Jurnalisme Warga

Samarinda, Kota Elay dan Kepiting Asap

Terima kasih Samarinda, kesan senang yang kami bawa setelah mengunjungi kotamu

Editor: mufti
Hand-over dokumen pribadi
Sekretaris Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aceh, dr Aslinar SpAM Biomed. 

Dari infomasi yang kami dapatkan, bila berwisata di Kota Samarinda, tidak banyak tempat yang bisa dikunjungi. Lebih banyak berupa tempat kuliner dan pasar. Kami disarankan untuk ke Kota Tenggarong yang berjarak satu jam dari Kota Samarinda.

Di Kota Tenggarong ini kami mengunjungi Museum Mulawarman. Di museum ini disimpan dan dipamerkan berbagai benda bersejarah yang unik dan antik, peninggalan Kerajaan Kutai Kertanegara.

Terdapat juga pajangan singgasana raja/permaisuri, baju adat kerajaan, dan keramik antic.

Berbagai benda berupa piring, gelas, dan peralatan rumah tangga antik ikut dipajang, termasuk alat musik gamelan dan banyak benda bersejarah lainnya.

Di dalam museum ini juga terdapat patung para kepala pemerintahan Provinsi Kalimantan, yaitu patung para gubernur dan wakil gubernur yang pernah menjabat. Di antaranya kami juga menemukan patung Bapak Dr Ir Tarmizi Abdul Karim MSc, putra Aceh Utara yang pernah menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Kalimantan Timur pada tahun 2008.

Di bagian halaman samping museum terdapat makam para raja Kerajaan Kutai Kertanegara.

Setelah puas berkeliling Museum Mulawarman, kami lanjutkan perjalanan untuk mengunjungi Museum Kayu. Namun sayang, museum tersebut sedang tidak dibuka pada hari itu.

Selanjutnya, kami pun berpindah menuju lokasi wisata lainnya, yaitu Pulau Kumala. Untuk mencapai pulau tersebut, kami harus berjalan kaki menyeberangi sungai melintasi jembatan yang panjangnya lebih kurang 200 meter. Jembatannya indah dan bewarna kuning. Di sepanjang jembatan yang sudah dilengkapi dengan jeruji pengaman, tampak banyak gembok-gembok kunci yang bertuliskan nama pasangan. Entah apa maksud mereka meletakkan gembok kunci di situ, mungkin simbol cinta sejati.

Untuk masuk menjelajah Pulau Kumala ini, harus membeli tiket seharga Rp7.000 saja dan kita bisa sepuasnya berkeliling. Karena pulaunya lumayan luas kalau berjalan kaki, di sini disediakan sepeda motor listrik yang bisa disewa seharga Rp50.000 per jamnya. Karena bertepatan dengan waktu shalat Jumat, maka kami hanya berada sebentar saja di pulau tersebut, kemudian kembali ke Samarinda untuk shalat Jumat dan bersambung dengan menikmati kulinernya,

Penduduk di Samarinda ini beragam sukunya sehingga makanan pun tidak ada yang spesifik. Namun, ada dua jenis makanan yang belum pernah kami temukan di tempat lain. Yaitu, kepiting asap dan buah elay. Kepiting asap ini dimasak dengan bumbu yang luar biasa enak walaupun pedas dan kemudian dibungkus dengan daun pisang dan kertas aluminium foil dan selanjutnya dibakar. Barulah kemudian dinikmati dengan nasi putih. Waw, luar biasa nikmat rasanya.

Sedangkan buah elay adalah buah-buahan semacam durian yang dagingnya berwarna oranye dan rasanya enak sekali. Mirip durian, tapi bukan durian. Ya, semacam perpaduan antara nangka dan durian mungkin (itu menurut kami sih). Warna dagingnya seperti Nangka, tapi rasanya seperti durian. Bagian kulit duriannya berduri tapi, tidak setajam durian.

Saking tertariknya kami pada buah elay ini, kemudian kami pun bertanya kepada kerabat yang ada di Kota Samarinda apakah mungkin untuk membawa bibit pohon elay tersebut. Dan alhamdulillah kami pun dihadiahi lima batang elay. Nah, karena ini berupa tumbuhan, saat ‘check in; di bandara kami diharuskan melapor ke bagian karantina tumbuhan. Membawa lima bibit pohon elay ini hanya dikenakan biaya Rp5.200 saja, kemudian kepada kami diberikan surat izin dari bagian karantina. Mudah saja prosesnya dan cepat. Terima kasih Samarinda, kesan senang yang kami bawa setelah mengunjungi kotamu. 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved