Jurnalisme Warga
Naik Kereta Api, Tren Baru Wisata Masyarakat Aceh
Bertambahnya sarana pariwisata Aceh memberikan keuntungan dan peluang peningkatan perekomian masyarakat melalui hadirnya usaha UMKM baru pada jalur pe
MUHAMMAD, M.Pd., Wakil Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) dan Anggota FAMe Chapter Bireuen, melaporkan dari Krueng Geukueh, Kota Lhokseumawe
Keberadaan transportasi Kereta Api Aceh (KAA) yang diberi nama KA Cut Meutia hadir dengan keunikannya sejak tempo doeloe (zaman kolonial) sampai saat ini. Trem Kereta Api Aceh pada zaman kolonial Belanda merupakan satu-satunya yang berorientasi kepentingan perang, dan sejarah kemunculannya sendiri atas kebutuhan perang untuk mengangkut prajurit Belanda dari pelabuhan ke pos-pos yang telah ditentukan, sampai akhirnya memasuki Perang Dunia II diambil alih oleh Jepang pada 1942.
Tidak seperti di Jawa yang pengadaannya diperoleh melalui pembelian, lahan untuk jalur rel di Aceh berasal dari bekas teritorial Kesultanan Aceh yang berhasil direbut pasukan Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL).
Sebagai hasil dari aneksasi wilayah, lahan-lahan itu disahkan kepemilikannya menjadi aset langsung Angkatan Darat Tentara Kerajaan Hindia Belanda melalui hukum militer.
Keberadaan Kereta Api Aceh (KAA) yang kini beroperasi di Aceh Utara dan Bireuen pun masih terlihat keunikan dari fungsinya sebagai sarana transportasi massal. Meskipun keberadaan KAA saat ini sebagai obat rindu terhadap masa kejayaan Aceh tempo doeloe, tetapi karena trem dengan lebar sepurnya yang masih sempit (Aceh Utara-Bireuen), maka keberadaan KA Cut Meutia yang saat ini beroperasi cenderung hanya digunakan untuk bernostalgia atau sebagai objek wisata transportasi baru yang menarik bagi masyarakat Aceh.
Hal ini terlihat melalui aktivitas masyarakat Aceh, baik dari Aceh Utara, Bireuen, maupun dari luar dua kabupaten tersebut yang tingkat kunjungannya ke stasiun kereta terus meningkat dari hari ke hari, terutama pada hari libur sekolah.
Di hari-hari libur nasional bahkan terjadi overkapasitas sehingga sebagian penumpang harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk atau harus menunggu di stasiun berikutnya ketika penumpang lain turun.
Meskipun sudah ada trem yang lebih luas yang sebelumnya hanya beroperasi dari Stasiun Krueng Geukueh-Krueng Mane, kini perlahan sudah memasuki wilayah Kabupaten Bireuen (Kutablang).
Sejauh yang saya amati, masyarakat sangat antusias naik dan turun kereta api dari satu stasiun ke stasiun berikutnya, masih dalam rangka liburan (berwisata). Selain harga tiket yang masih terjangkau, laju kereta api yang masih lambat menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat Aceh menjadikan kereta api sebagai sarana wisata baru di Aceh untuk menikmati perjalanan antakabupaten.
Laju kereta api yang lambat justru dimanfaatkan penumpang untuk mengabadikan suasana di dalam kereta melalui gadget masing-masing. Perlintasan kereta api yang melewati sungai menyajikan keindahan dan sensasi yang menyengangkan bagi masyarakat Aceh.
Pada hari libur, masyarakat berbondong-bondong mendatangi stasiun untuk membeli tiket dan membawa seluruh anggota keluarganya bertamasya.
Tingkat antusiasme masyarakat untuk berwisata naik moda transportasi KA Cut Meutia sangat tinggi, bahkan didominasi oleh pengunjung dari luar Aceh Utara dan Bireuen.
Selain sebagai pengobat rindu terhadap keberadaan kereta api, sebagian masyarakat sengaja datang ke stasiun karena penasaran tak pernah naik kereta api sebelumnya.
Tingginya antusiasme masyarakat Aceh naik KA Cut Meutia menjadi tren baru pariwisata transportasi Aceh saat ini. Kondisi ini pun dimanfaatkan oleh para pedagang untuk membuka lapak jajan ringan dan minuman tradisional seperti cindoi (cendol/es campur), mie caluek (mi), dan beberapa jajanan lain yang cocok dengan lidah masyarakat Aceh.
Secara tidak langung kondisi ini membantu perekonomian para pedagang atau pelaku UMKM dari kalangan masyarakat di sekitar stasiun kereta.
Sebagaimana diungkapkan Mustafa atau Waled yang lebih dikenal oleh masyarakat sekitar Stasiun Kutablang, “Sejak trem Krueng Mane-Kutablang diresmikan, alhamdulillah usaha saya sangat maju, rata-rata masyarakat yang mendatangi stasiun singgah di sini untuk membeli jajanan dan minuman. Bersih rata-rata saat ini per hari laku 300.000-500.000 rupiah. Kalau pada hari libur bias mencapai 1.000.000-1.500.000 rupiah per harinya.”
Bagi sebagian masyarakat Aceh kelahiran tahun ‘70-an sebetulnya tidak asing dengan ativitas kereta api di Aceh. Sejarah mencatat bahwa KAA terus beroperasi hingga masa-masa keemasan PJKA pada tahun 1974-1976. Sedangkan yang kelahiran di atas ‘80-an belum pernah menikmati masa keemasan pengoperasian kereta api di Aceh sehingga kehadirannya sangat ditunggu-tunggu dan menjadi obat rindu dengan hadirnya kembali KA Cut Meutia saat ini. Maka, tidak mengherankan jika kehadiran KA Cut Meutia disambut antusias oleh masyarakat Aceh dengan membawa sanak keluarganya untuk merasakan sensasi naik gerbong besi tersebut.
Meskipun pengoperasian KA Cut Meutia masih berlum sepenuhnya memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat Aceh, tetapi bagi masyarakat Kutablang (Bireuen) dan Krueng Geukueh (Aceh Utara) sudah mulai merasakan manfaatnya.
Di lapangan, dari satu stasiun ke stasiun lainnya, sudah mulai terlihat aktivitas siswa yang menaiki kereta api pulang sekolah. Bahkan, di kalangan perempuan yang melaksanakan aktivitas hariannya seperti berbelanja ke Pasar Krueng Geukueh sudah mulai menggunakan jasa transportasi KA Cut Meutia yang masih murah meriah.
Fakta ini tentu saja memberikan isyarat kepada pemerintah pusat bersama Pemerintah Aceh untuk lebih serius menangani penambahan trem KAA yang menghubungkan seluruh Aceh untuk kepentingan memajukan konektivitas antarwilayah berbasis kereta api dan memajukan perekonomian bahkan pariwisata Aceh.
Bagaimanapun, masyarakat Aceh sampai saat ini masih menjadikan kereta api sebagai salah satu moda transportasi massal yang berguna dan menekan mahalnya ongkos transportasi massal saat ini. Kesempatan ini tentu saja cukup baik dan perlu dianalisis oleh pemerintah untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan menekan tingkat emisi yang sebettulnya masih tergolong baik di Aceh.
Di sisi lain, anggapan masyarakat terkait keberadaan KA Cut Meutia sebagai mode wisata transportasi juga menjadi kesempatan baik bagi pemerintah untuk memajukan pariwisata Aceh yang sebelumnya didominasi oleh pariwisata laut dan pegunungan yang kerap menciptakan kerusakan lingkungan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Bertambahnya sarana pariwisata Aceh memberikan keuntungan dan peluang peningkatan perekomian masyarakat melalui hadirnya usaha UMKM baru pada jalur perlintasan kereta api.
Pada sektor pendidikan, keberadaan KA Cut Meutia disambut baik oleh guru-guru pendidikan anak usia dini (PAUD) wilayah Bireuen dan Aceh Utara. Guru dan siswa memanfaatkan pengoperasian KA Cut Meutia sebagai sarana pembelajaran bagi siswa yang selama ini hanya mengenal kereta api lewat gambar-gambar di buku.
Saat ini, beberapa sekolah di perlintasan rel KA Cut Meutia sering memfasilitasi dan mendampingi siswa-siswinya untuk merasakan langsung sensasi naik kereta api dan menjelaskan secara detail terkait kereta api sebagai bagian dari transportasi massa yang masih digunakan baik di Indonesia maupun di luar negeri kepada siswa.
Selain itu, kesempatan itu tentu juga bermanfaat bagi siswa untuk berwisata atau tur kereta api dalam rangka menambah wawasan siswa sebagai bagian dari proses pembelajaran. Naik kereta api asyik, tut-tut-tut, siapa mau ikut?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.