalam perahu”.

Lompatan tinggi

Bahwa fakta soal kemiskinan, dan stagnannya pertumbuhan ekonomi dalam situasi dan kondisi banjir dana Otsus menjadi ironi yang tidak terbantahkan, namun minim solusi.

Terutama karena para pengambil kebijakan yang merencanakan anggaran, menjalankan anggaran dan mengevaluasi anggaran adalah para pihak yang memiliki peluang paling besar melakukan tindak korupsi.

Dengan kata lain, jika korupsi di Aceh terindikasi menjadi yang terparah, apakah fakta itu karena disumbang oleh keberadaan korporasi, industri atau tindakan para pelaku ekonomi. Ataukah kita bisa menyebut secara logis dan realistis, bahwa sumber masalah—KKN – itu memang berasal dari ELY-Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif yang “bermain” dalam kebijakan pemerintahannya.

Jika merasa argumentasi ini adalah hoaks, maka buktikan saja. Lakukan evaluasi atas Otsus saja, apa capaian kita terbaik jika kita ukur dari keberadaan blue print, atau rencana besar ketika kita menggagas Aceh Baru paska tsunami.

Dulu kita berangan-angan tinggi ketika menjadikan momentum tsunami raya sebagai revolusi kita menjemput Aceh Baru.

Ternyata dalam sepuluh tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Aceh terendah di Sumatera.

Mengandalkan pertambangan, pertanian sebagai sumber dana pembangunan yang tidak dikelola secara benar justru bisa menjadi bumerang berbahaya.

Mestinya pertambangan adalah alternatif terakhir yang harus kita jadikan pilihan. Hingga saat ini gagasan kita soal pembangunan berkelanjutan juga belum menemukan titik positif.

Selalu saja ada “tikus pengerat” yang bermain dalam lumbung sumber uang pembangunan kita.

Fakta banjir ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat adat yang dirampas tanah, hutan dan sungainya, tidak dapat ditutupi dengan kamuflase Aceh Hebat.

Fakta bahwa kita tak piawai menjadi pengundang investor, karena ditingkat internal saja gaduh dengan persoalan bagaimana menyiapkan infrastruktur.

Tahapan pembangunan lima tahun Aceh tak menganggambarkan sebuah rencana besar Aceh Masa Depan yang memiliki infrastruktur memadai di titik dimana investasi akan didorong. Termasuk blunder listrik yang amburadul.

Bahkan potensi-potensi yang sudah jelas di depan mata seperti komoditas kopi saja, tak bisa dioptimalkan hingga menjadi sebuah kekuatan bargaining sebagai penyumbang dana pembangunan.

Berhektare lahan kopi yang membesarkan nama Kopi Gayo, adalah lahan-lahan tua. Jika kita tak bergegas melakukan intensifikasi, diversifikasi secara masif, apa yang kelak tertinggal untuk membesarkan nama Aceh.

Apa kita harus menunggu kepastian dana Otsus berkurang atau hilang, barulah kita memulai lagi semuanya dari nol atau jika tak ada pilihan lain, kita gadaikan tambang-tambang kita untuk mengongkosi pembangunan sebelum tekor sama sekali.

Butuh lompatan besar, pertanian menuju konsep swasembada, peternakan menuju sinergisasi hulu-hilir komponen penguatnya, perikanan menuju peningkatan value melalui pengolahan produk yang berorientasi pada penguatan kapasitas produk dan SDM.

Termasuk clean governance sebagai kuncinya dan mengoptimalkan aliran dana Otsus dan APBA berputar kencang di nanggroe sendiri.

Langkah itu saja adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Siapa di antara putra-putri terbaik Aceh yang bisa membuktikannya?

BPS Nagan Raya Akan Turunkan Petugas Susenas Pada Maret 2023

Ganjar Cari 738 Siswa Miskin Untuk Disekolahkan Gratis di SMKN Jateng

Sholat Jamak dan Qashar, Berikut Bacaan Niat, Syarat, Hukum, dan Perbedaannya

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved