Opini

Menanti Berdirinya Kampung Haji Indonesia

Keberadaan kampung haji menjadi bahagian dalam mengangkat budaya Indonesia di mata dunia. Pada kampung tersebut diupayakan berbagai makanan khas Indon

Editor: mufti
IST
Prof Dr Apridar SE MSi, Guru Besar Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh 

Prof Dr Apridar SE MSi, Guru Besar Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh

HAJI salah satu rukun Islam dan ibadah yang wajib dilakukan umat Islam bagi mereka yang mampu. Mampu atau berkecukupan memiliki harta untuk berangkat haji serta memiliki fisik dalam melaksanakan berbagai tahapan ibadah haji. Rangkaian ibadah yang begitu sistematis dan tertib mengharuskan para jamaah haji untuk menginap saat menjalankan rangkaian ibadah.

Program Kampung Haji Indonesia yang diusul Anies Baswedan merupakan pikiran cerdas dalam mengantisipasi persoalan penginapan para jamaah setiap tahunnya. Bahkan di luar masa pelaksanaan haji kompleks perumahan tersebut masih dapat digunakan untuk kegiatan umrah yang memang rutin dilakukan masyarakat Indonesia khususnya.

Keberadaan kampung haji menjadi bahagian dalam mengangkat budaya Indonesia di mata dunia. Pada kampung tersebut diupayakan berbagai makanan khas Indonesia disediakan.

Selain membuat para jamaah nyaman dengan makanan kesehariannya mudah diperoleh di tempat mulia tersebut, juga menjadikan kampung tersebut sebagai pusat perputaran ekonomi bangsa di luar negeri. Hal ini tentu menjadikan mata uang rupiah semakin tinggi dan besar peranannya.

Sejalan dengan konsep kampung haji ini, Aceh telah lama merintis pemikiran tersebut.
Sejak tahun 1809 masehi, Habib Abdurrahman bin Alwi, atau yang lebih dikenal sebagai Habib Bugak Asyi telah merintis program mulia tersebut bersama beberapa saudagar asal Aceh, yaitu dengan membeli sebidang tanah yang bertempat di antara Bukit Marwa dan Masjidil Haram untuk diwakafkan kepada jamaah haji asal Aceh. Baitul Asyia dalam bahasan Indonesia diterjemahkan sebagai rumah Aceh.

Saat proyek perluasan Masjidil Haram dilaksanakan, tanah tersebut termasuk dalam area perluasan. Pengelola wakaf saat itu mengikhlaskan tanah tersebut untuk diwakafkan kepada Masjidil Haram.

Namun pihak pemerintah Arab Saudi, tetap memberikan biaya ganti rugi terhadap tanah tersebut. Sebagai gantinya pengelola wakaf Habib Bugak Asyi membeli sebidang tanah di kawasan lain yang masih di seputaran Masjidil Haram.

Pengembang kemudian membangun hotel pada tanah wakaf tersebut dan dikelola secara profesional. Sebagai mana peruntukan yang diniatkan para pendiri Baitul Asyia, maka para jamaah haji yang berangkat sejak tahun 2006 diberikan kompensasi yaitu berupa uang sewa penginapan selama beribadah di Mekah.

Penulis sendiri pada tahun tersebut berhaji dan mendapat penginapan di hotel bintang tiga daerah Syeh Amir. Setelah diteliti oleh pengelola wakaf Baitul Asyi harga sewa per-jamaah di lokasi tersebut nilainya 2.500 Rial. Maka kami diberikan kompensasi sebesar nilai tersebut.

Namun bagi jamaah yang mendapat penginapan jauh dan harga penginapannya juga lebih murah, maka  uang kompensasinya yang diberi sebesar harga sewa di tempat tersebut yaitu 1.500 Rial.

Kebijakan dilakukan para pengelola, dikarenakan hotel yang dibangun masih digunakan pihak pengembang, maka para jamaah haji yang berangkat dari kloter Aceh dikembalikan sejumlah perhitungan harga sewa penginapan yang mereka tempati saat berada di Mekah.

Namun sejak tahun 2019 setiap musim haji, jamaah Aceh akan mendapatkan bagi hasil keuntungan wakaf tersebut. Tidak lagi kompensasi yang diberikan diukur dengan besarnya nilai sewa penginapan masing-masing jamah. Karena yang mendapat tempat menginap bagus dan dekat dengan Masjidil Haram justru mendapat pengembalian uang sewa lebih besar.

Namun sekarang semuanya diberikan atas dasar nilai bagi hasil yang diperoleh  dibagi sama rata untuk setiap jamaah. Dari 4.688 jamaah haji asal Aceh yang masing-masing jamaah mendapatkan 1.200 Riyal Arab Saudi atau Rp 4,8 juta dan ditambah dengan satu mushaf Alquran.

Wakaf Baitul Asyi sekarang ini memiliki beberapa aset produktif, yaitu (1) Hotel Elaf Masyair. Hotel bintang lima dengan kapasitas 650 kamar yang berada di kawasan Ajiyad Mushafi, sekitar 250 meter dari Masjidil Haram. (2) Hotel Ramada. Hotel bintang lima dengan kapasitas 1.800 kamar, yang berada di kawasan Ajiyad Mushafi, sekitar 300 meter dari Masjidil Haram.

(3) Hotel Wakaf Habib Bugak Asyi di Aziziah. Bisa menampung 750 jamaah haji, didirikan di atas luas tanah 800 meter persegi. (4) Tanah dan bangunan seluas 900 meter di Aziziah. Digunakan sebagai Kantor Wakaf Habib Bugak Asyi di Mekkah.

(5) Gedung di kawasan Syaikiyah yang dibeli tahun 2017 oleh Naazir Wakaf Baitul Asyi senilai 6 juta Riyal. Gedung ini dijadikan tempat tinggal warga Arab Saudi keturunan Aceh dan orang Aceh yang bermukim di Arab Saudi secara gratis, tanpa batas waktu tinggal.

Jamaah haji asal embarkasi Aceh dipastikan bakal terus mendapatkan bagi hasil dari harta wakaf Baitul Asyi. Nazir (pengelola) Wakaf Baitul Asyi, Syaikh Abdul Latif Baltou, bahkan menyatakan bagi hasil itu terus dibagikan hingga kiamat. "Insya Allah sampai hari kiamat nanti akan dibagikan," kata Syaikh Abdul Latif Baltou di Mekkah, Rabu (22/6/2022), seperti dilansir Antara.

Wakaf produktif

Syaikh Abdul Latif Baltou yang sudah menjadi nazir selama 15 tahun setelah diamanatkan Mahkamah Kerajaan Arab Saudi, menyatakan sejak awalnya bertugas hingga kini sudah 70 juta Riyal atau sekitar Rp 277 miliar dibagikan ke jamaah asal Aceh.

Saat terbang ke Arab Saudi pada tahun ini, setiap jamaah embarkasi Aceh akan mendapatkan wakaf Baitul Asyi sebesar 1.500 Riyal atau setara Rp 6 juta. Uang itu akan dibagikan langsung oleh Syaikh Abdul Latif Baltou ke setiap jemaah di Mekkah.

Wakaf yang usianya sudah 200 tahun lebih ini dulunya merupakan wakaf kecil. Namun seiring waktu, wakaf ini terus berkembang menjadi wakaf produktif, yakni berupa tanah, penginapan dan unit usaha lain di Mekkah, bahkan ada di sekitar Masjidil Haram.

Direktur Pusat Kajian Peradaban dan Budaya Aceh M Adli Abdullah, dalam tulisannya yang terbit di Harian Serambi Indonesia pada 2010, menyatakan ada beberapa tanah wakaf milik orang Aceh yang pernah bermukim di Arab Saudi tersebar di Mekkah.(Kompas.com).

Kampung Haji Indonesia yang diprakarsai oleh Anies, sepertinya terinspirasi dari program Baitul Asyi Aceh. Masyarakat Aceh sangat terbantu dan mensyukuri terhadap program cerdas yang diinisiasi para ulama yang berkolaborasi dengan kaum saudagar sekitar 215 tahun yang lalu, untuk mendirikan “Rumah Aceh” bagi masyarakat Aceh yang sedang menimba ilmu atau beribadah ke Baitullah Mekkah.

Semasa pemerintahan Jokowi, wakaf tersebut ingin dikelola oleh Pemerintah Indonesia. Namun pemerintah Arab Saudi dengan tegas menolaknya, karena bertentangan dengan wasiat yang dibuat oleh pendiri dari Baitul Asyi itu sendiri. Mereka saat kekeh menjalankan wasiat wakaf sebagai mana yang tertulis dalam wasiat tersebut.

Kesuksesan dari program yang dijalankan Rumah Aceh tersebut, tidak seharusnya dipindah tangan pengelola, namun alangkah indah bila dijadikan sebagai contoh untuk dilaksanakan sebagai mana yang diprogramkan Kampung Haji Indonesia.

Semoga program mulia Kampung Haji Indonesia dapat dijalankan, serta dibiayai dari setoran dana haji yang sedang antre hingga puluhan tahun ke depan. Pemanfaatan untuk pembangunan Kampung Haji Indonesia di Mekkah lebih berkah, mendukung pertumbuhan ekonomi serta mampu menguatkan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing yang juga tentunya dapat meningkatkan bagi hasil terhadap setoran jamaah haji.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved