Berita Banda Aceh

MaTA Nilai Penghentian Kasus Dugaan Korupsi Perjalanan Dinas Fiktif di KKR Aceh tak Ada Dasar Hukum

Koordinator MaTA, Alfian, mengatakan semestinya penyidik tetap harus berpegang pada UU Tindak Pidana Korupsi Nomo 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dipe

Penulis: Indra Wijaya | Editor: Mursal Ismail
For Serambinews.com
Koordinator MaTA, Alfian 

Koordinator MaTA, Alfian, mengatakan semestinya penyidik tetap harus berpegang pada UU Tindak Pidana Korupsi Nomo 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diperbaharui oleh UU Nomor 20 tahun 2021, dimana pasal 4 pengembalian uang negara tidak menghapus tindak pidana.

Laporan Indra Wijaya | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh atau MaTA menanggapi penghentian penyelidikan perkara dugaan korupsi dalam kasus tindak pidana perjalanan dinas fiktif 58 anggota Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) Aceh Tahun Anggaran 2022. 

Seperti diketahui Polresta Banda Aceh menghentikan penyelidikan perkara ini karena diselesaikan secara restoratif/pemulihan keuangan negara atau daerah. 

Koordinator MaTA, Alfian, mengatakan semestinya penyidik tetap harus berpegang pada UU Tindak Pidana Korupsi Nomo 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diperbaharui oleh UU Nomor 20 tahun 2021, dimana pasal 4 pengembalian uang negara tidak menghapus tindak pidana.

"Polresta menyelesaikan kasus ini secara restoratif tidak ada dasar hukumnya karena ini kasus korupsi, maka kembali ke UU Tipikor," kata Alfian saat dikonfirmasi Serambinews.com, Jumat (8/9/2023).

Dia mengatakan, jika perkara ini diselesaikan secara restrotif, maka pelaku kasus Lahan Zikir Nurul Arafah yang kini ditangani oleh Polresta Banda Aceh juga bisa meminta meminta penyelesaian secara restoratif. 

"Dan ini akan menjadi tameng bagi mereka yang bermental korupsi untuk menyelesaikan perkara. Karena ketika ketahuan mereka bisa mengembalikan keuangan negara," ungkapnya.

Perwakilan KKR Aceh mengembalikan barang bukti dugaan korupsi perjalanan dinas secara simbolis ke Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh, di aula setempat, Kamis (7/9/2023).
Perwakilan KKR Aceh mengembalikan barang bukti dugaan korupsi perjalanan dinas secara simbolis ke Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh, di aula setempat, Kamis (7/9/2023). (SERAMBINEWS.COM/ INDRA WIJAYA)

Baca juga: VIDEO - KKR Aceh Terlibat SPPD Fiktif Kembalikan Uang Kerugian Negara Rp 258 Juta

Harus dipahami lanjut Alfian, tindak pidana korupsi adalah kasus yang masuk dalam kejahatan luar biasa dan  Indonesia sudah menyatakan kasus korupsi, narkoba dan terorisme masuk ke dalam ranah tersebut.

Jadi lanjut dia, tidak ada negosiasi dan proses toleransi terhadap kasus tindak pidana korupsi yang terjadi.

Ia berharap , Polresta Banda Aceh juga harus berhati-hati dalam menyelesaikan perkara  korupsi melalui restoratif karena akan sangat berbahaya terhadap proses penegakan hukum.

"Bisa jadi akan banyak meminta penyelesaian secara restoratf," jelasnya

Pihaknya menyatakan sikap proses penyelesaian kasus korupsi secara restoratif tidak memiliki dasar hukum. 

"Kalau memang ada aturan tolong dijelaskan. Pasalnya modus operandi di KKR Aceh ini fiktif. Pengalaman kita fiktif ini merupakan tindakan korupsi paling jahat terjadi. Yang perlu diselamatkan bukan orangnya, tapi lembaga KKR-nya," pungkasnya.

Baca juga: Hasil Audit Inspektorat, Total 58 Orang Terlibat SPPD Fiktif KKR Aceh, Segini Jumlah Kerugian Negara

Sementara itu, Kapolresta Banda Aceh Kombes Fahmi Irwan Ramli melalui Kasat Reskrim, Kompol Fadillah Aditya Pratama mengatakan, penyelesaian kasus dugaan korupsi perjalanan dinas KKR Aceh itu dilesaikan secara restoratif/pemulihan keuangan negara atau daerah. 

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved