Opini
Jokowi, dan Suara Kritis dari Kampus
Sesungguhnya inilah suara yang telah ditunggu dari kampus yang sempat mati suri. Seperti diungkapkan oleh Prof Susi Dwi Harijanti, deklarator petisi U
Teuku Kemal Fasya, Antropolog dan inisiator petisi keprihatinan nasional Universitas Malikussaleh
DIMULAI dari gerakan guru besar, dosen, alumni, dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada 31 Januari 2024 yang diberi nama Petisi Bulaksumur, gelombang aksi dari kampus lain memendar bak “efek kepak kupu-kupu”.
Petisi itu berisi suara keprihatinan atas pelanggaran etika dan hukum yang terjadi di masa Pemerintahan Jokowi, salah satu alumni terbaik UGM yang menjadi presiden Indonesia selama dua periode. Satu hari kemudian, aksi diikuti oleh rektor dan akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan Universitas Khairun, Ternate.
Pada 2 Februari gelombang makin membesar. Aksi guru besar, alumni, dan warga Universitas Indonesia (UI) menyampaikan deklarasi kebangsaan terkait kondisi menjelang Pemilu 2024, bersamaan pula dengan aksi di Universitas Padjajaran, Universitas Hasanuddin, UIN Sunan Kalijaga, dll.
Hingga tulisan ini dibuat, telah ada 30 perguruan tinggi akan menyampaikan petisinya hingga 7 Februari 2024 termasuk Universitas Malikussaleh. Dampak petisi ini juga diikuti oleh beragam perkumpulan sosial dan organisasi keagamaan.
Ruang intelektualisme
Sesungguhnya inilah suara yang telah ditunggu dari kampus yang sempat mati suri. Seperti diungkapkan oleh Prof Susi Dwi Harijanti, deklarator petisi Universitas Padjajaran, universitas seharusnya terdepan dalam mengoreksi kekuasaan, karena universitas adalah tempat problem manusia, kemanusiaan, dan peradaban menemukan solusinya.
Perguruan tinggi tidak boleh larut dalam pragmatisme politik. Seburuk apa pun regulasi yang kini membonsai institusi perguruan tinggi, termasuk adanya voting block menteri dalam pemilihan rektor, kampus asasnya adalah tempat suara kebenaran dan keadilan dipercakapkan dan diwacanakan. Dalam petisi Unpad ada pribahasa Sunda yang digunakan, ngadék sacékna, nilas saplasna: “konsistensi ucapan dan perbuatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan kearifan”.
Inilah salah satu berkah dari krisis politik yang terjadi saat ini. Meskipun tidak diharapkan Jokowi harus mengakhiri “kepemimpinan revolusionernya” di bidang infrastruktur dengan akhir yang buruk, perguruan tinggi kembali menjadi pusat dalam melakukan koreksi atas penyimpangan-penyimpangan kekuasaan, seperti yang pernah dilakukan Forum Rektor pascaberakhirnya Orde Baru. Kehadiran Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (MRPTN) saat ini belum mampu mengambil peran seperti Forum Rektor masa lalu, karena jebakan korporatisme negara (state corporatism).
Peran kampus dan para akademia untuk kembali menjadi tulang punggung intelektualisme bangsa saat ini mulai bercahaya. Konsep Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) selama ini hanya gerai dan sirkulasi “pergaulan antarperguruan tinggi” di dalam Tridarma perguruan tinggi, tapi tidak mampu melampaui kemerdekaan berpikir.
Mahasiswa dan dosen memang memiliki kesempatan untuk mengerti “Indonesia yang lain”, melalui program Kampus Mengajar, Pertukaran Mahasiswa Merdeka, Magang Bersertifikat, dll. Namun dampaknya baru pada memupuk “visi vokasional”, belum sampai pada kritisisme dan melatih otot intelektualisme.
Makanya kini mudah dijumpai fenomena matinya intelektualisme di kalangan dosen. Grup whatsapp dosen lebih banyak diisi share berita, info kecelakaan, atau berita kemalangan sesama kolega. Hampir tidak ada yang membagi aksi merespons isu-isu sosial-politik, baik dalam berita atau opini publik yang diproduksi di media massa.
Kemampuan berwacana di ruang publik lumpuh layu, cenderung gagu dan kelu, seiring semakin beratnya beban administrasi dosen karena pengumpulan angka kredit, naik pangkat, dan fokus secepatnya menjadi guru besar. Belum lagi harus mengelola beragam aplikasi seperti Simpeg, Sister, Anjani, Sinta, Rama, Garuda, dll. Setelah pangkat dan golongan tercapai, sang dosen mulai berenang mencari jabatan dan posisi di birokrasi, baik pendidikan atau pemerintahan.
Makanya, mungkin hampir tidak ditemui lagi para akademia kritis seperti Prof Azyumardi Azra, Prof Mochtar Pabottinggi, atau Ignas Kleden yang merasa terpanggil untuk selalu bersuara di gerbang krisis politik dan kebangsaan. Mereka selalu mengisi ruang publik media massa dengan tulisan-tulisan kritis dan elegan.
Konsolidasi kritis
Momentum krisis politik menjelang Pemilu 2024 ini paling baik bagi perguruan tinggi untuk merefleksikan kembali khitahnya. Kehadiran perguruan tinggi sebagaimana disebutkan dalam UU No. 12/2012 adalah menjalankan “peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan”.
Bagaimana peran mencerdaskan kehidupan bangsa bisa dilakukan perguruan tinggi jika tidak dimulai kritis dari dalam dan kemudian menuju problem sosial-kebangsaan?
Sikap kritis secara eksternal dari perguruan tinggi telah dilakukan dengan memperlebar solidaritas antarkampus atas problem politik dan kepemiluan saat ini. Koreksi dan sikap antisipatif atas penyimpangan kampanye, pemberangusan kebebasan sipil, perlakuan tidak adil terhadap setiap peserta Pemilu, netralitas presiden, politik beretika tinggi, dan menyelamatkan demokrasi dan reformasi adalah hal yang telah dilakukan sejumlah kampus dalam praksis wacana sehingga beresonansi ke seluruh negeri.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.