Kupi Beungoh

Aceh dan KPK

Narasi yang mempermalukan Aceh itu sudah kerap muncul dalam percakapan di medsos dan generasi millenial Aceh yang tidak bersentuhan dengan era konflik

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Risman Rachman, pemerhati politik dan pemerintahan. 

Oleh: Risman Rachman*)

 
Berita komentar sosiolog Aceh Ahmad Humam Hamid di Serambi Indonesia berjudul “KPK Jangan Permalukan Aceh” Minggu (19/2/2023) menarik untuk direnungkan, khususnya untuk mendalami bagaimana Pusat memperlakukan Aceh di masa transisi pascadamai, yaitu dari perang ke perdamaian.

Dengan cara begitu, ajakan Humam Hamid agar KPK menggunakan pertimbangan sosiologis terhadap kasus gratifikasi yang diduga melibatkan Ayah Merin dan sangat mungkin ikut menyeret sosok-sosok lain, dapat ditemukan relevansinya.

Sejujurnya saya tidak membaca tanda-tanda Humam Hamid sedang ingin membela tindakan korupsi di Aceh.

Korupsi dalam arti memperkaya diri sendiri dan atau orang lain secara tidak sah, jelas tidak etis untuk dibenarkan, apalagi untuk dibela.

Saya menangkap berita komentar Humam Hamid semata sebagai kepekaan seorang pakar yang menangkap getaran kegelisahan sosial di Aceh, yang apabila dibaca secara politik sebagai perilaku pusat mempermalukan Aceh, maka akan sangat berbahaya bagi tekad bersama menjaga perdamaian Aceh.

Karena itu, Humam mengajak KPK untuk mendekati kasus-kasus korupsi yang terjadi pada masa transisi pascadamai, dari perang ke perdamaian, termasuk yang diduga melibatkan Ayah Merin dan mungkin juga dapat “menyeret” Irwandi Yusuf dan lainnya secara sosial.

Di era media sosial yang tanpa kendali, siapapun akan dengan mudah menjatuhkan penilaiannya bahwa Aceh tidak maju-maju bukan karena salah Pusat, melainkan karena perilaku korupsi dan ketidakcakapan para pemimpinnya sendiri.

Narasi yang mempermalukan Aceh itu sudah kerap muncul dalam percakapan di media sosial dan generasi millenial Aceh yang tidak bersentuhan dengan era konflik tidak mampu melakukan counter opini yang berserakan di media sosial.

Padahal, untuk saat ini, media sosiallah yang paling besar pengaruhnya, termasuk mempengaruhi elite politik.

Presiden Jokowi sendiri ikut “terpapar” dengan narasi bebas publik.

Pada Februari 2020, Jokowi sempat menyindir permintaan perpanjangan dana Otsus dengan menyoal APBA yang besar selama ini, namun belum mendatangkan manfaat kepada rakyat, karena angka kemiskinan Aceh masih tinggi.

Padahal, pada saat kampanye di hadapan ulama pada Maret 2019 Jokowi secara tegas menyatakan akan kembali memperpanjang dana Otsus dengan alasan sangat ingin memajukan Aceh.

Dan itu, kata Jokowi karena dirinya pernah tinggal di Aceh, seperti di Lhokseumawe dan Aceh Tengah.

Itu contoh saja bagaimana narasi publik di media sosial dapat mempengaruhi pemimpin di Pusat dalam memperlakukan Aceh.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved