Jurnalisme Warga
Hikayat Aceh Malah Bukan Berbahasa Aceh
Sebelum nama Hikayat Aceh diperkenalkan RRI Banda Aceh, masyarakat di kampung saya hanya menyebut acara sejenis itu “kheun iekayat”
T.A. SAKTI, alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan–sekarang Fakultas Ilmu Budaya—Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1987, melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie
Awal tahun 1970-an mulailah saya mendengar istilah Hikayat Aceh. Ketika itu Radio Republik Indonesia(RRI) Banda Aceh punya acara siaran pembacaan hikayat mingguan pada malam hari pukul 21.30 WIB. Pernah disiarkan pada malam Selasa (Senin malam) dan malam Sabtu.
Beberapa judul hikayat disenandungkan oleh Teungku Muhammad Amin. Salah satu hikayat yang paling lama tamat dibaca berjudul Hikayat Putroe Geumbak Meuh (Hikayat Putri Bersanggul Emas).
Sebagai peminat hikayat dari kecil, saya terus menjadi pendengar setia acara itu. Pada saat mulai dan selesai siaran, sang penyiar selalu menyebut “pembacaan” Hikayat Aceh. Sejak itu terpatrilah sebutan Hikayat Aceh dalam ingatan saya, sekaligus menjadi populer istilah Hikayat Aceh dalam masyarakat.
Hikayat Aceh dan Melayu
Sebelum nama Hikayat Aceh diperkenalkan RRI Banda Aceh, masyarakat di kampung saya hanya menyebut acara sejenis itu “kheun iekayat” (baca hikayat). Kalau judul hikayat itu sudah jelas, maka disebutlah pembacaan hikayat “pulan”, misalnya Iekayat Asan-Usen (Hikayat Hasan-Husin), Iekayat Indra Budiman (Hikayat Indra Budiman), Iekayat Saidina Andah (Hikayat Amir Hamzah), Iekayat Abunawah (Hikayat Abunawas) dan lain-lain. Sedangkan istilah Hikayat Aceh belum dikenal sama sekali.
Terjangan sebutan Hikayat Aceh semakin “merakyat” ketika di sekolah-sekolah pun diajarkan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bagian Sastra Indonesia dibagi dua, yaitu sastra lama dan sastra modern (kontemporer).
Pada sastra lama materinya akan terarah kepada sastra Melayu, yang sebagiannya berupa gurindam, pantun, dan hikayat. Materi hikayat ini adalah hikayat Melayu seperti Hiakayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Hang Tuah, dan lain-lain.
Sewaktu belajar di SMA Negeri Sigli tahun 1973, saya pernah meminjam Hikayat Hang Tuah pada teman serumah, Husein Thayib, asal Kecamatan Kembang Tanjung, Pidie. Meski kami sama-sama di kelas dua ilmu pengetahuan alam (IPA), saya amat menggandrungi bacaan bergenre sastra.
Hikayat Hang Tuah itu milik ayah Husein bernama Muhammad Thayib; seorang pedagang kain (Aceh: meukat ija) di Idi, Aceh Timur. Semua isi hikayat itu tertulis dengan huruf Arab Jawi dalam bahasa Melayu.
Sebagai ciri khas Hikayat Melayu, ragam bahasa yang dipakai jenis prosa (contoh: bahasa Indonesia dalam surat kabar), sedangkan Hikayat Aceh punya ciri khas lain, yaitu jenis bahasa bersajak (syair) dalam bahasa Aceh.
Akibat ciri khas yang berbeda antara Hikayat Aceh dengan Hikayat Melayu, maka dari sinilah munculnya “gagal paham” masyarakat terhadap manuskrip Hikayat Aceh yang telah diakui Unesco sebagai “memory of the world” (memori warisan dunia) pada 18 Mei 2023. Karena manuskrip itu “telanjur” diberi judul Hikayat Aceh, maka orang pun mengira hikayat itu dalam bahasa Aceh dan tentu dalam versi syair bahasa Aceh pula.
Bukan berbahasa Aceh
Rangkaian isi manuskrip Hikayat Aceh di luar halaman-halaman yang telah hilang sebagai berikut:
1) dongeng mengenai asal-usul turunan raja-raja Aceh;
2) silsilah Iskandar Muda, baik dari sebelah ayah maupun dari sebelah ibunya; dan
3) pemerintahan kakek-kakek Iskandar Muda hingga sampai Sultan Alaiddin Ri’ayat Syah Saidil Mukammil, yakni kakek sebelah ibunya. Pada masa inilah bayi Iskandar Muda lahir.
Sungguh amat disayangkan, sebagian besar isi naskah lama (manuskrip) Hikayat Aceh itu telah hilang entah ke mana. Jika tidak, tentu kita akan menikmati kisah cukup panjang mengenai pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yang amat mengagumkan, sekaligus membanggakan bagi rakyat Indonesia umumnya dan warga Aceh khususnya itu.
Dalam prediksi kita, bagian Hikayat Aceh yang telah pupus sebagai berikut:
1) mengenai Sultan Muda (paman Iskandar Muda) yang memerintah sebelum Sultan Iskandar Muda;
2) ketidakcocokan Sultan Muda dengan Iskandar Muda yang menyebabkan ia berpihak kepada paman lainnya (Husain Syah) di Pidie;
3) tentang penangkapan Iskandar Muda setelah Sultan Muda mengalahkan pasukan Pidie;
4) mengenai pendaratan orang-orang Portugis dan dengan itu Iskandar Muda dilepaskan dari penjara untuk menyerang musuhnya;
5) tentang kemenangan terhadap orang-orang Portugis;
6) mengenai mangkatnya Sultan Muda dan perebutan kekuasaan oleh Iskandar Muda sebelum Husain Syah tiba di ibu kota;
7) tentang keadaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda (tentu bagian inilah kisah yang terpanjang melebihi sisa manuskrip yang masih ada).
(Lihat: Seri Penerbitan Museum Aceh Nomor 17 berjudul “HIKAYAT ACEH” (Kisah Kepahlawanan Sultan Iskandarmuda), yang merupakan disertasi Teuku Iskandar di Universitas Leiden, Belanda, yang telah diterjemahkan oleh Aboe Bakar Bsf, 1986, halaman 20-22).
Berikut beberapa kutipan Hikayat Aceh itu:
1) Saat lahir
Maka tatkala Perkasa Alam jadi (lahir –TAS/T.A. Sakti) itu halilintarpun memelah dan kilatpun sabung-menyabung dan guruhpun terlalu ‘azamat dan bumipun bergerak selaku gempa.” (Halaman 126)
2) Main peperangan
“Maka ada Pancagah (salah satu nama Iskandar Muda waktu kecil –TAS) tatkala bermain peperangan itu pada hari Khamis. Maka ada adat segala mitar blang dan segala mitar dalam berusaha membuang keratan bedilnya. Maka sekalian mitar itupun dibawa Pancagah bermain bersama-sama.
Maka tatkala Pancagah perang itu maka disuruh baginda segala mitar itu memasang bedilnya. Maka adalah bunyi bedil itu seperti meriam Khalil dan sungai itu kelam-kabut daripada kebanyakan asap bedil itu.” (Halaman 140)
3) Jadi pendekar
“Maka Johan Alam (gelar Iskandar Muda –TAS) pun pergilah ke kandang dengan segala inangda kakanda. Dan penghulu pendekarpun serta mengiringkan baginda dan beberapa anak hulubalang serta mengiringkan Johan Alam berajar bertangkis itu.
Maka Johan Alampun berajarlah. Maka diajarkan guru baginda daripada suatu palu (pukul –TAS) kepada suatu palu dan daripada suatu tipu kepada suatu tipu dan daripada suatu belayam pedang kepada suatu belayam. Maka diajarkan pendekar pada hari itu akan Johan Alam dua ratus tipu. Maka haripun malamlah.” (Halaman 160)
4) Akhir naskah
“Maka kemudian daripada beberapa hari sultan Mudapun datang lalu mengadap Syah Alam serta dengan khidmatnya. Pada ketika itu Johan Alampun hadir duduk disisi Syah Alam (gelaran Sultan Saidil Mukammil, kakek Iskandar Muda –TAS). Maka Syah Alam memeri titah kepada sultan Muda: “Maka kita memanggil anakda ini bahwa kita telah tuhalah dan (bicara) pun kuranglah.
Maka baiklah Kerajaan Aceh ini kita serahkan kepada anakda barang seperintah anakdalah”. Maka sembah sultan Muda, “Tuanku, betapa perinya Syah Alam merajakan yang diperhamba /....... (halaman 195; naskah habis!).
Melalui beberapa kutipan di atas, maka jadi jelaslah bahwa Hikayat Aceh tertulis dalam bahasa Melayu lama, bukan dalam bahasa Aceh. Jadi, jngan sampai salah duga, apalagi terkecoh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.