Abu Laot Tuding Bisnis Sabu dan Prostitusi Buat Nyaleg, Sayed: Saya Cari Sampai Lubang Sumur
Pengguna TikTok Abu Laot tuding Sayed Muhammad Muliady bisnis sabu dan prostitusi buat nyaleg hingga hina orang tuanya, sebut cari sampai lubang sumur
Penulis: Sara Masroni | Editor: Taufik Hidayat
Advokat senior itu juga bercerita, ternyata sejumlah kriminalitas yang dilakukan di ibu kota, penyebab utamanya hampir dipastikan Tramadol.
"Setiap tawuran, begal, geng motor, konsumsi pertamanya pasti Tramadol," ungkap Sayed.
Karena, katanya, Tramadol itu berbeda dengan sabu yang harganya lebih mahal, kemudian dampaknya membuat orang menjadi penakut atau semacam paranoid.
"Gak mungkin orang pakai sabu itu berani bunuh orang, jarang terjadi kasus," kata Sayed.
"Tapi kalau orang pakai Tramadol, ketika anak-anak mau Tawuran, itu polisi di mata dia itu kecil. Makanya pembacokan, segala macam," tambahnya.
Bahkan menurutnya, kalau ada geng motor yang menyerbu sebuah tempat perbelanjaan atau mini market, itu bisa dipastikan telah mengonsumsi Tramadol.
"Jadi kalau ada kasus geng motor misalnya serbu Indomaret, itu Tramadol. Dan itu sudah terverifikasi, kenapa? Harganya murah," ungkap Sayed.
Sebab dengan uang Rp 20.000 - Rp 100.000, para pelaku kriminal itu sudah bisa mengonsumsi narkotika dari obat Tramadol tersebut.
"Kemarin Kapolda Metro mengiyakan itu, sehingga beberapa ada yang digeledah segala macam, bahkan di Jakarta Barat kemarin dapat 30 juta butir," ungkap Sayed.
Advokat senior itu sempat menghubungi beberapa jenderal yang dikenalnya, menanyakan kasus Imam Masykur kenapa sampai dibunuh oknum Paspampres beberapa waktu lalu.
"Saya tanya, bang ureung Aceh. Nyoe peu masalah jih (ini orang Aceh apa masalahnya) bang, kok jadi pembunuhan. Apakah utang piutang, asmara," tanya Sayed ke salah satu jenderal.
"Kon dek, ubeut (bukan dek, obat). Begitu salah satu jenderal ini mengatakan seperti itu, saya langsung menulis tapi saya tidak menuduh siapapun," tambahnya.
Tulisan tersebut kemudian dimuat di Serambinews.com rubrik Kupi Bengoh dengan judul Mafia Tramadol dan Nama Baik Aceh.
"Kita sebagai orang Aceh di Jakarta, ini menjadi beban sosial yang luar biasa," ungkap Sayed.
Diceritakannya, dahulu kalau ada orang Aceh ke ibu kota dan sekitaran, langsung dipersilakan menjadi imam.
"Dulu kalau kita magrib, pergi musalla dibilang, bapak orang mana? Orang Aceh, silakan pak jadi imam," ungkap Sayed.
"Sekarang sudah becandaan, bapak dari mana? Dari Aceh. Na Tramadol (ada Tramadol?)," tambahnya tertawa.
Bisnis Tramadol Kejam Sekali
Advokat senior itu juga mengungkapkan kalau bisnis Tramadol ini kejam sekali, karena dapat meningkatkan kriminalitas.
"Ini bisnis kejam sekali, dia jual untuk orang berkelahi. Dia jual untuk keuntungan pribadinya, kemudian obat itu menyebabkan kriminalitas meningkat," ungkap Sayed.
"Orang bunuh-bunuhan, geng motor, kriminalitas. Karena pemakainya kelas menengah ke bawah semua," tambahnya.
Kemudian dari sisi penjual, ada yang tidak setor uang tagihan keamanan terancam dipukul dan disiksa.
"Yang disiksa kan bukan cuma Masykur, sudah banyak sekarang speak up, sudah ratusan orang," kata Sayed.
"Artinya pelaku ini menurut saya sadis sekali, jadi korban generasi muda dan korban juga adik-adik kita dari Aceh ini," tambahnya.
Menurut praktisi hukum itu, apa yang diungkapkannya ke publik selama ini bukan asal bunyi, melainkan data primer yang dapat dipertanggungjawabkan.
Verifikasi dilakukannya mulai dari pejabat di Polri, TNI hingga pihak yang terlibat seperti pelaku dan bekas korban.
"Makanya kalau ada orang tiba-tiba kemarin saya ngomong soal mafia ada yang mengklarifikasi, saya bingung juga, kok dia merasa sebagai mafia. Gak pernah saya sebut," ungkap Sayed.
Kasta Pengedar Narkotika di Jakarta
Advokat senior itu mengungkapkan, ada tiga kasta mafia di Jakarta yakni mafia ganja, mafia sabu, mafia Tramadol.
Mafia ganja diungkapkannya sudah mulai berkurang karena diganggu oleh mafia sabu.
"Ganja ini barangnya payah, tanamnya payah, panennya sulit, bawanya banyak," ungkap Sayed.
"Sementara satu truk ganja sama satu kilo sabu, masih mahal satu kilo sabu, makanya orang beralih semua ke sabu," tambahnya
Kemudian bicara mafia Tramadol, sebenarnya obat ini sangat murah, tapi karena bisa dikelola dengan baik, supply demand tinggi, barang ini habis dibeli di pasaran.
Namun Tramadol memiliki unsur narkotika, sehingga tidak boleh dijual bebas kecuali dengan resep dokter.
"Dulu ada modusnya orang buka depot obat sama apotek, hari ini kalau orang Aceh yang mengajukan, gak bakal lolos, izin itu gak bakal keluar," ungkap Sayed.
Jaringan Mafia Besar, Sumbernya dari India
Diceritakan Sayed, mafia Tramadol punya jaringan yang besar dan ini dimainkan oleh inisial AMG.
"Inisial AMG itu punya jaringan yang besar terutama terhadap sumber obat, karena itu yang paling sulit," ungkap Sayed.
"Menurut informasi yang saya dapat, sumber obat itu dari India, kenapa dari India karena semua yang sifatnya farmasi di India itu katanya murah," tambahnya.
Dikatakan mafia sebab menurutnya, kelas mereka tidak bisa lagi disebut gangster atau sindikat, karena banyaknya obat terlarang itu dipasok dari luar negeri.
"Kenapa saya katakan ini mafia, bukan gengster atau sindikat, karena dia bisa bawa 300 juta butir masuk ke Jakarta, sekapal," ungkap Sayed.
"Kemudian mafia ini yang sepengetahuan saya bukan orang Aceh, ini orang non Aceh, cuma ada juga Y, SY dan macam-macam lah," tambahnya.
Dari jaringan tersebut kemudian diperlukan downline (orang level bawah) yang bertugas mendistribusikan dan menjual obat tersebut ke konsumen.
"Orang melihat ini bisnis, di Jakarta mau hidup mewah dan senang, ditambah kerja keras, akhirnya jadilah kaki tangannya mafia besar," ungkap Sayed.
"Kayak di Condet, itu ada. Inisialnya saya bilang juga N, katanya hampir 70 persen pasar Tramadol ini dia yang pegang," tambahnya.
Para pedagang ini diungkapkan Sayed, mereka menjual Tramadol dengan caranya multi level marketing.
"Mereka buka rukoh di depannya, pasti ada jualan kosmetik, kelontong tapi di belakangnya langsung ada kardus (Tramadol)," ungkap Sayed.
Orang-orang ini, lanjutnya, berasal dari kelas bawah yang merantau ke Jakarta dan biasanya dahulu bekerja di kedai-kedai restoran, mie dan segala macam.
"Kerjanya kan capek tuh dari pagi sampai malam dapat uangnya cuma Rp 100 ribu, tapi jual itu (Tramadol) kalau bisa jual satu lempeng itu untungnya bisa Rp 400 ribu, jadi gampang terpengaruh," ungkap Sayed.
"Nah waktu saya dapat informasi yang AMG ini dekingnya jenderal yang ditangkap kemarin atau setidak-tidaknya jaringan itu," tambahnya.
Selain jaringan penjual, dibentuk juga grup pengutip uang keamanan yang targetnya bukan hanya puluhan, melainkan ratusan toko.
"Di Tangerang saja, itu bukan 10-20 toko, 120 toko. Saya dikirimi satu-satu gambarnya," ungkap Sayed.
"Kemudian ada satu lagi, mereka buat lembaga-lembaga sosial sebagai kamuflase, itu tagihannya mulai Rp 5-15 juta dan itu ada perintah, jadi jelas komandonya dan siapa yang kasih komando, itu sudah jadi rahasia umum," pungkasnya.
(Serambinews.com/Sara Masroni)
BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.