Jurnalisme Warga

Aksara Aceh Sama Dengan Harah Jawoe

Salah satu hal yang diperbincangkan warganet adalah maksud dari aksara Aceh. Banyak di antara mereka bertanya mana yang disebut aksara Aceh?

Editor: mufti
Serambi Indonesia
T.A. SAKTI, alumnus Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, 2007, melaporkan dari Bale Tambeh, Gampong Tanjung Selamat, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar 

T.A. SAKTI, peminat manuskrip dan sastra Aceh, melaporkan dari Rumoh Teungoh, Gampong Ujong Blang, Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya

INSTRUKSI  Gubernur Aceh  Nomor 05/INSTR/2023 tentang  Penggunaan Bahasa Aceh, Aksara Aceh, dan Sastra Aceh disambut masyarakat Aceh dengan antusias. Hal ini terkesan dari banyaknya komentar dan silang pendapat dalam ruang dunia maya alias media sosial (medsos).

Salah satu hal yang diperbincangkan warganet adalah maksud dari aksara Aceh. Banyak di antara mereka bertanya mana yang disebut aksara Aceh? Lalu, sebagian menjawab bahwa aksara Aceh adalah penulisan bahasa Aceh dalam huruf  Latin yang menggunakan tanda diakritik atau apostrof seperti yang diajarkan orientalis Belanda, Snouck Hurgronje.

Saya yakin, sebagian peserta yang berdakwa-dakwi tentang aksara Aceh belum membaca Instruksi Gubernur Aceh bertanggal 21 Maret 2023 M/29 Syakban 1444 H itu secara tuntas. Sebab, dalam instruksi butir kelima telah diterangkan bahwa aksara Aceh berhuruf Arab–Jawi alias aksara Aceh sama dengan harah Jawoe (huruf Jawi) atau aksara Arab Melayu, disebut juga Arab pegon (Arab menyimpang) dalam sebutan orang Jawa. Disebut menyimpang karena huruf Arab asli sudah dibuat beberapa penyesuaian.

Bunyi instruksi  kelima sebagai berikut: Bupati/Wali Kota, Kepala SKPA, Kakanwil Kementerian/Nonkementerian Provinsi Aceh, Kepala Biro, Pimpinan BUMN  dan Perbankan, serta BUMA untuk menerapkan  Aksara Aceh berhuruf Arab–Jawi pada penulisan nama kantor pada instansi Saudara sebagai pelengkap dari penulisan nama dalam bahasa Indonesia.”

Bukan hal baru

Pemakaian aksara Aceh yang berhuruf Arab–Jawi sudah amat tepat  bila dikaji dari segala sudut pandang, baik dari arus sejarah, agama Islam, maupun budaya dan adat istiadat Aceh. Bahwa huruf Arab Jawi sudah bertapak di Aceh sejak berabad-abad yang lampau, yakni sejak masuknya agama Islam ke daerah ini.

Penggunaan aksara yang bukan berasal dari bumi asli setempat, bukanlah hal baru dalam sejarah beragam aksara yang ada di dunia sampai sekarang. Huruf Palawi  lahir dan berkembang di negeri  Persia kuno. Ketika huruf ini masuk ke India, setelah mengalami sejumlah modifikasi, maka namanya berubah menjadi aksara Pallawa yang digunakan untuk menulis ajaran-ajaran Hindu dan Buddha.

Pada waktu agama Hindu dan Buddha berkembang di Jawa dan Bali, huruf asal India ini berganti nama menjadi aksara Jawa dan aksara Bali. Seiring dengan berkembangnya di Nusantara, agama Buddha juga masuk ke beberapa negara kawasan Asia Tenggara, seperti ke Negeri Gajah Putih, Thailand, Kamboja, Myanmar, Vietnam, dan Laos.

Di negeri-negeri wilayah Asia Tenggara ini pun, huruf Pallawa menerima seleksi sebagai bentuk “disesuaikan” dan namanya pun berganti menurut kesepakatan masyarakat setempat. Dalam banyak demonstrasi yang disiarkan media massa, warga Thailand membawa spanduk bertuliskan aksara “Pallawa” yang telah dipermak tentunya.
Mari kita berpaling ke wilayah Asia Timur. Huruf induk di wilayah ini adalah aksara Kanji yang lahir dan berkembang di Tiongkok yang dalam bahasa Mandarin disebut Hanzi. Di saat huruf Kanji beranjak ke Jepang untuk kepentingan penulisan ajaran agama Shinto, pada masa awal kehadirannya aksara Kanji yang telah diubah ini diberi nama huruf Hiragana. Pada perkembangan selanjutnya, dengan penyesuaian yang lebih ekstrem, aksara ini bernama  Katakana. Tokoh pembaruan huruf Kanji di Jepang adalah pendeta, baik dari agama Shinto maupun agama Buddha.

Aksara yang digunakan di Semenanjung Korea (negara Korea Selatan dan Korea Utara) juga berasal dari huruf Kanji asal Cina. Di Korea  huruf asal Tiongkok ini disebut Hanja.  Setelah mengalami perubahan di Korea Selatan diberi nama Hangul dan di Korea Utara disebut Joson-gul. Pelopor perubahan aksara Cina ke huruf Korea adalah Raja Sejong Yang Agung pada abad ke-15, tepatnya pada tahun 1443.

Begitulah, dengan segala  bentuk modifikasi terhadap huruf induk, maka masing-masing wilayah sudah mengeklaim bahwa mereka memiliki aksara sendiri. Sesuai dengan beberapa contoh di atas, maka  muncullah pengakuan nama atau istilah: aksara Jawa, aksara Bali, aksara Thailand, aksara Kamboja, aksara Myanmar, aksara Vietnam, aksara Laos, aksara Jepang, aksara Korea Selatan, dan aksara Korea Utara.

Sehubungan dengan  maraknya  penjajahan Barat di Asia Tenggara dan Asia Timur, maka sebagian negeri-negeri tersebut di atas sudah beralih ke huruf Latin dan  beberapa  lagi memakai dwiaksara, baik huruf warisan leluhur  maupun  aksara Latin. Sementara itu huruf Arab asli juga mengalami  modifikasi untuk menulis bahasa  Aceh  dan bahasa Melayu/Indonesia.

Huruf Arab Melayu

Aceh adalah pelopor aksara Arab Melayu di Asia Tenggara. Hal ini karena Aceh merupakan wilayah pertama berkembangnya agama Islam di wilayah ini. Sebagai umat Islam, pada mula mereka diperkenalkan  kepada kitab suci Al-Qur'an dan hadis. Kedua sumber ajaran Islam itu terekam  dalam huruf dan bahasa Arab. Sejak itu berkembanglah huruf Arab dan bahasa Arab di Aceh.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved