Kasus Korupsi KKR Aceh

SMuR Lhokseumawe Desak Polisi Usut Tuntas Kasus SPPD Fiktif KKR Aceh

Kalau penyelesaian kasus itu secara Restorative Justice harusnya mengundang masyarakat Aceh untuk menyaksikan pengembalian kerugian Negara.

Penulis: Jafaruddin | Editor: Taufik Hidayat
Dok Pribadi
Ketua SMuR Lhokseumawe SMUR Lhokseumawe, Rizal Bahari 

Laporan Jafaruddin | Aceh Utara 

SERAMBINEWS.COM, LHOKSUKON – Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMuR) Lhokseumawe mendesak Polresta Banda Aceh untuk mengusut tuntas atas kasus tindak pidana korupsi SPPD fiktif di lembaga Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) Aceh. 

Selain itu, SMuR juga mendesak pemerintah aceh untuk mencabut Masthur Yahya dari Ketua KKR Aceh

Diberitakan sebelumnya, tim Inspektorat Aceh menemukan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan dan pertanggungjawaban perjalanan dinas KKR Aceh Tahun anggaran 2023, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 258.584.600. 

Namun, 58 orang yang terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi SPPD Fiktif tersebut, KKR Aceh mengembalikan uang kerugian negara tahun anggaran 2022 sebesar Rp 258.584.600.

Pengembalian uang hasil dugaan tindak pidana korupsi perjalan dinas itu dilaksanakan di Aula Polresta Banda Aceh, Kamis (7/9/2023).

“SMuR Lhokseumawe mendesak Polresta banda aceh untuk bersikap objektif dan adanya keterbukaan informasi kepada publik dalam menangani kasus korupsi  SPPD fiktif di lembaga KKR Aceh,” ujar Ketua SMUR Lhokseumawe, Rizal Bahari, dalam siaran pers yang diterima Serambinews.com, Sabtu (14/10/2023). 

Disebutkan, penanganan perkara kasus tindak pidana korupsi SPPD fiktif di lembaga KKR Aceh yang dilakukan oleh Polresta Banda Aceh dianggap telah memenuhi kriteria Obstruction of Justice. 

Rizal juga menduga penyelidik dan penyidik Polresta Banda Aceh melakukan obstruction of justice dalam perkara tersebut berupa memberikan pertolongan kepada pelaku tindak pidana korupsi di lembaga KKR. 

“Perbuatan tersebut bisa dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur di dalam pasal 221 ayat (1) KUHP,” kata Rizal. 

Polresta Banda Aceh melakukan dugaan penghalangan keadilan (Obstruction of Justice) yang berarti suatu tindakan untuk menghalangi proses pidana, yaitu upaya untuk menghalangi dan melakukan tindakan yang menghalangi proses pidana.

Dugaan perbuatan memberikan pertolongan  pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lembaga komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) Aceh dan dugaan tindakan suap dapat dipandang sebagai tindakan yang menghalang-halangi proses pidana. 

“Apabila kita kaji dengan unsur unsur tindak pidana yang diuraikan dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP Sebab, ada tindakan yang dilakukan oleh sebagian orang untuk memberikan pertolongan kepada pelaku tindak pidana untuk menghindari penyidikan,” ujar Rizal. 

Sebelumnya, masyarakat Aceh harus menerima fakta yang cukup pahit yaitu penghentian penyelidikan kasus tersebut oleh penyidik Polresta Banda Aceh. Kasus tersebut dihentikan usai komisioner KKR Aceh mengembalikan kerugian negara dari SPPD fiktif senilai Rp 258.584.600. 

Polresta Banda Aceh menyelesaikan kasus ini secara Restorative Justice. Padahal kalau penyelesaian kasus itu secara Restorative Justice harus mengundang masyarakat Aceh untuk menyaksikan pengembalian kerugian negara dan pengampunan tersebut harus disetujui oleh masyarakat Aceh sendiri. 

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved