Kupi Beungoh
Kisah Asib Ali, Takdir Cinta Pria India, dan Taman Ghairah Sultan Iskandar Muda
Kisah Asib Ali, pemuda asal India, yang cintanya berujung ditolak oleh Syarifah, gadis asal Wajo serta keluarganya, hanya satu dari banyak kisah cinta
Oleh: Risman Rachman*)
RASANYA, tidak berlebihan bila ada yang berkata bahwa takdir lelaki India dekat dengan cinta.
Kisah hidup Asib Ali, pemuda asal India, yang cintanya berujung ditolak oleh Syarifah Haerunnisa, gadis asal Wajo, berserta keluarganya, hanya satu dari banyak kisah cinta yang dialami pria India.
Dan, yang menariknya takdir cinta yang dijalani pria India, kerap menyentak sanubari, kadang dengan keharuan, kadang juga dengan kenestapaan.
Apa yang dialami Asib Ali yang cintanya berakhir ditolak setelah berkorban banyak, jelas sisi kenestapaan.
Betapa tidak, jalinan kasih yang dibangun secara jarak jauh, tanpa saling mengerti bahasa satu sama lain, keduanya sempat bersepakat hendak menikah.
Namun, setelah Asib Ali melakukan banyak pengorbanan, nasib cintanya justru berakhir tragis, dan nyaris berujung putus asa, justru ketika Asib Ali sudah berada di Indonesia.
Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh II “Ethno Nationalism”: Munawar Liza dan Egianus Kogeya
Asib Ali rela meninggalkan kerjanya, menuju ke negeri kekasihnya nan jauh, Wajo, Sulawesi Selatan, Indonesia.
Dan, itu hanya bermodal nekat, berbekal alamat yang tertera di KTP Syarifah, yang ada padanya, tanpa bantuan sahabat dan kerabat sebagai pemandu.
Tapi, apalah daya, setiba di Wajo, dirinya sudah tidak diterima, dan kabar yang diterimanya ternyata Syarifah sudah dilamar pria lain.
Dilwale Dulhania Le Jayenge
Meski tidak sama persis, kisah cinta Asib Ali bagai sedang menonton film India berjudul Dilwale Dulhania Le Jayenge (1995).
Film ini mengisahkan hubungan percintaan antara Simran dan Raj, yang tidak sengaja bertemu saat mereka berlibur.
Tapi kerumitan terjadi, karena cinta keduanya terhalang oleh orang tua Simran, yang sudah menjodohkannya dengan pria lain.
Hal ini membuat Raj merasa patah hati, pasalnya ia bingung apakah harus tetap berusaha atau menerima keadaan seperti Simran?
Asib Ali juga disergap patah hati, tapi cintanya kepada Syarifah masih tetap bagai nyala api yang membara.
Baca juga: Dana Pokir dan Politik “Gentong Babi”
Ali, menyatakan masih mencintai Syarifah.
Ia masih berharap Syarifah bersedia menemuinya dan juga berharap bersedia kembali menikah dengannya.
Di India, memang banyak memproduksi film bertema cinta yang juga amat disukai oleh warga di Indonesia, khususnya Aceh, yang secara historis memilki hubungan darah, kebudayaan bahkan jejak perjalanan Islam di Nusantara.
Misalnya film berjudul Kuch Kuch Hota Hai yang diperankan oleh Syah Rukh Khan.
Ada juga Devdas yang juga diperankan oleh Syah Rukh Khan.
Film Devdas mengisahkan hubungan Parvati atau Paro dan Devdas, yang terhalang oleh kasta.
Merasa sakit hati, orang tua Paro menikahkan putrinya dengan seorang pria kaya untuk membalas dendam.
Tentu ada banyak lagi film-film India yang penuh dengan cerita cinta.
Bahkan, ada film yang diangkat dari kisah sejarah yang dipadu dengan fiksi, yaitu Jodha - Akbar, yang juga sangat disukai oleh pemirsa di Indonesia.
Kisah cinta Jodha - Akbar adalah kisah cinta dalam sejarah India pada zaman kerajaan Mughal.
Jejaknya masih terlihat dari benteng Agra.
Baca juga: Aceh dan KPK
Gelora Cinta di Taj Mahal
Kisah cinta paling menarik berikutnya adalah kisah cinta Syah Jahan dan Mumtaz yang menghadirkan Taj Mahal.
Syah Jehan adalah cucu dari Sultan Akbar yang merupakan raja ke-3 dari Dinasti Mughal pada abad ke-15.
Dalam film yang sudah diselipi fiksi dikisahkan, Jodha bersedia menjadi istri dari Sultan Akbar bila dirinya diberi kebebasan untuk tetap menjadi seorang Hindu yang menjalankan ritual dan itu diwujudkan oleh Sultan Akbar.
Maka tidak heran jika dalam istana yang dibangun Sultan Akbar pada 1565, yang juga menjadi lokasi syuting film Jodha - Akbar, katanya terdapat kuil untuk ritual istrinya Jodha Bai.
Berbeda dengan kakeknya, kisah cinta Syah Jehan diawali dengan jatuh hati kepada anak seorang tokoh Persia yaitu Arjumand yang ternyata sudah memiliki suami.
Tapi, jodoh memang tidak kemana. Tak lama, suami Arjumand meninggal. Segera Syah Jehan undang pujaan hatinya ke istananya. Ia pun menikahinya setelah usai masa iddahnya.
Pernikahan digelar pada tahun 1612 M. Dan Arjumand diberi gelar Mumtaz Mahal yang bermakna perhiasan istana.
Sejak itu, ia tak pernah berpisah dengan istri walaupun sedang berpergian, termasuk saat perjalanan perang.
Sang istri yang telah memberinya 14 orang anak itu adalah tangan kanan yang mendampinginya.
Pada tahun 1630 M, Syah Jehan bersama pasukannya yang juga ditemani sang istri berangkat menuju wilayah tengah India.
Ia ingin memadamkan api pemberontakan di wilayah tersebut.
Sayang, saat perjalanan pulang menuju Accra, Mumtaz Mahal jatuh sakit.
Dah, upaya Syah Jehan mengonati istri dengan mendatangkan dokter terbaik gagal, dan Mumtaz Mahal wafat saat melahirkan anak ke-14 mereka.
Untuk mengenang istri tercinta, Syah Jehan membangun makam megah yang dikerjakan selama 22 tahun, dan itulah Taj Mahal.
Baca juga: Sudah Ditolak, Pemuda India Kekeuh Bisa Nikahi Syarifah dan tak Mau yang Lain, Asib: Cinta Pertama
Taman Ghairah untuk Putroe Phang
Di Aceh juga ada taman Ghairah, yang juga menjadi banggunan cinta Sultan Iskandar Muda untuk permaisurinya yang berasal dari Pahang, Putroe Phang.
Taman ini kabarnya dibangun karena Sultan sangat mencintai Putri Pahang dan agar sang permaisuri tidak kesepian bila di tinggal Sultan menjalankan pemerintahan.
Kedekatan Aceh dengan India juga terlihat dari jejak asal ulama Aceh, Syech Nuruddin Ar Raniry.
Ulama akhir abad ke-16 ini adalah kelahiran Ranir, India.
Posisi dan pengaruh Syech Nuruddin Ar Raniry di Aceh sangat kuat.
Sebagai penasihat kesultanan sudah tentu ikut mempengaruhi perjalanan kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani.
Salah satu kitab Syeck Nuruddin Ar Raniry adalah Bustanus Salatin yang di dalamnya ikut menerangkan tentang Tamah Ghairah yang dibangun oleh Iskandar Muda.
Saat ini Taman Ghairah dikenali Taman Putroe Phang.
Ar-Raniry dalam Kitab Bustanussalatin menulis: Syahdan dari kanan Sungai Darul Ishki itu suatu medan yang amat luas, kersiknya daripada batu Pelinggam, bergelar Medan Khairani, dan pada sama tengah medan itu sebuah gunung di atasnya menara tempat semayam, bergelar Gunongan Menara Permata, tiangnya terbuat dari perunggu dan atabnya bertutupkan perak. dan kemunchaknya suasa. Maka apabila saat terkena cahaya matahari, memantulkan sinar yang berkilau. Di dalamnya terdapat beberapa batu permata dengan bermacam warna, Sulaimani dan Yamani. Dan di dalam Gunongan terdapat pintu yang dilapisi perak.
Dan, Syech Nurudin Ar Raniry lah yang dengan argumennya membuka jalan bagi perempuan menjadi Sultanah di Aceh.
Paska meninggalnya Putra Bungsu (Iskandar Tsani), istrinya yang menjadi janda Salfiah diangkat menjadi Sultanah Aceh dengan gelar Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin.
Sultanah Safiatuddin juga membangun bangunan yang diberinama Kandang Gunongan yang melibatkan arsitektur asal Turki.
Kandang ini dipakai sebagai tempat makam suaminya (Iskandar Tsani) yang amat dicintainya.
Begitulah, kisah cinta memang senantiasa menarik untuk disimak, dan diikuti jalan ceritanya, baik kisah yang terjadi saat ini ataupun yang terjadi di masa silam, baik itu kisah pilu atau kisah yang berakhir bahagia.
Dan, publik pasti masih terus mengikuti kisah Asib Ali dan Syarifah karena pasti banyak cerita yang belum terungkap semuanya, dengan terang. (*)
*) PENULIS adalah penikmat kopi, berdomisili di Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.