Opini

Gerakan Politik Islam Aceh

Kekecewaan gerakan politik Islam Aceh ini melahirkan satu pertanyaan besar kepada model kepemimpinan Aceh saat ini yaitu: Bisakah syariat Islam ditega

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
T Muhammad Jafar Sulaiman MA, pengajar Filsafat Politik, Analis pada Meta Politica 

Perebutan kekuasaan

Menggeliatnya gerakan politik Islam ini jika dilihat dari puncaknya adalah karena kekecewaan atas ketidak sungguhan mempraktikkan pola kepemimpinan Islami dalam pemerintahan dan cacatnya moral politik para politisi dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.

VIDEO - Macron dan Kurz Motori Front Bersama Eropa Lawan Politik Islam

Dalam fenomena disilusi (kekecewaan) pada kepemimpinan yang dihasilkan dari demokrasi elektoral sebelumnya telah mendorong lahirnya gerakan Islam politik. Imajinasi bahwa Islam adalah politik semakin memperkuat lahirnya gerakan politik Islam di Pilkada 2024 nanti.

Apa yang dilakukan oleh gerakan politik Islam ini adalah gerakan yang berani, yaitu gerakan yang merubah kontestasi politik Aceh, dari ruang teritori isu seperti yang selama ini dilakukan kepada ruang terbuka yaitu perebutan kekuasaan di arena politik praktis.

Kekecewaan gerakan politik Islam Aceh ini melahirkan satu pertanyaan besar kepada model kepemimpinan Aceh saat ini yaitu: Bisakah syariat Islam ditegakkan oleh kekuasaan yang tidak Islami?

Bagi gerakan yang semakin masif ini, kepemimpinan di Aceh selama ini adalah kepemimpinan yang sama sekali tidak islami, karena itu mereka ingin mengambil alih kepemimpinan atau dengan bahasa lain ingin mengislamkan kepemimpinan yang tidak islami ini.

Pemerintahan islami ukurannya bukanlah berapa banyak hukuman cambuk di lakukan, berapa banyak penggerebekan dilakukan, tetapi seberapa besar daya kuasa kekuasaan dipakai, diarahkan dan diwujudkan bagi kesejahteraan rakyat dan kebaikan rakyat.

Kerinduan pada model kepemimpinan yang setiap geraknya, setiap pikirannya dan setiap visinya adalah kesejahteraan rakyat kini telah dititipkan pada gerakan politik Islam.

Di sini, makna demokrasi dibaca bukanlah pertentangan, tetapi pembebasan rakyat dari janji-janji politik temporal kepada keabadian tanpa janji, yaitu keabadian kewajiban menunaikan amanah yang dititipkan melalui doa dan air mata dari runtuhnya bangunan kepemimpinan yang mengecewakan dan pengharapan akan bangunan baru yang kokoh, bersih dan tidak koruptif, demarkasi batas antara pengelolaan kepentingan terbatas dengan reduksi kepentingan bagi kemaslahatan bersama.

Jika dicermati, gerakan politik Islam Aceh ini memiliki beberapa fondasi yaitu bahwa pada hakikatnya kepemimpinan atau pemerintahan itu adalah “uswatun hasanah” (suri teladan), dan “khadimul ummah” (pelayan ummat), yang keberadaan dan eksistensinya adalah memperbaiki akhlak dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Menegakkan agama, maka butuh kekuasaan, terutama spirit agama rahmatan lilalamin, Islam otentik, menjadi awan yang menaungi siapa saja untuk kebaikan, keselamatan dan kesejahteraan.

Dalam makna ini, maka dalam gerakan politik Islam, demokrasi juga dipahami sebagai demokrasi agama.

Di sini, demokrasi agama dibaca sebagai bahwa siapa pun berhak secara setara untuk masuk dalam arena kontestasi kekuasaan politik setelah filterisasi dengan kapasitas akhlak, pengetahuan keagamaan dan pengabdian kepemimpinan bagi kemajuan agama (rahmatan lil’alamin).

Filterisasi ini terbaca bahwa kepemimpinan bukan sembarangan bisa diambil oleh siapa saja, tapi oleh orang tertentu yang punya kapasitas, kepatutan dan yang paling utama adalah keteladanan.

Penerjemahan ini, semakin diperkuat dengan realita kekecewaan terhadap praktik politik yang dihasilkan demokrasi, tanpa keteladanan (uswah hasanah) dan belum menjadi pelayan umat (khadimul umat).

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved