Opini

Disorientasi Pelatihan Guru

MENANTI paradigma baru peningkatan kualitas guru adalah sebuah harapan adanya perubahan paradigma atau katakan saja pola yang ideal, dalam rangka meni

Editor: mufti
IST
Tabrani Yunis, Pengamat Pendididkan, Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Aceh 

UKG rendah

Bila kita cermati dalam tataran pelaksanaan pelatihan guru selama ini sangat amburadul dan mengalami disorientasi pada semua level. Di level pemerintah lewat Dinas Pendidikan menjadikan kegiatan penataran guru hanya sebagai ladang proyek yang bernama peningkatan kualitas guru. Uang yang dikeluarkan pemerintah untuk peningkatan kapasitas guru sudah sangat besar. Namun hasilnya penuh dengan rasa ragu dan kegagalan, peningkatan kompetensi guru akan terus berlangsung dan mengalami kegagalan serta tidak memberdayakan guru.

Yang terjadi adalah semakin banyak guru yang terperdaya. Ikut penataran atau pelatihan guru bukan untuk meningkatkan kualitas kompetensi, tetapi sekadar bisa datang ke tempat penataran yang biasanya dilakukan di kota-kota, ibu kota kabupaten atau ibu kota provinsi.

Dengan ikut penataran, para guru bisa menikmati nikmatnya menginap di hotel berkali-kali, mendapatkan konsumsi gratis dan bahkan diberikan uang transpor dan uang saku. Lebih enak bukan? Tetapi apa hasilnya? Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tetap rendah. Padahal, pemerintah sudah banyak sekali menggelontorkan dana untuk meningkatkan kualitas guru lewat berbagai macam penataran? Ya, sangat banyak sudah jumlah penataran dilakukan oleh Pemerintah lewat Dinas Pendidikan dan juga lewat berbagai institusi lain. Bahkan tahun 2024 ini lebih dahsyat lagi.

APBN 2024 nanti, jumlah anggaran pendidikan mencapai Rp 660.8 triliun. Dahsyatnya adalah anggaran sebesar itu diharapkan dioptimalkan untuk meningkatkan kompetensi guru dan memangkas disparitas kualitas pendidikan. Hmm, ada proyek besar atas nama peningkatan kualitas guru lagi. Sangat besar dan menggiurkan memang. Apalagi kalau ditujukan kepada anggaran meningkatkan kualitas guru. Sangat mulia, bukan?

Namun mengapa kualitas guru masih terus terjebak dalam masalah? Apa arti anggaran begitu besar, bila paradigma peningkatan kualitas guru selama beberapa dekade hingga kini belum berubah, belum menjadi semakin baik? Padahal, masih buruknya kualitas guru di tanah air, tidak lepas dari buruknya sistem peningkatan kualitas guru selama ini.

Konsekuensinya adalah ketika sistem peningkatan guru buruk, maka hasil belajar peserta didik juga buruk, karena banyak guru yang tidak layak mengajar. Sayangnya, upaya untuk memperbaiki sistem semakin jauh dari harapan.

Dualisme pelaksana

Hal lain yang memperburuk kualitas peningkatan kualitas guru adalah terjadinya dualisme pelaksana peningkatan kualitas guru. Pertama dilakukan Dinas pendidikan dan juga dilakukan oleh LPMP. Di sini, tidak terjadi koordinasi yang sinergis. Apalagi, kita saksikan bahwa pelaksanaan penataran guru tidak direncanakan dengan matang.

Artinya, kegiatan penataran memang masuk dalam rencana anggaran, tetapi ketika ingin melaksanakan kegiatan itu tidak disusun perencanaan yang baik yang mencakup adanya kerangka acuan atau TOR yang dapat dipedomani guru saat akan masuk dalam kegiatan penataran tersebut.

Kemudian, sebelum penataran dilaksanakan, pihak Dinas Pendidikan tidak melakukan assesmen untuk mengetahui apa kebutuhan dan apa harapan guru dalam mengikuti penataran tersebut dan mengapa guru harus ditatar atau dilatih lagi. Sudah menjadi kebiasaan buruk dalam pelaksanaan penataran, para guru yang mengikuti penataran tidak mendapat TOR atau kerangka acuan kegiatan penataran.

Ketika guru tidak memiliki TOR, maka ketika mengikuti penataran, para guru seperti orang-orang belajar tanpa ada tujuan.
Ketiga, tidak ada pre test yang dapat mengukur kemampuan awal para guru yang masuk pada awal kegiatan penataran dimulai, juga tidak ada post test untuk mengukur tingkat kemajuan guru dalam mengikuti penataran tersebut.

Lebih buruk lagi, tidak ada evaluasi pada akhir kegiatan pelatihan, karena tidak ada rencana tindak lanjut yang akan dilakukan pasca penataran. Jadi kegiatan penatarannya terputus hanya sampai di akhir kegiatan penataran yang dilakukan dalam jangka waktu 2 atau 3 hari. Penataran yang dilakukan selama ini tidak menjawab kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi guru dalam proses pembelajaran.

Penataran tidak ubahnya seperti tindakan mengisi atau menuang air ke gelas. Ada yang penuh dan tumpah, juga ada pula yang malah melimpah. Sehingga tidak terjadi interaksi yang baik dan interaktif. Guru sebagai peserta malah cenderung menjadi pendengar yang budiman. Dampaknya, penataran guru hanya sekadar melaksanakan kegiatan yang bernilai proyek tersebut, tanpa ada tujuan yang jelas dari setiap kegiatan. Yang penting uang, uang dan uang.

Harusnya hal ini menjadi prioritas bagi semua pemangku kebijakan di negeri ini. Dikatakan demikian, karena masalah kualitas guru sangat krusial. Pemerintah sebagai pihak pembuat kebijakan, penyediaan anggaran harusnya bisa lebih serius lagi mengevaluasi semua program yang tengah berjalan dan menjadikan program sebelumnya sebagai acuan perbandingan.

Pertanyaan akhir adalah sampai kapan kita tunggu hadirnya paradigma baru dalam upaya peningkatan kualitas guru?

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved