Opini

Moderasi Beragama Tester Software Syariat Islam

Untuk menjelaskan hal itu, akan diuraikan posisi penting konsep moderasi beragama dan hubungannya dengan Syariat Islam di Aceh.

Editor: mufti
IST
Ali Abubakar 

Ali Abubakar, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry dan Wakil Sekretaris Lembaga Pemerhati dan Advokasi Syariat Islam (LEPADSI)

TULISAN ini berangkat dari pandangan sebagian sarjana dan masyarakat umum bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah upaya kembali ke masa lalu, berpotensi mendegradasi substansi syariat itu sendiri, dan mengganggu tatanan kehidupan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk menjelaskan hal itu, akan diuraikan posisi penting konsep moderasi beragama dan hubungannya dengan Syariat Islam di Aceh.

Di sini digunakan istilah “tester” yang biasanya berhubungan dengan uji coba. Dalam sebuah proses memprogram software, perlu dilakukan suatu pengetesan yang dilakukan oleh tester. Pengetesan ini dilakukan guna melihat apakah pada software tersebut terdapat hal yang perlu ditinjau kembali atau sudah layak untuk digunakan. Tester mencari masalah yang mungkin ada pada sebuah produk; dilakukan eksplorasi, evaluasi, pelacakan, dan pelaporan kualitas produk. Dengan demikian, orang lain dapat memutuskan untuk pengembangan atau menggunakan suatu produk.

Moderasi beragama

Dalam beberapa tahun belakangan ini, istilah “moderasi beragama” mencuat ke permukaan; tidak hanya dalam pemikiran para sarjana tetapi sampai pada tingkat aksi yang dimotori oleh lembaga resmi. Pada tanggal 1-3 Mei 2018, sejumlah cendekiawan Muslim dunia hadir di Bogor untuk agenda High Level Concultation (HLC) of World Muslim Scholars on Wasatiyat Islam).  Pertemuan ini dilakukan untuk mempromosikan wasathiyah Islam  ke seluruh dunia; didasari keyakinan bahwa prinsip tersebut amat penting bagi kemajuan Islam dan dunia.

Menurut Din Syamsuddin (waktu itu Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar agama dan Peradaban), ada dua hal yang membuat wasathiyah Islam menjadi hal yang penting. Pertama, realitas Islam yang tidak menunjukkan corak yang moderat. Kedua, kehidupan manusia yang mengalami kerusakan, ketidakteraturan, dan ketidakpastian secara global.

Pada ranah yang lebih luas,  munculnya berbagai konflik dan ketegangan antar umat manusia dalam keragaman agama, suku, dan paham dinilai sebagai akibat dari cara beragama yang kaku di satu sisi, atau terlalu luas di sisi lain.  Karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi Majelis Umum (UNGA) pada bulan Desember 2017 menetapkan tahun 2019  sebagai The International Year of Moderation atas inisiatif Malaysia sebagai upaya "memerangi penyebaran ekstrimisme dan radikalisme dengan mengadopsi sikap moderat".

Dalam Islam, moderasi ini sering dihubungkan dengan wasaṭiyyah yang bermakna “menempatkan sesuatu di tengah-tengah”. Al-Maydānī dalam al-Wasaṭiyyah fi al-slam menyatakan, wasaṭiyyah  bermakna berdiri di antara dua sisi yang bertolak belakang yaitu ghuluw (radikal) dan tafrith (berlebihan). Menurutnya, sikap wasaṭiyyah berlaku antara dunia dan akhirat, iman, akhlak, ibadah, pengelolaan harta, dan dakwah. Menurut Muhammad `Imārah, wasaṭiyyah  adalah manhaj dan peradaban Islam.

Konsep wasaṭiyyah didasarkan pada al-Baqarah: 143: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia…”.  Jadi moderasi beragama adalah karakter utama Syariat Islam sendiri. Karena itu, ia menjadi alat uji atau tester pelaksanaan ajaran Islam.

Moderatisme syariat

Semangat perjuangan masyarakat Aceh dalam pelaksanaan syariat Islam adalah bagian dari hak yang dilindungi oleh konstitusi Indonesia. Karena itu, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Aceh untuk mengatur urusan ini dalam kerangka NKRI melalui UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan sebelum itu melalui UU 44/99 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Artinya, pelaksanaan syariat Islam di Aceh mesti berada dalam rangka kemajemukan agama, suku, budaya, dan bahasa yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Dalam kerangka kemajemukan ini, moderasi beragama menjadi sangat vital karena menghendaki agar karakter ajaran agama dikembangkan bertujuan menjaga ekuilibirium (keseimbangan) dalam segala hal, guna mempertahankan dan memperteguh NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam konteks Aceh, karakter moderasi Islam yang harus menjadi acuan utama yang juga dijadikan sebagai tester-nya adalah inklusivisme yaitu keterbukaan menerima keragaman dan perubahan.

Di sini diajukan dua komponen tester inklusivisme ini. Pertama, terkait dengan keragaman, syariat Islam sesungguhnya menerima kearifan lokal yang demikian variatif. Alquran turun tidak dalam ruang hampa; berhadapan dengan masyarakat Arabia dengan kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi tertentu.
Interaksi Alquran dengan masyarakat Arab abad ke-6 Masehi melahirkan Islam yang khas. Karena itu, ada “aroma” tradisi Arab dalam banyak literatur dan praktik klasik Islam, misalnya pada fikih. Hal ini memang sangat mungkin karena sebagian besar ayat Alquran dan hadis Nabi terbuka untuk penafsiran yang dipengaruhi oleh tradisi intelektual dan unsur lokal penafsir. Di sinilah “aroma” lokal akan memberi ciri luar Islam.

Ini juga mestinya berlaku untuk Aceh; syariat Islam diformat dan dijalankan dengan memperhatikan atau memanfaatkan budaya lokal, sebagai sistem hukum yang berlaku di Indonesia di samping rujukan pada fikih klasik itu sendiri. Dengan demikian, “aroma” tradisi Aceh dan “keindonesiaan” akan menjadi ciri khas dalam pelaksanaan syariat Islam.

Syariat Islam di Aceh mestilah syariat dalam bingkai NKRI yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Ini juga mengacu pada hadis maja populer dalam bahasa Aceh: “hukom ngon adat lagee zat ngeun sipeut” (agama dan tradisi menjadi satu kesatuan, seperti zat dengan sifatnya).

Kedua, syariat Islam mesti lebih mengacu pada aplikasi nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, kedisiplinan, persatuan, perlindungan, dan social welfare daripada sekadar formalitas. Ini adalah nilai universal lintas agama, budaya, atau ajaran filsafat. Dengan kata lain, nilai-nilai syari sesungguhnya perlu menjadi lebih prioritas daripada upaya penyusunan qanun syariat.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved