Opini

Menyoal Dewan Ekonomi Aceh

DEA bukan sekadar lembaga tambahan, melainkan sebuah desain strategis untuk mengawal transformasi ekonomi Aceh yang berlandaskan tiga pilar utama

Editor: mufti
IST
Prof Dr Apridar SE MSi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh 

Prof Dr Apridar SE MSi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

PASCA penandatanganan MoU Helsinki 2005, Aceh tidak hanya memasuki babak baru perdamaian, tetapi juga menghadapi tantangan besar dalam membangun perekonomian yang porak-poranda akibat konflik berkepanjangan dan diluluhlantakkan tsunami. Dalam konteks inilah Dewan Ekonomi Aceh (DEA) hadir, diisi oleh para intelektual dan praktisi terkemuka seperti Prof Raja Masbar, Prof Teuku A. Sanny, Ismail Rasyid, dan Dr Rustam Effendi. DEA bukan sekadar lembaga tambahan, melainkan sebuah desain strategis untuk mengawal transformasi ekonomi Aceh yang berlandaskan tiga pilar utama: inklusivitas, keberlanjutan, dan prinsip syariah Islam. Visi ini bukan hanya slogan, melainkan sebuah keniscayaan bagi Aceh untuk bangkit dengan identitas dan kemandiriannya. Secara pribadi penulis mengusulkan, apabila dimasukkan Prof Dr M Shabri Abd Madjid, ahli ekonomi syariah misalnya, kemungkinan akan lebih terwakili dan elok lagi lembaga yang sangat terhormat dan strategis tersebut.

Hadirnya Ismail Rasyid pelaku usaha internasional PT. Trans Continent, sebuah perusahaan transportasi multimoda, logistik, dan supply chain di Indonesia yang didirikan pada tahun 2003 menjadikan DEA semakin lengkap. Perusahaan yang telah memiliki lebih 35 cabang di dalam dan luar negeri dimana kegiatan usahanya menyediakan berbagai layanan seperti angkutan domestik dan laut, pengiriman kargo udara, hingga layanan freight forwarding dan customs clearance untuk berbagai sektor industri, maka Lembaga akan lebih mampu mengimplementasikan berbagai program nyata untuk membangun ekonomi Aceh yang lebih baik lagi ke depan.

Pertumbuhan ekonomi inklusif menjadi tantangan terbesar bukan hanya di Aceh, tetapi di seluruh Indonesia. Sering kali, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir orang atau terkonsentrasi di pusat-pusat kota. DEA, melalui perannya sebagai perumus rekomendasi kebijakan, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa manfaat ekonomi menjangkau semua lapisan masyarakat, khususnya mereka yang berada di pedesaan dan sektor informal. Fokus pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung DEA adalah bukti nyata upaya ini.

Inisiatif seperti "Aceh Mart" dan "Pasar Digital UMKM Aceh" tidak hanya sekadar program pemasaran, tetapi merupakan jembatan untuk mengintegrasikan pelaku ekonomi kecil ke dalam rantai nilai yang lebih luas. Dengan memberikan akses pembiayaan, pelatihan kewirausahaan, dan pendampingan teknis, DEA berupaya mendemokratisasikan akses ekonomi, sehingga pertumbuhan tidak lagi timpang tetapi merata dan partisipatif.

Pilar kedua, keberlanjutan, menuntut DEA untuk berpikir jangka panjang. Aceh dianugerahi kekayaan alam yang melimpah, mulai dari perikanan, gas alam, hingga kopi Gayo yang mendunia. Eksploitasi sumber daya ini tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial akan menjadi bom waktu. Di sinilah peran DEA dalam mengidentifikasi dan mendorong pengembangan sektor unggulan dengan pendekatan berkelanjutan menjadi krusial. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun di Lhokseumawe, misalnya, tidak boleh hanya berfokus pada nilai investasi, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak lingkungan dan penyerapan tenaga kerja lokal.

Demikian pula, pengembangan pariwisata halal harus selaras dengan pelestarian ekosistem dan budaya lokal. DEA harus menjadi penjaga gawang yang memastikan bahwa setiap kebijakan dan investasi yang masuk memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, sehingga kekayaan Aceh dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

Yang membedakan DEA dengan lembaga perencana ekonomi daerah lainnya adalah pilar utamanya yang ketiga: prinsip syariah Islam. Ini bukan sekadar label, melainkan fondasi nilai yang seharusnya menjiwai setiap kebijakan dan program. Penerapan ekonomi syariah di Aceh memiliki peluang sekaligus tantangan yang unik. DEA memiliki tanggung jawab strategis untuk mentransformasikan prinsip-prinsip syariah seperti keadilan, pelarangan riba, dan tanggung jawab sosial menjadi instrumen ekonomi yang konkret.

Penguatan sistem keuangan syariah, optimalisasi zakat dan wakaf untuk program pemberdayaan, serta pengembangan usaha mikro syariah adalah langkah-langkah nyata. Zakat, jika dikelola secara profesional dan transparan, dapat menjadi alat redistribusi kekuatan yang ampuh untuk mengentaskan kemiskinan dan membiayai pendidikan.

Wakaf uang dan wakaf produktif dapat menjadi sumber pendanaan abadi untuk infrastruktur sosial dan ekonomi. DEA, dengan dukungan para akademisi dan ahli di dalamnya, harus mampu merancang model-model ekonomi syariah yang inovatif dan aplikatif, menjadikan Aceh sebagai laboratorium hidup dan pusat rujukan ekonomi syariah di Indonesia.

Namun, perjalanan DEA tidaklah tanpa hambatan. Sebagai lembaga non-struktural, kekuatan DEA terletak pada pengaruh moral dan kualitas rekomendasinya. Tantangan terbesarnya adalah memastikan bahwa rekomendasi yang berbasis data dan kajian mendalam tersebut benar-benar diadopsi dan diimplementasikan oleh pemerintah daerah dalam kebijakan yang nyata. Koordinasi yang intensif dengan eksekutif dan legislatif, serta sosialisasi yang masif kepada publik, mutlak diperlukan. DEA harus mampu menjadi jembatan yang efektif antara Pemerintah Aceh, pemerintah pusat, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat sipil. Forum-forum seperti Musrenbang ekonomi harus dioptimalkan bukan sebagai ritual tahunan, melainkan sebagai ruang dialektika yang menghasilkan solusi bersama.

Merumuskan kebijakan

Dalam menghadapi disrupsi global dan tantangan internal, peran DEA semakin strategis. Pandemi Covid-19 telah mengajarkan betapa rentannya ekonomi konvensional. DEA dituntut untuk merancang strategi pemulihan yang tidak hanya memulihkan, tetapi juga membangun kembali (build back better) dengan fondasi yang lebih tangguh, inklusif, dan sesuai syariah. Pendekatan ekonomi yang tangguh bencana dan penguatan sistem logistik daerah harus menjadi prioritas.

Secara keseluruhan, Dewan Ekonomi Aceh memainkan peran sentral dalam mewujudkan visi Aceh sebagai pusat ekonomi syariah dan pembangunan berkelanjutan di kawasan Asia Tenggara. Tugas dan tanggung jawabnya mencakup spektrum luas dari perumusan kebijakan hingga pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan yang inklusif, partisipatif, dan berbasis nilai-nilai lokal. Keberhasilan DEA tidak hanya diukur dari pertumbuhan PDRB, tetapi juga dari pemerataan kesejahteraan, keberlanjutan lingkungan, dan penguatan identitas ekonomi Aceh yang berbasis syariah. Dengan dukungan penuh dari seluruh pemangku kepentingan, DEA diharapkan terus menjadi motor penggerak transformasi ekonomi Aceh di masa depan.

Dewan Ekonomi Aceh adalah harapan bagi terwujudnya masa depan ekonomi Aceh yang gemilang. Dengan memadukan kecerdasan kolektif para anggotanya, DEA memiliki kapasitas untuk mengawal Aceh meninggalkan warisan ekonomi yang terfragmentasi dan rentan, menuju sebuah tatanan ekonomi yang memadukan pertumbuhan yang merata, kelestarian lingkungan, dan nilai-nilai ketuhanan.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved