Kupi Beungoh
Fenomena Badut Jalanan di Banda Aceh: Menghibur atau Mengganggu Kenyamanan?
Badut-badut ini memanfaatkan momen lampu merah menyala untuk menari sambil diiringi musik dari tape yang mereka jinjing.
Oleh: Mawaddatul Masthuran dan Asyura Febriandilla
Berbagai fenomena baru hadir di Banda Aceh setelah melewati musibah tsunami (2004) dan perdamaian melalui Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, Finlandia (2005). Momentum tsunami dan perdamaian telah menjadikan Banda Aceh sebagai kota yang terbuka (kosmpolit). Konsekuensinya adalah berbagai hal baru hadir di Aceh, terutama di Kota Banda Aceh.
Selain kehadiran geng punk (sekumpulan pemuda bertato, hidung bertindik, rambut warna-warni dan hidup di jalanan), akhir-akhir ini terdapat pula segerombolan badut jalanan di Kota Banda Aceh. Mereka biasanya “mencari nafkah” di persimpangan jalan utama dalam kota dengan memanfaatkan lampu merah.
Pengendara jalan raya di Banda Aceh dapat menemui dan mengamati aktivitas badut jalanan di Lampu Setop Simpang Jambo, Simpang BPKB, Simpang Surabaya, Simpang Lima dan lain-lain.
Badut-badut ini memanfaatkan momen lampu merah menyala untuk menari sambil diiringi musik dari tape yang mereka jinjing. Mereka berdiri di depan sepeda motor atau mobil dan menadahkan tangan kepada pengendara sebagai pertanda meminta sumbangan.
Badut dan Kriminalitas
Ya, namanya badut pastilah wajah dan tubuh mereka dibalut dengan topeng. Kita tak tahu siapa gerangan di dalam balutan kostum boneka; bisa jadi anak-anak, orangtua, laki atau perempuan.
Kita tahu pula apakah manusia di balik topeng itu orang baik dan taat beragama atau justru orang jahat. Semua serba tertutup topeng. Ketertutupan ini rawan dimanfaatkan untuk kepentingan kejahatan atau kriminalitas.
Aksi pencurian dan penculikan anak merupakan bentuk kejahatan yang sering terjadi melalui wajah badut. Kompas.id melaporkan aksi kejahatan pencurian yang dilakukan badut di Jakarta (Baca: Duo Badut Pencuri Bukan Kasus Remeh, www.kompas.id, edisi 25 November 2022).
Selain itu terdapat pula laporan adanya aksi badut yang menculik, menyekap dan mencabuli anak kecil. (Baca: Aksi Heroik Ayah Selamatkan Anaknya, 5 Hari Disekap Badut Jalanan, Pelaku Juga Ngaku Cabuli Korban, www.tribun.jateng, edisi 10 Mei 2023).
Badut dan Kemiskinan
Kemiskinan di masyarakat urban dapat disebabkan oleh kurangnya akses terhadap pekerjaan yang layak dan menjanjikan. Akibatnya, banyak individu terpinggirkan dan jatuh ke dalam kemiskinan, menghadapi tantangan baru seperti mengemis untuk bertahan hidup.
Ketika kemiskinan menjadi sebuah norma atau budaya yang terpupuk dalam kehidupan masyarakat, masalah ini menjadi sulit untuk diatasi dibandingkan dengan kemiskinan itu sendiri
Salah satu konsekuensi dari kemiskinan yang kian parah adalah fenomena mengemis di kalangan masyarakat urban. Mengemis adalah cara di mana seseorang mencari uang dengan meminta belas kasihan dari orang lain di tempat umum, termasuklah mengemis dengan cara memakai topeng alias badut.
Ada beberapa faktor yang mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan mengemis, seperti berpindah dari daerah lain dengan modal yang minim, kurangnya motivasi untuk bekerja, adanya cacat tubuh atau fisik, minimnya lapangan pekerjaan, tradisi keluarga yang turun-temurun, atau bahkan karena harga kebutuhan pokok yang tinggi serta masalah ekonomi yang mendesak.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.