Kupi Beungoh

SBY dan Aceh: Tentang Memori Kolektif kepada Para Presiden – Bagian II

Memori kolektif itu seringkali menjadi sangat krusial ketika komunitas, masyarakat, ataupun bangsa mengalami periode kritis dalam perjalanan kehidupan

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Ekpresi “layman”- orang Aceh kebanyakan tentang persepsi dan memori mereka, baik secara individu maupun kolektif memberikan tiga tipe ingatan yang berbeda kepada enam presiden RI. Yang pertama adalah yang berjanji, lalu melanggar bahkan cenderung  mengkhianati janji. Yang kedua…
 
Oleh Ahmad Humam Hamid*)
 
TAK dapat dibantah, memori kolektif sebuah komunitas, masyarakat, atau sebuah bangsa adalah elemen penting yang menunjukkan siapa mereka, apa yang telah mereka alami, dan bagaimana semua kejadian masa lalu  itu diletakkan dałam sebuah “lemari ingatan” secara bersama.

Memori kolektif itu seringkali menjadi sangat krusial ketika komunitas, masyarakat, ataupun bangsa mengalami periode kritis dalam perjalanan kehidupan yang dilaluinya.

Konsep memori kolektif itu yang diperkenalkan oleh filosof sekaligus sosiolog Perancis dari Universitas Sorbone, Maurice Halbwachs (1935) dalam kenyataannya seringkali berwajah tak tunggal.

Ketika memori kolektif itu dipelihara dengan baik oleh Yahudi, dengan cerita “terusir”, “terhina,” dan “penderitaan” selama ribuan tahun, maka yang lahir menjadi kenyataan adalah sebuah negara Israel.

Ketika perang Gaza hari ini meledak dengan keberanian pejuang Hamas yang luar biasa, bahkan keberanian anak-anak Gaza sekalipun, itu adalah bukti dari eksperesi memori keloktif yang solid.

Bangsa Yahudi maupun bangsa Palestina, berbagai memori kolektif itu baik sengaja ataupun berjalan secara alami terintegrasi dalam psikis yang terekam dan terambil dalam narasi, kadang dengan sejumlah varians yang berbeda.

Ketika pemberontakan GAM berlangsung, seluruh narasi yang diketengahkan oleh GAM, terutama oleh Teungku Hasan Tiro adalah memori kolektif Aceh baik yang dialami, maupun yang pernah terjadi dałam berbagai peristiwa sejarah masa lalu.

Ternyata kekuatan narasi memori kolektif versi Hasan Tiro mampu membuat konflik Aceh berlanjut selama 32 tahun, untuk kemudian tercapai perdamaian dengan berbagai konsesi yang diserahkan maupun yang diterima.

Sebagai sebuah negara kebangsaan yang berumur 78 tahun, Indonesia tergolong negara muda dan baru.

Rasa kebangsaan dari berbagai daerah dan generasi tidak dapat dipungkiri salah satunya berpunca dari memori kolektif hubungan antara negara dan masyarakat.

Memori kolektif itu pula sangat berpotensi menjadi faktor perekat maupun faktor pengganggu dalam kehidupan bernegara.

Dalam kehidupan bernegara, seringkali hubungan negara dengan masyarakat, tidak pernah terlepas dengan kelakuan rezim, terutama penguasa yang berujung dengan memori kolektif publik baik secara keseluruhan, maupun dengan kelompok atau wilayah tertentu.

Narasi apapun yang dibuat dan dengan cara apapun, sama sekali tidak mampu menghilangkan memori kolektif publik secara gampang, apalagi dalam zaman digital seperti pada saat ini.

Bagaimanakah memori kolektif masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat, terutama jika dikaitkan semua kepemimpinan-presiden yang pernah berkuasa di Indonesia?

Jawaban akademiknya mungkin terlalu rumit, dan membutuhkan penelitian yang lama, dalam, dan panjang.

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved