Opini

Omnibus Law Kesehatan, Masalah atau Harapan?

Regulator kesehatan tersebut beralasan Undang-undang “sapu jagat” ini mampu memperkuat sistem kesehatan nasional dan menjawab

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
dr Brury Apriadi Husaini MKM, wakil sekretaris II Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Banda Aceh dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Kedokteran FK USK. 

Oleh dr Brury Apriadi Husaini MKM

Wakil Sekretaris II Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Banda Aceh dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Kedokteran FK USK

PEMBAHASAN Rancangan Undang-undang Kesehatan atau Omnibus Law kesehatan yang saat ini masuk dalam program legislasi nasional tahun 2023 mengundang berbagai kontroversi di masyarakat.

Rancangan yang menaungi belasan kebijakan kesehatan di antaranya Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 bahkan Undang-undang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Keluarga Berencana (KB) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), menempatkan semua urusan pelayanan kesehatan di bawah kendali Kementerian Kesehatan.

Regulator kesehatan tersebut beralasan Undang-undang “sapu jagat” ini mampu memperkuat sistem kesehatan nasional dan menjawab berbagai problem kesehatan di antaranya birokrasi pengurusan surat tanda registrasi (STR) dan izin praktik tenaga kesehatan, pemerataan dan ketersediaan dokter spesialis, sulitnya membuka program studi dokter spesialis, masalah akses dan mahalnya biaya pelayanan kesehatan, terhambatnya investasi asing di bidang kesehatan serta masalah kesehatan lainnya.

Omnibus Law Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat

Dalam draf rancangan Undang-undang setebal 340 halaman dan 457 pasal ini, Kementerian Kesehatan menyatakan akan menyederhanakan regulasi penerbitan Surat Izin Praktik (SIP) yang selama ini menjadi salah satu kewenangan organisasi profesi dalam mengeluarkan rekomendasinya.

Rekomendasi izin praktik ini diperlukan untuk mengurus izin praktik di dinas perizinan daerah. Selama ini, organisasi profesi juga berwenang memperpanjang batas waktu berlakunya surat tanda registrasi (STR).

Dimana para tenaga kesehatan harus memenuhi sejumlah satuan kredit profesi (SKP) per tahun yang harus dikumpulkan lewat berbagai ranah pembelajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat.
Pemenuhan SKP ini mengharuskan tenaga kesehatan terbebani dari sisi finansial dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Berbagai kalangan menilai peran organisasi profesi terlalu besar untuk mengatur persoalan ini dan dianggap berpotensi menyalahgunakan kewenangannya.

Birokrasi pemberian Surat Izin Praktik (SIP) pada dokter lulusan luar negeri yang ingin berpraktik di Indonesia juga menjadi sorotan pembenahan dalam rancangan undang-Undang ini, program penyetaraan dan tes penempatan dianggap menjadi batu sandungan bagi dokter lulusan luar negeri untuk segera melayani pasien.

Buruh Demo Tolak Omnibus Law Cipta Kerja, Ini Tuntutan Pengunjuk Rasa Terhadap Pemerintah Aceh

Persoalan pendirian program studi kedokteran juga menjadi salah satu substansi dalam omnibus law kesehatan ini. Terbatasnya program studi kedokteran dianggap membuat lulusan dokter menjadi minim, sehingga menjadi alasan sejumlah pihak untuk berobat keluar negeri.

Menurut World Health Organization (WHO), jumlah ideal dokter yakni 1 per 1000 penduduk, dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 275 juta jiwa idealnya Indonesia memiliki 275 ribu dokter.
Namun faktanya saat ini Indonesia baru memiliki sekitar 120 ribu dokter.

Kementerian Kesehatan berencana akan menarik kembali wewenang pendirian Fakultas Kedokteran dan program studinya yang selama ini menjadi kewenangan Kementerian Pendidikan dengan rekomendasi Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai salah satu persyaratannya.

Seperti Undang-undang Cipta Kerja, menurut beberapa pihak omnibus law kesehatan ini disinyalir bertujuan memuluskan investasi asing, salah satunya membuka rumah sakit asing di Indonesia.

Pemerintah beranggapan ratusan ribu bahkan 1 juta orang setiap tahun mencari pelayanan kesehatan di luar negeri.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved