Kupi Beungoh
Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 - VI: Gen Z dan Alpha, Literasi dan Numerasi Abad 21
Digitalisasi menghubungkan orang, gampong, kota, negara, dan benua dengan cara yang mampu meningkatkan potensi individu dan kolektif kita
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Ada sebuah perkembangan yang tak biasa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Ketika kita menonton dań membaca media, melihat kehidupan regional ,nasional, dan lokal, sangat terasa dunia bergerak sangat cepat dań semakin kompleks.
Ketika membaca istilah “abad 21”, maka ada sejumlah narasi besar yang seharusnya menjadi latar belakang tentang apapun yang kita lakukan, baik sebagai individu, keluarga, maupun masyarakat secara luas hari ini. Hal ini sangat penting untuk menjadi perhatian, terutama yang menyangkut dengan pendidikan anak anak kita.
Narasi inti itu adalah lingkungan kita yang terancam punah, perkembangan demografi, menipisnya sumber daya alam, dan perubahan iklim. Semua itu mengharuskan kita untuk memikirkan keberlanjutan dan kebutuhan generasi mendatang.
Pada saat yang sama ada narasi lain yang tak kalah hebatnya. Interaksi antara teknologi ,-utamanya teknologi digital dan globalisasi telah menciptakan tantangan dan peluang baru. Digitalisasi menghubungkan orang, gampong, kota, negara, dan benua dengan cara yang mampu meningkatkan potensi individu dan kolektif kita. Namun, kekuatan yang sama juga telah membuat dunia dan bahkan gampong kita menjadi tidak stabil, kompleks, terkoyak, dan tidak pasti.
Apa yang sedang dan telah terjadi hari ini mempunyai implikasi yang sangat dasyhat untuk dunia pendidikan, dunia anak dan cucu kita hari ini dan masa depan. Akibat revolusi digital, pasar tenaga kerja sedang mengalami perobahan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sangat tak sepadan membandingkannyna dengan revolusi industri pada abad ke 18 yang juga berdampak pada tenaga kerja.
Perbedaannya dalam massif.
Pesatnya kemajuan tehnologi telah membunuh dan mengoyak-ngoyak berbagai sektor sembari menciptakan profesi baru. Semakin terasa tehnologi menggantikan sejumlah pekerjaan. Hampir tak ada sistem pendidikan yang sangat ampuh untuk berhadapan dan mengimbangi perobahan yang sangat cepat itu.
Jenis ketrampilan baru, terutama “ketrampilan hijau” dan digital semakin lama semakin menjamur dengan kualifikasi yang semakin canggih. Kini ,para pendidik tak pernah berhenti memikirkan cara mempersiapkan siswanya untuk belajar, bekerja, dan berjejaring , bahkan lintas negara sekalipun.
Individu kini bahkan ditantang untuk lebih kreatif untuk berprestasi di sekolah, berkarir, dan dalam kehidupan yang lebih luas. Inikah butir -butir dasar yang menjadi pertimbangan untuk kompetensi abad ke 21?
Kita tidak akan pernah menemukan sebuah ringkasan tunggal atau definisi final tentang kompetensi abad ke 21 yang mesti dimilki oleh siswa kita. Akan tetapi jika kompetensi itu dapat ditulis dalam satu dua kalimat, maka rangkaiannya adalah ketrampilan kognitif, yang melebihi penguasaan materi akademik dengan kata kuncinya; berpikir kritis, kreativitas, pemecahan masalah, komunikasi dan kolaburasi, kesadaran lintas budaya, belajar cara belajar, dan kompetensi sosial emosional.
Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029: Yahudi, Pendidikan, Montasik, Peusangan, Meukek, Bagian - VI
Apa yang akan dihadapi adalah sebuah lingkungan kehidupan perekonomian baru yang menciptakan tuntutan baru untuk ketrampilan dasar dan bahkan ketrampilan hidup, utamanya kemampuan literasi numerasi, dan kemampuan digital. Globalisasi dan digitalisasi telah, sedang, dan akan semakin deras mengurangi pekerjaan berketrampilan rendah.
Apa yang akan dihadapi oleh anak-anak kita adalah pasar tenaga kerja yang membutuhkan ketrampilan pemrosesan informasi, digitalisasi, dan komunikasi canggih. Bahkan hari ini di Aceh pun kita bisa melihat, para generasi milineal, milineal akhir, dan generasi Z yang kurang beruntung dalam digitalisasi dasar sekalipun, telah teringgal dalam pasar tenaga kerja baru. Kalau keadaan pendidikan seperti hari ini terus berlanjut, maka generasi Alpha lah yang akan merasakan akibatnya.
Kedepan, resiko tertinggal itupun akan menjadi lebih besar lagi, dań inilah gambaran besar yang dihadapi oleh anak-anak Aceh. Sebenarnya 10 tahun yang lalu, dua peneliti Oxford,Carl Benedikt Frey dan Michael A. Osborne, telah memperingatkan tentang dasyhatnya prospek digitalisasi pekerjaan di masa depan dalam The Future of Employment: How Susceptible are Jobs to Computerisation (Oxford,2013).
Sebagai ilustrasi, Frey dan Osborne memprediksikan pada tahun 2033, 99 persen pekerja marketing dan asuransi on line akan diambil oleh algoritma-digitalisasi. Ada juga peluang 98 akan terjadi pada wasit olahraga, koki 96 persen, pemandu wisata 91persen, pembuat roti 89 persen, buruh konstruksi 88 persen, pelaut 83 persen, barista 77 persen, dan tukang kayu 72 persen.
Ada pekerjaan yang aman, hanya berkemungkinan 0,7 persen akan diambil oleh algoritma, yakni arkeolog-pekerjaan sebagai penyelidik situs pra sejarah, objek sejarah, dan sisa-sisa fisik untuk memahami masa lalu manusia. Inipun karena pekerjaan ini tak membuat laba besar, sehingga tak mungkin dibuat investasi untuk otomatisasinya.
Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 - IV: 1000 Hari Pertama, Belanja Sosial vs Investasi
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.