Opini

UUPA Sedang 'Sakaratul Maut' Pasca 18 Tahun

Aceh selain berlaku khusus, juga berstatus istimewa sesuai UU No.44/1999. Pasca MoU Helsinki dan UUPA, selain perdamaian, banyak terjadi perubahan bai

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Universitas Malikussaleh (IKA Unimal), Dr Amrizal J Prang SH LLM.  

Begitu juga, DPRA tanggal 26 Februari 2021 menyurati Presiden, Surat No.160/451. Tetapi, Pemerintah bergeming, mengacu Pasal 201 UU No. 1/2015 jo. UU No.10/2016 tentang Pilkada, tahun 2024. Padahal, pilkada Aceh sebelumnya tahun 2006-2011, tahun 2012-2017, dan 2017-2022 sesuai qanun. Implikasinya, menimbulkan dualisme hukum dan kontradiksi dengan UUPA serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, ketidakpastian hukum.

Ketiga, aspek kelembagaan: 1) belum dibentuk pengadilan HAM; 2) kewenangan KKR terbatas; 3) belum dialihkan Kanwil BPN Aceh menjadi perangkat Aceh; dan, 4) dualisme kewenangan dan pengelolaan pertanahan Aceh antara Kanwil BPN dengan Dinas Pertanahan. Keempat, aspek keuangan: 1) tidak ada dana keistimewaan; 2) belum ada kepastian perpanjangan dana otsus; 3) belum jelas pengalihan dana dan sarana-prasarana yang didesentralisasikan (Pasal 15 ayat (1) UUPA).

De javu

Mengutip pendapat Jimly Assiddiqie, bahwa prinsip negara hukum (rule of law), dalam konteks aspek prosedural (procedural aspects), terdapat 3 (tiga) cakupan fungsi. Yaitu, fungsi pembuatan atau pembentukan (law making functions), fungsi pelaksanaan dan penerapan hukum (law applying functions), dan, fungsi penegakan hukum (law enforcement functions). Idealnya pelaksanaan prinsip rule of law, pemenuhan ketiga fungsi tersebut haruslah mencakup secara simultan. (Jimly Asshiddiqie, 2020:36-42).

Merujuk pelaksanaan procedural aspects implementasi UUPA, dapat dipastikan law making (pembentukan regulasi khusus) dan law applying (pelaksanaan) tidak berjalan simultan. Sehingga, dejavu, seperti berulang ketidakpastian hukum kekhususan Aceh. Sejak orde lama, orde baru dan reformasi, yaitu: 1) Keputusan Perdana Menteri RI No.1/Missi/1959, keistimewaan bidang pendidikan, adat dan agama, tidak dapat dilaksanakan karena Perda ditolak pusat. (Ahmad Farhan Hamid, 2006: 6); 2) UU No.44/1999, keistimewaan Aceh di bidang pendidikan, adat, agama, dan peran ulama.

Di samping, tidak ada keistimewaan bidang ekonomi plus tidak ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksana. (Darmansjah Djumala, 2013:133); dan, 3) UU No.18/2001, status otonomi khusus Aceh, juga tidak dapat ditindaklanjuti bahkan UU tersebut ditolak oleh GAM, sampai diganti dengan UUPA (Amrizal J. Prang, 2020:122).

Status quo Aceh, belum bangkit dari kesejahteraan tidak terlepas dari kesalahan dan kelemahan kolektif, antara lain: 1) ketidakpastian hukum UUPA, akibat inkonsistensi Pemerintah Pusat; 2) tidak sinergi suprastruktur politik Aceh (Pemerintah Aceh dan DPRA); 3) kurang pelibatan infrastruktur politik, seperti, ulama, akademisi, pengusaha, media dan civil society; 4) apatisme infrastruktur politik Aceh; dan, 5) tidak adanya ‘kepemilikan bersama’ (ownership) MoU Helsinki dan UUPA.

Menyikapi fenomena tersebut, maka benar UUPA sedang sakaratul maut, menunggu ajal. Apalagi tahun 2027 tidak ada lagi dana otsus. Oleh karena itu, sebelum dilakukan perubahan UUPA dan implementasinya maksimal, niscaya diperlukan: 1) political will dan konsistensi Pemerintah Pusat; 2) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota membangun dan menjaga trust rakyat; 3) kolaborasi suprastruktur dan infrastruktur politik Aceh; dan, 4) sinergitas antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh, serta anggota DPR/DPD RI Aceh. Semoga!

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved