Jurnalisme Warga

Ziarah ke Makam Sultan Iskandar Muda

Tiba di Banda Aceh hari Sabtu dan istirahat selama satu hari, agenda liburan saya kali ini adaalah ziarah ke makam Iskandar Muda, Sultan Aceh terbesar

Editor: mufti
IST
MUHAMMAD ZHIYAUL AULIA 

MUHAMMAD ZHIYAUL AULIA, Santri Kelas 3-C, Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) Kampus 8 Darul Amien Aceh, melaporkan dari Aceh Besar

Setelah melewati masa ujian tulis dan lisan selama satu bulan pada semester pertama tahun ajaran 2023 M/1445 H, tibalah masa liburan sepuluh hari bagi para santri Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) Aceh. Tiga hari menjelang libur, wali kelas 3-C, Al-Ustaz Muhammad Adib Muyassar berpesan kepada kami, “Pada akhir tahun harus lebih giat lagi belajar, jangan sering bermain-main, bercanda, dan jangan terbiasa tidur di dalam kelas.”

Tiba di Banda Aceh hari Sabtu dan istirahat selama satu hari, agenda liburan saya kali ini adaalah ziarah ke makam Iskandar Muda, Sultan Aceh terbesar dan paling tersohor hingga ke mancanegara pada abad ke-17. Tepat pukul 11.00 WIB saya tiba di makamnya, di Kompleks Baperis Banda Aceh, lalu mengisi buku tamu di dekat pintu masuk ke makam.

Masa kecil dan pendidikan

Iskandar Muda lahir pada tahun 1590 M. Data ini tertulis di sebelah kanan dan kiri makam. Ibunya keturunan keluarga Raja Darul Kamal (Malaka) bernama Puteri Raja Indra Bangsa, sedangkan ayahnya bernama Sultan Alauddin Mansur Syah.

Pada  masa bayi, ia sering disebut Tun Pangkat Darma Wangsa, (Zainuddin: 1957, 21) dibesarkan dalam lingkungan keluarga istana. Masa  kecilnya, beliau dijuluki Raja Zainal atau Raja Silan. Ia sangat senang bermain boneka kuda, gajah, dan biri-biri yang dapat bertarung, terbuat dari emas. (Hikayat Aceh: par.124, 119). Selain itu, dia juga ikut bermain panta, (Hikayat Aceh: par.124, 120) dan kalau pada malam hari ketika bulan terang dia mengadakan permainan ‘meuraja-raja’ bersama teman-temannya. 

Saat usia kanak-kanak, Iskandar Muda telah mengetahui bagaimana seluk-beluk kehidupan adat dan tata krama dalam istana. Termasuk,  dalam hal sopan santun antaranggota keluarga raja maupun dalam urusan penyambutan tamu dan sebagainya.

Antara umur empat dan lima tahun kepadanya telah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan agama, dengan cara menghadirkan ulama sebagai gurunya.

Selain itu, ke dalam istana diikutsertakan juga teman-temannya yang lain untuk belajar bersama.

Ketika usianya mencapai akil balig, ayahnya menyerahkan Iskandar Muda bersama beberapa orang pelayan pengiringnya kepada Teungku Di Bitai (salah seorang ulama turunan Arab dari Baitul Mukadis yang sangat menguasai ilmu falak dan ilmu firasat). Dari ulama ini secara khusus dia mempelajari ilmu nahu. Melihat kecerdasan, ketekunan, kemuliaan sikap, dan tingkah laku lskandar Muda telah menjadikannya sebagai salah seorang murid yang paling disayangi oleh Teungku Di Bitai. Karena itu, pada suatu hari gurunya terilhami untuk memberikan satu nama kebesaran kepadanya dengan gelar Tun Pangkat Peurkasa Syah. Semenjak saat itu, panggilan Peurkasa terhadap Iskandar Muda yang masih muda belia semakin populer, bukan hanya di kalangan istana saja, tetapi julukan itu semakin terkenal hingga ke seluruh pelosok negeri.

Dalam kurun waktu berikutnya, ayahnya Sultan Alaiddin Mansur Syah mulai menerima kedatangan ulama-ulama terkenal dari Makkah, di antaranya Syaikh Abdul Khair Ibnu Hajar dan Syaikh Muhammad Jamani, keduanya ahli dalam bidang ilmu fikih, tasawuf, dan ilmu falak.

Selanjutnya, hadir lagi seorang ulama yang sangat termasyhur dari Gujarat, yakni Syaikh Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry. Ketiga orang ulama ini telah banyak berjasa dalam mengajarkan dan mengilhami wawasan intelektual Iskandar Muda.

Selain itu, dia juga rajin mendatangi dan bertanya kepada ulama-ulama lain yang berada di luar istana untuk mempelajari berbagai ilmu yang belum diketahuinya.

Saat menjelang dewasa, karena Iskandar Muda memiliki keberanian yang luar biasa dibanding orang lain dalam hal menegakkan kebenaran, maka kawan-kawannya dari barisan pemuda memberinya gelar Peurkasa Alam yang belakangan juga dikenal dengan sebutan Makota (Meukuta) Alam.  

Penobatan jadi sultan

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved