Konflik Palestina vs Israel
Bikin Meradang! Pengakuan Militer Israel, Tembak Warga Palestina Sekadar Hilangkan Bosan
IDF seperti hilang hati nurani, pihaknya membocorkan rahasia kalau membunuh warga sipil di Gaza, Palestina sekadar untuk menghilangkan bosan.
Penulis: Sara Masroni | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM - Oknum Pasukan Pertahanan Israel (IDF) seperti hilang hati nurani, pihaknya membocorkan rahasia kalau membunuh warga sipil di Gaza, Palestina sekadar untuk menghilangkan bosan.
Hal itu sebagaimana kesaksian beberapa tentara Israel selama operasi militer di Jalur Gaza.
Sebanyak enam tentara Israel buka suara kepada media +972 yang berbasis di Tel Aviv dan situs berita Local Call.
Pihaknya mengatakan, pasukan Israel menembaki warga sipil hanya karena mereka memasuki wilayah yang ditetapkan oleh militer sebagai zona terlarang.
"Jika kami melihat seseorang di jendela memandang kami, itu mencurigakan. Kami langsung menembak mereka," kata seorang tentara dilansir dari Anadolu Agency, Kamis (11/7/2024).
Baca juga: Tolak Wajib Militer Israel, Rabi ke Murid Sekolah Yahudi: Jangan ke Kantor atau Jawab Telepon IDF
Baca juga: IDF Bingung, Kenapa Alarm Tak Bunyi saat Drone Berisi Bom Hizbullah Hantam Israel
Beberapa sumber mengatakan, instruksi yang diberikan kepada tentara untuk menembak tanpa menahan diri.
Hal ini kemudian digunakan sebagai cara untuk sekadar melepaskan ketegangan atau menghilangkan penat akibat rutinitas sehari-hari yang monoton.
“Saya bosan, jadi saya tembak saja (orang Palestina),” kata seorang tentara Israel.
“Saya pribadi menembakkan beberapa peluru tanpa alasan, ke laut, ke trotoar, atau ke bangunan yang ditinggalkan,” ujar dia.
Seorang tentara lain mengindikasikan, militer Israel akan melepaskan tembakan besar-besaran terhadap "daerah yang tampaknya tidak berpenghuni atau ditinggalkan" tanpa alasan.
“Perintah tersebut akan datang langsung dari komandan kompi atau batalyon di lapangan,” kata seorang tentara lainnya.
Mengungkapkan pendekatan militer yang digunakan di Gaza, seorang tentara mengatakan “Tembak dulu, lalu ajukan pertanyaan kemudian.”
“Itulah konsensusnya. Tidak ada seorang pun yang akan menitikkan air mata jika kami menghancurkan sebuah rumah ketika hal tersebut tidak diperlukan, atau jika kami menembak seseorang jika tidak diperlukan,” tambah dia.
Baca juga: Induk Instagram dan Facebook Resmi Umumkan Hapus Postingan Merendahkan Israel
Tentara juga menggambarkan bagaimana jenazah warga sipil Palestina dibiarkan membusuk dan dimakan hewan liar.
Menurut mereka, pihak militer menyembunyikan mayat-mayat tersebut sebelum kedatangan konvoi bantuan internasional.
"Sehingga penampakan orang-orang yang berada dalam kondisi pembusukan yang parah tidak akan muncul," ungkap tentara Israel.
Dua tentara juga bersaksi tentang kebijakan sistematis Israel yang membakar rumah-rumah warga Palestina setelah mendudukinya.
Dengan mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera, Israel menghadapi kecaman internasional di tengah berlanjutnya serangan brutal terhadap Gaza sejak 7 Oktober lalu.
Sejak itu, hampir 38.150 warga Palestina tewas di Gaza, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, dan lebih dari 87.700 orang terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Rabi Tegaskan ke Murid Sekolah Yahudi Jangan ke Kantor atau Jawab Telepon IDF
Sementara diberitakan sebelumnya, Pemimpin tinggi Yahudi ultra-Ortodoks Ashkenazi di Israel, Rabi Dov Lando menegaskan ke murid-murid sekolah Yahudi (yeshiva) untuk tidak mengikuti wajib militer sebagaimana putusan hakim Pengadilan Tinggi beberapa waktu lalu.
"Tidak boleh datang ke kantor wajib militer [IDF] sama sekali," tegas Rabbi Lando dilansir dari Times of Israel, Kamis (11/7/2024).
Menurutnya, patuh terhadap putusan hakim pengadilan sama saja dengan menyerah dalam perang melawan Tuhan dan Taurat-Nya.
"Maka para anggota yeshiva diperintahkan untuk tidak datang ke kantor wajib militer sama sekali atau menjawab panggilan apa pun," tulis Rabbi Lando.
Diketahui Yahudi ultra-Ortodoks atau Yahudi Haredi adalah salah satu sekte yang menolak zionisme dan pertikaian seperti yang dilakukan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) membunuh warga sipil, perempuan dan anak kecil tak berdosa di Gaza.
Sementara diberitakan sebelumnya, kemarahan Yahudi ultra-Ortodoks memuncak ketika isu pendaftaran murid yeshiva kembali menjadi agenda pemerintah di tengah perang yang sedang berlangsung melawan Hamas di Jalur Gaza.
Kaum Haredim marah kepada para anggota parlemen mereka sendiri yang notabenenya sebagai anggota koalisi, mendukung langkah baru-baru ini.
Langkah tersebut yakni menghidupkan kembali rancangan undang-undang dari parlemen sebelumnya, menurunkan usia wajib militer bagi siswa yeshiva ultra-Ortodoks dari 26 tahun menjadi 21 tahun.
“Kami tidak akan bergabung dengan tentara musuh,” demikian tulis spanduk yang dibawa ribuan demonstran ultra-Ortodoks berunjuk rasa di Yerusalem pada Minggu (30/6/2024).
“Kami akan mati dan tidak bergabung,” tulis di spanduk lainnya saat mereka memblokir persimpangan jalan menuju kawasan yang dihuni oleh penganut ultra-Ortodoks di ibu kota.
Dalam rapat umum utama di Shabbat Square, pimpinan Yeshiva Porat Yosef Sephardi terkemuka di Yerusalem mengecam anggota parlemen ultra-Ortodoks.
Hal ini karena memberikan suara mendukung RUU tersebut.
"Orang-orang bodoh ini ingin berkompromi? Kami bukan tuan tanah Taurat," kata Rabbi Moshe Tzedaka.
"Sama seperti seorang pelayan yang tidak berkompromi dengan tuan tanah, kami juga tidak akan berkompromi dengan Taurat," sambungnya.
Banyak orang Yahudi ultra-Ortodoks meyakini, wajib militer tidak sesuai dengan cara hidup mereka dan takut yang mendaftar akan disekulerkan.
Aksi protes tersebut, salah satu dari banyak aksi protes dalam beberapa bulan terakhir.
Hal ini muncul sebagai respons terhadap putusan penting Pengadilan Tinggi minggu lalu yang memerintahkan militer untuk mulai merekrut pria ultra-Ortodoks dan menghentikan pendanaan untuk yeshiva yang tidak mematuhi perintah tersebut.
Putusan Pengadilan Tinggi ini berarti bahwa setelah puluhan tahun kontroversi dan perselisihan politik dan sosial mengenai masalah ini, kini ada kewajiban hukum bagi pemuda Haredi untuk bergabung dengan sebagian besar rekan-rekan mereka di Israel dan bertugas di militer.
Anggota Parlemen Senior Keceplosan, Pemerintahan Israel Tak akan Berumur Panjang
Sementara pada kesempatan lain, diberitakan sebelumnya kalau anggota parlemen senior Israel, Moshe Gafni mengisyaratkan pemerintahan negaranya tidak akan berumur panjang.
Anggota parlemen dari United Torah Judaism atau koalisi Haredi Ashkenazi yang menolak zionisme dan pertikaian itu menyampaikannya langsung di Komite Keuangan (Banggar) Knesset, Senin (8/7/2024).
Awalnya dalam rapat itu, Moshe menanggapi Anggota Knesset (Parlemen Israel) Partai Yesh Atid, Naor Shiri mengenai alasan sekolah-sekolah di Kota Alma wilayah utara tidak diperkuat oleh pemerintah.
"Kekuatannya lemah," tuding Moshe terhadap pemerintahan Israel dilansir dari Times of Israel, Selasa siang.
Hal itu kemudian langsung dibalas oleh anggota parlemen dari partai politik Zionis liberal berhaluan tengah di Israel.
"Jika kamu lemah, rumah ini bisa dibubarkan," balas Shiri.
Pernyataan itu membuat Gafni keceplosan, "ke sanalah tujuan kita."
Komentar Gafni kemudian ia tarik kembali, pernyataan itu muncul hanya lima minggu setelah ia mengancam akan meninggalkan jabatannya sebagai ketua komite yang berpengaruh atas perselisihan mengenai pendanaan pendidikan ultra-Ortodoks.
Pernyataan itu tampaknya menjadi tanda keraguan terbaru di antara anggota koalisi garis keras Netanyahu bahwa mereka dapat terus menjaga persatuan pemerintah.
Netanyahu Terang-terangan Ingin Dirikan Pemerintah Sipil di Gaza
Sementara diberitakan sebelumnya, Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu secara terang-terangan menyampaikan ingin mendirikan pemerintah sipil di Gaza pasca-perang tanpa melibatkan Otoritas Palestina (PA).
Kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam beberapa minggu terakhir secara pribadi telah menarik kembali penentangannya terhadap keterlibatan individu-individu yang terkait dengan Otoritas Palestina dalam mengelola Gaza setelah perang melawan Hamas.
Hal ini sebagaimana disampaikan tiga pejabat yang mengetahui masalah tersebut kepada The Times of Israel, dilansir pada Selasa (2/7/2024).
Perkembangan ini terjadi setelah kantor Netanyahu selama berbulan-bulan mengarahkan lembaga keamanan untuk tidak memasukkan otoritas Palestina dalam rencana apa pun untuk pengelolaan Gaza pasca-perang.
Dua pejabat Israel itu mengatakan, perintah tersebut secara signifikan menghambat upaya untuk menyusun proposal realistis pasca-perang yang dikenal sebagai "hari setelahnya."
Secara terbuka, Netanyahu terus menolak gagasan kekuasaan otoritas Palestina atas Jalur Gaza.
Dalam wawancara yang dimuat Channel 14 minggu lalu, perdana menteri Israel itu tidak akan mengizinkan negara Palestina didirikan di wilayah pesisir tersebut.
"Tidak siap untuk memberikan [Gaza] kepada PA," ucap Netanyahu.
Sebaliknya, dia mengatakan kepada jaringan sayap kanan bahwa ia ingin mendirikan pemerintahan sipil di Gaza.
“Pemerintahan sipil, jika memungkinkan dengan warga Palestina setempat dan mudah-mudahan dengan dukungan dari negara-negara di kawasan tersebut,” ucap Netanyahu.
Namun secara pribadi, para pembantu utama Netanyahu menyimpulkan, individu-individu yang memiliki hubungan dengan PA adalah satu-satunya pilihan yang layak bagi Israel jika ingin mengandalkan warga Palestina setempat untuk mengelola urusan sipil di Gaza pasca-perang.
Hal itu sebagaimana dikonfirmasi dua pejabat Israel dan satu pejabat AS selama seminggu terakhir.
“Warga Palestina Lokal adalah kode untuk individu yang berafiliasi dengan PA,” kata seorang pejabat keamanan Israel.
Dua pejabat Israel menjelaskan, individu yang dimaksud adalah warga Gaza yang digaji oleh PA yang mengelola urusan sipil di Jalur Gaza hingga Hamas mengambil alih kekuasaan pada 2007, dan sekarang sedang diselidiki oleh Israel.
Pejabat Israel lainnya mengatakan kantor Netanyahu mulai membedakan antara pimpinan PA yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas dengan pegawai Otoritas Palestina tingkat bawah yang merupakan bagian dari lembaga yang sudah ada di Gaza untuk urusan administratif.
Otoritas Palestina yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas dianggap belum secara terbuka mengutuk serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu.
(Serambinews.com/Sara Masroni)
BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.