Opini
Pilkada Calon Tunggal
Pemilihan gubernur/wakil gubernur untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tidak dilakukan dengan Pilkada, melainkan dengan penetapan lantaran merujuk
Oleh: Muhammad Usman, Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KIP Kabupaten Aceh Utara
PEMILIHAN kepada daerah (Pilkada) serentak 2024, merupakan gelombang kelima/terakhir dalam upaya menyatukan pemilihan secara serentak nasional. Pilkada merupakan ruang partisipasi publik dalam bidang politik guna menentukan gubernur/wakil gubernur di 37 provinsi, bupati/wakil bupati serta wali kota/wakil wali kota pada 508 daerah kabupaten/kota seluruh Indonesia. Meski begitu, perlu dipahami juga, ada beberapa daerah khusus yang kepada daerah tidak dipilih melalui Pilkada.
Pemilihan gubernur/wakil gubernur untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tidak dilakukan dengan Pilkada, melainkan dengan penetapan lantaran merujuk pada UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal yang hampir sama, tidak melakukan pemilihan kepada daerah setingkat bupati maupun wali kota adalah Daerah Khusus Jakarta.
Karena berdasarkan Pasal 13 ayat (3) UU nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) disebutkan wali kota/bupati diangkat dan diberhentikan oleh gubernur, kedua daerah tersebut memang memiliki aturan main dan keistimewaan tersendiri.
Di Provinsi Aceh, Pilkada meliputi tingkat provinsi dan 23 kabupaten/kota. partai politik peserta pemilihan baik partai lokal maupun nasional juga sedang menjaring kader, tokoh yang bakal diusung nantinya. Tentunya bagi pasangan calon, yang menggunakan jalur partai politik, harus memenuhi persyaratan perolehan paling kurang 15 persen (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRA/DPRK atau 15 % (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRA/DPRK di daerah yang bersangkutan dalam Pemilu terakhir(Qanun Aceh 12/2016).
Adapun jadwal pendaftaran calon hanya memiliki tiga hari yaitu dimulai 27-29 Agustus 2024, hal ini sesuai dengan jadwal yang telah diatur dalam PKPU 8/2024 maupun SK KIP Aceh Nomor 7/2024. Jadwal pendaftaran tersebut, juga sama berlakunya bagi beberapa daerah di Aceh yang memiliki pasangan calon perseorangan (independen).
Di tengah gencar-gencarnya persiapan partai politik dalam menjaring kader-kader terbaik untuk dicalonkan pada Pilkada serentak 2024, muncul juga isu adanya potensi satu pasangan calon tunggal untuk level gubernur Aceh dan beberapa kabupaten/kota.
Sejarah kelahiran
Satu pasangan calon/calon tunggal yang lebih sering dikenal dengan sebutan Pemilu kotak kosong, bukanlah hal yang baru dalam kancah perpolitikan Pilkada di Indonesia. Merunut ke belakang bahwa fenomena ini telah dimulai semenjak Pilkada serentak gelombang pertama pada tahun 2015 silam.
Baca juga: Sah, Salman Alfarisi Gandeng Yusran Adek sebagai Calon Wakil Bupati di Pilkada Abdya 2024
Di kala itu, terdapat tiga kabupaten yang hanya memiliki satu pasangan calon yang memenuhi syarat yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Timor Tengah dan Kabupaten Blitar. Bahkan pada waktu itu, KPU telah melakukan perpanjangan waktu pendaftaran. Namun upaya perpanjangan yang ditempuh oleh KPU, tidak berdampak terhadap penambahan bakal pasangan calon yang mendaftar.
Namun di sisi lain, dalam UU/8/2015 dijelaskan, bahwa Pilkada baru bisa dilaksanakan jika sekurang-kurangnya terdapat dua pasangan calon, persoalan ini justru tidak ada jawaban secara hukum di kala itu.
Lantaran terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum), maka muncul gugatan ke Mahkamah Konstitusi, yang pada akhirnya keluar putusan MK dengan Nomor: 100/PUUXIII/2015 yang menjadi asal muasal pengaturan pasangan calon tunggal. Seiring dengan itu, pembuat undang-undang telah melakukan perubahan (revisi) terhadap UU/8/2015 menjadi UU 10/2016, guna memperkuat landasan hukum keberadaan calon tunggal.
Meningkat tajam
Catatan Pilkada 2015 yang diselenggarakan pada 269 daerah; terdiri atas 9 provinsi, 260 kabupaten/kota, terdapat 3 kabupaten dengan satu pasangan calon. Selanjutnya saat Pilkada 2017 di 101 daerah; yaitu 7 provinsi dan 94 kabupaten/kota muncul calon tunggal 6 di tingkat kabupaten dan 3 pada tingkat kota dengan jumlah 9 daerah terdapat calon tunggal.
Lalu Pilkada 2018 yang diikuti oleh 171 daerah, yang terdiri atas 17 provinsi dan 154 kabupaten/kota muncul calon tunggal sebanyak 13 daerah kabupaten dan tiga di tingkat kota, maka jumlahnya menjadi 16 pasangan calon tunggal. Sedangkan Pilkada 2020, di masa pandemi sebagai gelombang keempat Pilkada serentak, dari 270 daerah pemilihan, yang terbagi dalam 9 provinsi dan 261 kabupaten kota, terdapat 25 pasangan calon tunggal yang terbagi dalam 21 calon tunggal tingkat kabupaten, dan 4 di tingkat kota.
Bila kita analisa data di atas, mulai dari gelombang pertama hingga gelombang keempat Pilkada serentak (2015-2020), peningkatan jumlah calon tunggal meningkat drastis. Sesuatu yang tidak baik dalam kehidupan demokrasi kita, tentu ada persoalan yang membuat fenomena ini muncul.
Calon tunggal seolah-olah menjadi kegemaran baru partai politik, dalam upaya menang lebih awal, sebelum proses pemungutan dan penghitungan suara berlangsung. Sebab kalau kita baca hasil Pilkada pada daerah-daerah yang cuma memiliki calon tunggal, hasilnya semua calon tunggal akhirnya menang mengalahkan kotak kosong.
Skema pencalonan
Secara garis besar, ada tiga kondisi yang mempengaruhi potensi menghadirkan pasangan calon tunggal dalam Pilkada. Titik tumpu proses tersebut berada dalam lingkup teknis pencalonan bakal pasangan calon. Tiga kondisi tersebut bisa terbagi dalam fase pendaftaran, penelitian dan setelah penetapan, PKPU 8/2024, Pasal 134, 135 dan 136.
Pertama, dalam fase pendaftaran hanya terdapat satu pasangan calon yang melakukan pendaftaran. Pada kondisi ini, KIP Aceh/KIP kabupaten/kota, berkewajiban melakukan perpanjangan pendaftaran kembali; mengupayakan pasangan calon tidak hanya satu saja. Setelah diperpanjang dan ditutup masa perpanjangan pendaftaran, bila tidak ada calon baru mendaftar, maka dipastikan Pilkada melawan kotak kosong.
Kedua, fase penelitian, terdapat pasangan calon yang mendaftar lebih dari satu pasangan calon. Tetapi, sesudah melewati proses seleksi administrasi hanya satu pasangan calon yang memenuhi syarat, sedangkan pasangan yang lain memiliki kecacatan administrasi serta tidak memperbaikinya.
Hal lain yang bisa saja terjadi adalah partai politik atau gabungan partai politik tidak mengajukan/menyodorkan calon penganti pada masa pengajuan calon pengganti. Maka dapat dipastikan akan terjadi Pilkada dengan satu pasangan calon, atau lebih dikenal dengan istilah lawannya kotak kosong.
Ketiga, fase setelah penetapan calon, terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan atau terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap. Sehingga hanya menyisakan satu pasangan calon. Kondisi ini mengakibatkan Pilkada dengan kotak kosong.
Kalau begitu, bila melihat tiga fase di atas, maka pasangan calon tunggal bisa muncul karena terdapat pasangan calon yang mendaftar tetapi kurang serius dalam melewati proses pendaftaran/kurang serius/tidak lengkapnya dokumen pendaftaran atau dokumen bakal calon, sehingga ditetapkan tidak memenuhi syarat (TMS).
Bila pun ada daerah di Aceh yang hanya satu pasangan calon saja, maka kemenangan akan dicapai bila pasangan calon tunggal tersebut mendapatkan suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) dari suara sah. Bila gagal, alias menang kotak kosong, maka Pilkada akan digelar pada gelombang selanjutnya atau 5 tahun ke depan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.