Berita Kutaraja

Begini Penanganan Kasus Bullying di Sekolah, Tak Cukup Damai, Korban & Pelaku Bully Harus Dipulihkan

“Selama RJ hanya berakhir pada pedamaian saja, tanpa ada pembinaan lanjutan, itulah yang membuat bully tak berhenti dan tidak ada perubahan prilaku”.

Penulis: Muhammad Nasir | Editor: Saifullah
For Serambinews.com
Kabid PHA DP3A, Amrina Habibi, MH dan Advokat sekaligus Anggota Tim Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan, Azriana, SH menjadi narasumber dalam takshow bertajuk “Masih Adakah Ruang Aman Buat Anak di Aceh?”, yang berlangsung di Radio Serambi FM, Jumat (1/12/2023). Talk show yang dipandu oleh Yarmen Dinamika. 

Laporan Muhammad Nasir I Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Dalam banyak kasus perundungan atau bully yang terjadi di Aceh kerap berakhir dengan perdamaian antara kedua pihak, tanpa adanya upaya pembinaan dan pemulihan.

Oleh karena itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (DP3A) mengupayakan adanya tindak lanjut yang jelas dalam penanganan kasus perundungan tersebut.

Hal itu disampaikan oleh Kabid PHA DP3A, Amrina Habibi, MH dalam talk show bertajuk “Masih Adakah Ruang Aman Buat Anak di Aceh?”, yang berlangsung di Radio Serambi FM, Jumat (1/12/2023).

Dalam talk show yang dipandu oleh Yarmen Dinamika itu juga menghadirkan Advokat dan Anggota Tim Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan, Azriana, SH.

Amrina menjelaskan, dalam beberapa bulan terakhir, pihaknya sudah turun ke lapangan dengan mengunjungi sekolah-sekolah.

Dari 14 sekolah yang didatangi tim DP3A, ungkap Amrina, pihaknya mendapatkan fakta bahwa perundungan di dunia pendidikan itu memang terjadi di Aceh.

Beberapa bulan sebelumnya, DP3A juga sudah mengandeng Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI, dengan mengundang lembaga pendidikan dan mitra untuk membahas soal perundungan ini.

Semua pihak sepakat jika perundungan merupakan masalah serius di Aceh, sehingga dibutuhkan langkah-langkah serius.

Bahkan, pihak terkait ini berencana membentuk gugus tugas utuk pencegahan dan penanganan bully.

Dengan menerapkan disiplin positif dan penegakan hukum.

“Penegakan hukum adalah hal yang tidak boleh diabaikan, meskipun nanti akan dilakukan restorative justice karena pelaku anak,” ujarnya.

Amrina juga menyoroti penyelesaian kasus perundungan yang selama ini terjadi. Katanya, pihak korban dan pelaku kerap berakhir dengan perdamaian atau restorative justice.

Namun setelah itu, tidak ada tindakan pembinaan lanjutan untk kedua pihak. 

“Selama RJ hanya berakhir pada pedamaian saja, tanpa ada pembinaan lanjutan, itulah yang membuat bully tak berhenti dan tidak ada perubahan prilaku,” ulas dia.

“Semestinya, korban dan pelaku orang yang harus dipulihkan karena keduanya anak,” jelasnya.

Oleh karena itu, kata Amrina, masalah bully harus mendapatkan perhatian dari semua pihak.

Supaya kasus itu dapat dihentikan di Aceh.

Sementara Azriana mengatakan, hingga saat ini DP3A maupun lembaga pendampingan belum memiliki data khusus tentang perundungan, namun data selama hanya secara umum.

Namun, perundungan itu sudah harus menjadi masalah bangsa, bahkan sampai terjadi di lembaga pendidikan yang mencetak pemimpin bangsa.

“Bahkan di perguruan tinggi juga masih ada kasus bullying saat penerimaan mahasiswa baru. Kita juga tak tahu apakah ini sudah jadi budaya bangsa kita ya,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan sekolah boarding memiliki potensi perundungan lebih besar, karena penghuninya tidak bisa diakses dan dipantau dari luar.

Sehingga ia mendorong semua pihak harus bergandeng tangan untuk menyelesaikan masalah perundungan.(*)

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved