Jurnalisme Warga

Aksara Aceh Sama Dengan Harah Jawoe

Salah satu hal yang diperbincangkan warganet adalah maksud dari aksara Aceh. Banyak di antara mereka bertanya mana yang disebut aksara Aceh?

Editor: mufti
Serambi Indonesia
T.A. SAKTI, alumnus Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, 2007, melaporkan dari Bale Tambeh, Gampong Tanjung Selamat, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar 

Bagi upaya memperluas ajaran Islam  dan  pengetahuan masyarakat, para ulama Aceh menulis berbagai kitab dalam bahasa Melayu dan Arab dengan menggunakan huruf Arab. Mengapa mereka mengarang dalam bahasa Melayu, bukan dalam bahasa Aceh? Sebab, menulis kitab dalam bahasa Aceh lebih kecil area penyebarannya. Sementara tulisan dalam bahasa Melayu bisa dibaca masyarakat muslim di seluruh Asia Tenggara. Jadi, sejak dulu, para ulama Aceh sudah berwawasan global, mendunia.

Beberapa kisah sejarah Islam dan kitab agama dalam bahasa Melayu warisan para ulama Aceh tempo dulu yang masih dikenal hingga sekarang, misalnya Kisasul Ambia (Kisah Para Nabi), Kisah Nabi Muhammad dan para sahabat, Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Amir Hamzah, Kitab Masailal,  Kitab Bidayah, Kitab Delapan, dan lain-lain.

Cukup lama, bisa dikatakan melintasi abad, para ulama Aceh mengayun pena dalam huruf Arab asli tanpa modifikasi atau penyesuaian apa pun. Jangankan buat menulis dalam bahasa Melayu, dalam bahasa Jawa pun para ulama di sana juga menulis dalam huruf Arab asli. Padahal, dalam bahasa Jawa banyak kata-katanya berbunyi (o).

Aksara asli Arab  yang berjumlah 29 huruf itu bisa dipakai untuk menulis bahasa apa pun, asal mau dibaca dengan hati-hati pada mulanya, dan kemudian mampu dibaca dengan lancar karena sudah terbiasa.
Barulah kemudian, muncul modifikasi terhadap huruf Arab asli secara bertahap. Huruf-huruf modifikasi bagi tulisan asli aksara Arab adalah ca, nga, nya, ga, dan pa. Kelima ejaan ini tidak ada dalam rangkaian huruf Arab asli, tapi sangat diperlukan bagi memudahkan membaca  aksara Arab bagi bahasa Melayu, Aceh, dan bahasa lainnya.
Menurut pengamatan saya, para pemikir ulama Aceh tidak dapat  “mencipta” sekaligus kelima huruf tambahan ini. Hal itu berlaku bagi bahasa Melayu mupun bahasa Aceh.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved