Breaking News

Opini

RIWA, Transformasi Tata Kelola Wakaf Aceh

Penulis melihat wacana wakaf uang yang digulirkan itu harus dijadikan momentum bagi semua pemangku kepentingan wakaf di Aceh untuk merumuskan Rencana

Editor: mufti
IST
Fahmi M Nasir, Pengamat Perkembangan Wakaf 

Baru-baru ini melalui Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan (UU P2SK), bank syariah telah diberikan penambahan peran baru sebagai nazhir wakaf.

Bagaimana jika nazhir yang ada tidak mampu untuk mengembangkan aset wakaf yang diamanahkan kepadanya?
Pemangku kepentingan di Aceh dapat mengikuti cara yang ditempuh oleh nazhir wakaf Baitul Asyi di Makkah dan Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) dalam mengembangkan aset wakaf.

Nazhir wakaf Baitul Asyi mengambil langkah untuk bekerja sama dengan pihak investor untuk membangun dan mengoperasikan hotel yang dibangun di atas tanah wakaf.

Langkah yang berbeda diambil oleh MUIS pada tahun 2000 ketika mereka mendirikan anak perusahaan, yang diberi nama Warees, untuk mengembangkan wakaf di negara mereka. MUIS kemudian berkonsentrasi penuh dalam hal administrasi dan regulasi sementara tugas untuk membangun aset wakaf diserahkan sepenuhnya kepada Warees yang terdiri atas staf profesional yang memiliki kepakaran dalam berbagai bidang.

Sumber dana

Ekosistem terakhir adalah pembiayaan. Ini berkaitan dengan dana untuk mengembangkan aset wakaf baik dalam konteks pembangunan aset wakaf, rejuvenasi aset wakaf ataupun akuisisi aset baru menjadi aset wakaf.
Di luar negara, kita lihat setidaknya ada empat sumber dana pengembangan wakaf yang sering digunakan.

Pertama, pembiayaan yang bersumber dari Lembaga Keuangan Islam ataupun Badan Usaha Milik Negara. Pengembangan wakaf berupa Menara Bank Islam di Kuala Lumpur dan kawasan komersial Wakaf Seetee Aishah di Pulau Penang, adalah contoh keberhasilan model pembiayaan yang pertama ini.

Menara Bank Islam yang berada di lokasi yang segi tiga emas Kuala Lumpur merupakan kolaborasi antara Majlis Agama Islam Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur (MAIWPKL) dengan Lembaga Urusan Tabung Haji (LUTH) Malaysia. Wakaf Seetee Aishah pula adalah kerja sama antara Majlis Agama Islam Negeri Pulau Pinang (MAINPP) dengan UDA Holdings Berhad (UDA).

Kedua, menggalang dana melalui pasar modal. Kompleks komersial Bencoolen di Singapura dan Menara Zam Zam di Makkah adalah ikon untuk pembangunan wakaf dengan memanfaatkan sukuk dalam mengembangkan aset wakaf di masing-masing negara tersebut.

Ketiga, menggunakan dana yang bersumber dari alokasi pemerintah. Pemerintah Malaysia antara tahun 2006-2010 mengalokasikan dana sebesar RM250 juta untuk mengembangkan tanah-tanah wakaf di seluruh Malaysia. Di antara proyek yang berhasil dilakukan dengan sumber dana tersebut adalah Hotel Wakaf di Terengganu, Hotel Wakaf di Taiping, Perak dan Hotel Wakaf Melaka.

Keempat, menggunakan dana yang bersumber dari inisiatif pihak swasta. Inisiatif ini telah dilakukan oleh perusahaan Johor Corporation (JCorp) yang mewakafkan saham mereka sebanyak 12.35 juta saham dengan nilai RM200 juta untuk dikelola oleh Waqaf An-Nur Corporation Berhad (WANCorp).

Khusus untuk Aceh, RIWA dapat mengidentifikasi sumber potensial pembiayaan, antara lain konversi dana CSR-BUMD menjadi wakaf uang, wakaf uang dari pejabat tinggi daerah, direksi dan komisaris BUMD, infak wajib sesuai dengan amanah Qanun Aceh No. 3/2021, serta wakaf berjangka dari orang-orang kaya baik di Aceh atau di luar Aceh.

Singkat kata, inilah saatnya untuk melahirkan RIWA demi transformasi tata kelola wakaf di Aceh terutama sekali untuk merealisasikan potensi masif wakaf menjadi kenyataan.

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved