Opini

Syariat Islam dalam 'Ayunan' Penguasa

Dalam konteks Aceh, bahkan mungkin di Nusantara, isu agama selalu saja “seksi”  untuk diperdagangkan dan dijual dengan harga murah. Faktanya berbagai

|
Editor: mufti
Dok Pribadi
Khairil Miswar adalah Penulis buku Habis Sesat Terbitlah Stres (2017) 

Jika ya, lantas mengapa mereka sibuk dengan kampanye syariat di ruang publik sementara ruang birokrasi dan politik masih saja “sekuler” dan jauh dari nilai-nilai syariat?Realitas demikianlah yang kemudian mendesak kita untuk menyebut strategi yang mereka lakukan dari dulu hingga sekarang sebagai “ayunan” yang membuat kita terlena dalam tidur siang yang panjang melalui “ritus simbolik” sehingga mereka dengan mudah bisa melupakan kewajiban-kewajiban mereka yang lebih esensial.

Akhirnya kita “disibukkan” dengan pakai sarung dan peci hari Jumat; duduk menyamping ketika berkendara; mengutuk konser sebagai penyebab banjir dan; mengusir orang di tempat wisata. Di waktu yang sama kita lupa bertanya Dana Otsus yang bertriliun-triliun itu dibawa ke mana; kenapa BBM subsidi terkadang kosong; kenapa jalan-jalan masih berlubang; kenapa kasus beasiswa belum selesai dan; kenapa pinjol kian merebak.

Di sinilah konsep yang ditinggalkan Snocuk kembali mekar berseri; di mana penguasa “mengayun” masyarakat dengan isu syariat Islam sembari “menutup mata” mereka dari “kegagalan” penguasa yang kian terbuka.

Koreksi ke dalam

Ada satu adagium yang cukup populer: Kesalahan paling besar yang kita miliki adalah ketika kita sibuk mengurusi kesalahan orang lain. Dalam konteks Aceh adagium ini mungkin senada dengan filosofi panyot culot: Menyinari orang lain sembari membakar diri sendiri.

Dalam hal ini, kita bisa melihat sendiri begitu maraknya seruan-seruan pemerintah agar rakyat tetap menjaga nilai-nilai syariat, etika dan moral. Namun, amat sangat jarang (kalau tidak mau disebut tidak ada) seruan atau pun maklumat yang ditujukan kepada pemerintah sendiri.

Apa salahnya jika sesekali pemerintah mengeluarkan maklumat kepada mereka sendiri? Kita merindukan penguasa yang sesekali dengan dada membusung mengumumkan pada publik: Contohlah kami; birokrasi kami sudah syariah; tidak ada pungli, tidak ada korupsi; tidak ada fee proyek; tidak ada jual beli jabatan; tidak ada kemiskinan; kami menyelamatkan hutan; kami menolak tambang; kami menjaga lingkungan; kami memberi makan fakir miskin dan seterusnya.

Bukankah seruan yang demikian lebih bersyariah dibanding memproduksi surat edaran untuk menutup kedai kopi jam 12 malam --yang dalam kenyataannya membuat rakyat kecil kian terjepit?

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved