Opini

PDIA dan Riwayat Sebuah Buku

Itu sebabnya, buku tersebut  disembunyikan di kolong tanah. Apalagi saat Presiden Megawati mengumumkan Aceh sebagai daerah Darurat Militer pada 19 Mei

Editor: mufti
SERAMBINEWS/dok facebook
Nab Bahany As, Budayawan, tinggal di Banda Aceh 

Nab Bahany As, Budayawan, tinggal di Banda Aceh

BANYAK dokumen dan koleksi manuskrip, risalah, serta buku-buku penting sejarah Aceh yang tersimpan di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) habis disapu tsunami tahun 2004. Salah satunya adalah buku “Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr SM Amin”, yang ditulis AH Geulanggang. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Murnihati Kutaraja tahun 1956.

Buku setebal 232 halaman itu, sampai hari ini nama penulis buku tersebut masih menjadi misteri. Tidak ada yang tahu, siapa orangnya yang bernama AH Geulanggang? Nama ini tidak pernah ditemukan dalam khazanah literatur sejarah kontemporer Aceh. Sama misterinya dengan nama Insider, penulis buku “Atjeh Sepintas Lalu”, yang diterbitkan tahun 1950. Tapi nama Insider yang menulis buku “Atjeh Sepintas Lalu” kemudian diketahui bahwa nama Insider adalah nama samaran dari Mr SM Amin.

Sementara nama AH Geulanggang penulis buku “Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr SM Amin”, hingga hari ini tidak diketahui siapa orangnya. Nama AH Geulanggang ini diduga juga sebuah nama samaran dalam menyembunyikan identitas selaku penulis buku tersebut. Karena, buku itu termasuk buku sangat riskan bagi keselamatan si penulisnya.

Namun, peristiwa sejarah Aceh yang terjadi saat itu harus ditulis apa adanya, sebagai sebuah kesaksian sejarah untuk tidak dimanipulatif di kemudian hari.
Musnahnya buku “Rahasia Pemberontakan Aceh dan Kegagalan Politik Mr SM Amin” dalam tsunami 2004, adalah salah satu buku yang paling disedihkan kehilangannya oleh Sekretaris PDIA Ridwan Aswad (meninggal 2008). Karena buku tersebut merupakan buku yang sudah sangat langka ditemukan dalam masyarakat.

Di PDIA sendiri, kata Ridwan Aswad (2005) pada penulis, hanya memiliki satu koleksi, dibandingkan buku-buku sejarah Aceh lainnya yang memiliki dua sampai tiga koleksi. Dan ketika buku “Rahasia Pemberontakan Atjeh” ini habis saat tsunami, Ridwan Aswad selalu ingat buku tersebut, ke mana ia harus mencari ganti untuk dikoleksi kembali di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Mengapa buku Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr SM Amin ini begitu penting bagi Ridwan selaku Sekretaris PDIA saat itu? Karena buku itu termasuk salah-satu buku kesaksian sejarah Aceh paling jujur tentang mengapa terjadinya peristiwa DI/TII di Aceh  (1953-1959). Buku ini adalah pelajaran sejarah paling berharga untuk dijadikan pedoman agar peristiwa yang sama tidak pernah akan terulang lagi di Aceh.

Ketika cerita kehilangan buku itu disampaikan pada penulis oleh Ridwan Aswad, penulis langsung ingat bahwa buku “Rahasia Pemberontakan  Atjeh dan Kegagalan Politik Mr SM Amin yang ditulis AH Geulanggang ini, langsung penulis bilang pada Pak Ridwan Aswad, bahwa buku itu kebetulan masih ada dalam koleksi pustaka pribadi saya.

Ridwan Aswad lega mendengar ketika saya sampaikan bahwa buku “Rahasia Pemberontakan Atjeh” ini masih ada koleksinya sama saya. Dan langsung meminta saya untuk menggandakannya menjadi tiga buku, untuk dikoleksikan kembali di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Penulis pribadi punya riwayat sendiri dengan buku “Rahasia Pemberontakan Aceh dan Kegagalan Politik Mr SM Amin” ini. Saat konflik Aceh, buku ini pernah penulis sembunyikan di kolong tanah dengan cara memasukkan dalam sebuah kaleng roti dan membalutnya dengan plastik yang sangat tebal, agar buku ini tidak rusak atau lapuk selama di kolong tanah.

Harus diselamatkan

Mengapa buku ini disembunyikan di kolong tanah, karena waktu Aceh dalam keadaan konflik, buku seperti itu termasuk buku yang sangat riskan bagi keselamatan yang memilikinya. Bukan tidak mungkin, buku yang bersampul kibaran bendera merah putih dengan bulan sabit dan bintang lima berwarna hijau di tengah bendera itu, akan sangat gampang menjebak orang yang memilikinya sebagai anggota pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka. Sehingga risiko bagi yang memiliki buku semacam itu akan menjadi sangat tidak nyaman saat konflik Aceh.

Itu sebabnya, buku tersebut  disembunyikan di kolong tanah. Apalagi saat Presiden Megawati mengumumkan Aceh sebagai daerah Darurat Militer pada 19 Mei 2003. Saat itu tersiar kabar, bahwa dalam sebuah daerah yang sudah ditetapkan sebagai daerah Darurat Militer, pasukan operasinya (tentara) bisa masuk dengan bebas ke rumah-rumah penduduk untuk menggeledah semua isi rumahnya.

Saat itu pikiran penulis terus ingat pada buku tadi. Penulis berpikir, bila sekiranya pasukan Operasi Militer masuk ke rumah dan menggeledah semua isi rumah, lalu menemukan buku tersebut, apa yang bakal terjadi. Karena pertanyaan-pertanyaan yang membuat penulis merasa sangat tidak nyaman saat itu, maka buku: "Rahasia Pemberontakan Aceh dan Kegagalan Politik Mr SM Amin saat itu hampir-hampir penulis mau membakarnya.

Untung saja, buku yang beberapa halamannya sudah agak sedikit rusak dimakan usia ini, tidak jadi dimusnahkan. Mengingat, walau bagaimana pun, itu adalah buku sejarah yang harus diselamatkan. Apa pun risikonya. Buku ini penting sebagai salah satu sumber sejarah autentik yang mungkin sudah sangat sulit ditemukan, baik di perpustakaan umum maupun dalam koleksi perpustakaan pribadi seseorang.

Mati suri

Ternyata, setelah bangunan Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh beserta seluruh isi di dalamnya hancur diterjang tsunami 2004, buku yang tidak jadi  dimusnahkan itu menjadi buku penting yang dicari kembali Sekretaris PDIA, untuk dijadikan koleksi kembali di Pusat Dokumentasi Sejarah Aceh.
Hilangnya PDIA dalam peristiwa tsunami Aceh, sama dengan hilangnya data memori dalam sebuah komputer yang dimiliki seseorang. Bagi orang lain, kehilangan data memori seseorang mungkin tidak jadi masalah. Tapi bagi yang memiliki data dokumentasi itu adalah persoalan besar. Karena ia harus memulai lagi dari awal untuk mengumpul kembali semua data informasi yang telah hilang itu.

Begitu juga rasanya kehilangan PDIA, bagi orang-orang yang telah menjiwai Aceh dari awal sejarahnya hingga Aceh hari ini adalah musibah besar, terutama bagi kaum sejarawan dan bagi para ilmuan sosial. Lain halnya dengan mereka yang tidak memiliki latar ilmu sosialnya. PDIA dianggap tidak penting ada di Aceh.

Sehingga, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh yang didirikan atas kerja sama Universitas Syiah Kuala masa Rektor Prof Dr Ibrahim Hasan dan Gubernur Aceh Muzakir Walad tahun 1977, dengan mudahnya mereka alih fungsikan keberadaan tanah dan bangunan PDIA ini jadi Fakultas Kedokteran Gigi, oleh otoritas Universitas Syiah Kuala yang tidak paham peran dan fungsi ilmu sosial dalam membangun Aceh.

Tergusurnya PDIA adalah musibah terbesar kedua bagi Aceh setelah tsunami, terutama bagi ilmuan-ilmuan sosial yang mencintai Aceh. Sama halnya dengan tak diberdayakan lagi Pusat Pelatihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) oleh otoritas yang berkuasa di Unsyiah dalam lebih dari 15 tahun terakhir ini. Padahal, PPISB Unsyiah di tahun-tahun 1980 hingga menjelang tahun 2000-an adalah sebuah lembaga Pusat Pelatihan Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya yang diakui keunggulannya secara nasional di Indonesia.

Sayangnya, nasib PPISB seperti halnya PDIA, dibiarkan mati suri oleh otoritas Unsyiah yang tidak paham pentingnya perang dan kekuatan ilmu sosial di lingkungan sebuah perguruan tinggi. Ini akibat kearogansian otoritas Unsyiah yang tidak paham peran Ilmu Sosial dalam membangun Aceh.

Informasi terakhir yang penulis dapatkan, malah PDIA digusur dan direlokasikan ke Museum Aceh, dengan meminjam satu ruangan di Museum Aceh yang sangat tidak layak untuk dijadikan operasional sebagai sebuah lembaga Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. Sekarang malah PDIA yang menempati ruangan pinjaman di Museum Aceh sudah ditutup operasionalnya, kalau tidak dikatakan bahwa PDIA sekarang sudah dibubarkan.

Ini akibat dari cara berpikir terlalu eksakta dengan tidak menghargai kontribusi kantong-kantong Ilmu Sosial yang pernah tumbuh di Aceh, baik oleh Pemerintah Aceh maupun oleh otoritas Unsyiah itu sendiri.  

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved