Berita Banda Aceh

Selain Modal Usaha, Pemerintah Pusat Diminta Lihat Reparasi Korban Pelanggaran HAM Berat Secara Utuh

"Jadi pemulihan ini harus dilakukan secara keseluruhan, baik pemukimannya, akses informasi, infrastruktur, layanan publik, maupun hak-haknya secara...

Penulis: Indra Wijaya | Editor: Nurul Hayati
zoom-inlihat foto Selain Modal Usaha, Pemerintah Pusat Diminta Lihat Reparasi Korban Pelanggaran HAM Berat Secara Utuh
For Serambinews.com
Mantan Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad.

"Jadi pemulihan ini harus dilakukan secara keseluruhan, baik pemukimannya, akses informasi, infrastruktur, layanan publik, maupun hak-haknya secara kependudukan. Itu harus diperhatikan semua," kata Zulfikar kepada Serambinews.com, Jumat (3/3/2023).

Laporan Indra Wijaya | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Pemerintah Pusat merencanakan akan memberikan bantuan modal usaha kepada para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu.

Menanggapi hal tersebut, Mantan Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad mengapresiasi langkah pemerintah yang akan memberikan bantuan modal usaha tersebut.

Menurutnya hal tersebut merupakan langkah yang baik untuk memperhatikan para korban pelanggaran HAM berat, khususnya di Aceh.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya Presiden RI Joko Widodo mengakui tiga pelanggaran HAM Berat di Aceh.

Pelanggaran HAM berat tersebut meliputi tragedi Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada tahun 1998 yang terletak di Desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie.

Kedua, peristiwa Simpang KKA di Aceh pada tahun 1999. 

Simpang KKA adalah sebuah persimpangan jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.

Baca juga: Wali Nanggroe Temui Mahfud MD, Serahkan Data 5.000 Kasus Pelanggaran HAM

Peristiwa ketiga yakni tragedi Jambo Keupok Aceh pada tahun 2003. 

Peristiwa ini terjadi di Desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan.

Ia mengatakan, dalam rangkaian reparasi korban pelanggaran HAM, harus dilihat secara keseluruhan dari semua korban konflik yang ada. 

Seperti, rusaknya sebuah kawasan berupa perusakan sekolah, jembatan dan sebagainya.

"Jadi pemulihan ini harus dilakukan secara keseluruhan, baik pemukimannya, akses informasi, infrastruktur, layanan publik, maupun hak-haknya secara kependudukan. Itu harus diperhatikan semua," kata Zulfikar kepada Serambinews.com, Jumat (3/3/2023).

Setelah semua itu sudah dilaksanakan, kemudian pemerintah juga harus melakukan pemulihan identitas. 

Dimana banyak dari korban konflik kehilangan identitas kependudukan. 

Baca juga: Sahuti Pengakuan Presiden Jokowi, KKR Laporkan Ribuan Kasus Pelanggaran HAM ke Wali Nanggroe

Hal itu dapat dilihat di Aceh, dimana pemerintah daerah masih harus melakukan peristiwa Itsbat Nikah kepada para korban konflik.

Lalu, pemerintah juga harus menempatkan para korban konflik ini pada kesempatan -kesempatan kerja. 

Program sebelumnya juga pernah ia jalankan, dimana mereka merekrut anak-anak korban konflik yang dijadikan tenaga ASN.

"Karena banyak dari mereka ini juga sudah berpendidikan dan jadi sarjana. Jadi sebagai bentuk integrasinya kepada pemerintah, hal ini bisa menjadi salah satu bentuknya," jelasnya.

Kemudian kata Zulfikar, bagi korban pelanggaran HAM berat yang kehilangan sumber ekonominya akibat cacat fisik dan sebagainya, bentuk reparasi yang harus dilakukan berupa pengobatan.

Jika hal itu sudah dilakukan, baru beranjak kepada pemulihan ekonomi para korban pelanggaran HAM berat ini secara keseluruhan dan pemberian modal usaha.

"Jadi bagi mereka tidak mendapat kesempatan sekolah saat perang, putus sekolah, usaha ekonomi ayahnya yang hancur, ini baru diberikan modal usaha," ungkapnya.

Baca juga: KMAS Meminta Kasus Pelanggaran HAM Berat di Aceh Diselesaikan PBB

Jadi lanjut dia,  reparasi ini harusnya itu dilakukan secara berjenjang. 

Sebab reparasi korban pelanggaran HAM berat dan konflik yang paling tetap ialah reparasi komunitas. 

Seperti, untuk reparasi simpang KKA. 

Bagaimana pemerintah membangun kembali simpang KKA itu menjadi sentral-sentral ekonomi yang berkelanjutan.

Jika itu dibangun, yang merasakan dampak ekonominya tidak hanya korban konflik saja, melainkan orang yang di sekitarnya juga. 

"Kawasannya itu yang harus hidup. Misal jika kita kasih mereka modal usaha Rp 1 miliar, namun jika kawasan itu tidak hidup, makan uang tersebut akan habis begitu saja. Dia akan kembali jatuh miskin lagi," jelasnya.

Karena hal itu juga, ia menyarankan agar melihat sistem reparasi itu secara itu. 

Tak hanya dengan pemberian modal usaha saja.  

Karena pelanggaran HAM berat ini tidak hanya merusak satu keluarga saja, melainkan satu kawasan di sana. 

"Begitu juga dilakukan terhadap daerah-daerah korban pelanggaran HAM berat lainnya. Ada perputaran di sana," imbuhnya.(*)

Baca juga: Tragedi Rumoh Geudong Diakui Negara Pelanggaran HAM Berat, Korban yang Masih Hidup Minta Satu Hal

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved