Opini

Alat Kontrasepsi untuk Siswa

Meskipun sebagian menilai bahwa maksud kehadiran pasal tersebut bertujuan untuk melindungi siswa yang sudah menikah dan menunda kehamilannya demi kela

Editor: mufti
IST
Dr H Agustin Hanapi Lc, Dosen Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry dan Anggota Ikat-Aceh 

Agustin Hanapi, Dosen Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry, dan Anggota Ikat Aceh

BELUM lagi rasa kaget hilang tatkala mendengar kontestan asal Aceh menjadi pemenang di ajang Kontes Miss Waria di Jakarta, kini masyarakat kembali dikagetkan dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 yang ditandatangani pada 26 Juli 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan yang menuai kontroversi. Terutama pada penafsiran Pasal 103 Ayat (4) PP yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja.

Meskipun sebagian menilai bahwa maksud kehadiran pasal tersebut bertujuan untuk melindungi siswa yang sudah menikah dan menunda kehamilannya demi kelanjutan studi, namun tujuan ini tidak tercantum secara spesifik sehingga menimbulkan ragam persepsi.

Termasuk bebasnya anak remaja membawa alat kontrasepsi kemana saja dan seolah melegalkan seks bebas bagi mereka, sehingga membuat banyak pihak merasa khawatir. Sebagian organisasi masyarakat berharap agar PP ini dicabut, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh secara tegas menolak, begitu juga Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Orwil Aceh secara tegas mengecam karena dianggap bertentangan dengan nilai Pancasila.

Sebagian masyarakat bertanya-tanya mengapa Pasal 103 Ayat (4) ini bisa terakomodir dalam PP tersebut, apakah karena keresahan pemangku kebijakan terhadap maraknya kasus seksual. Seperti aborsi, hamil di luar nikah saat masih duduk di bangku sekolah dan sebagainya. Sehingga UU ini dinilai sebagai solusi jitu untuk mengatasi problem tersebut, atau karena ada niat terselubung seperti proyek besar yang akan dinikmati oleh oknum tertentu, entahlah.
Hanya saja sebagai masyarakat umum, akademisi sekaligus orang tua, terkait penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa ini membuat hati terasa ciut. Karena khawatir akan menyeret anak-anak kita ke dalam perzinahan, negeri kita menjadi liberal yang mengagungkan kebebasan tanpa batas, mengabaikan norma-norma agama yang dengan mudahnya mendapatkan alat kontrasepsi.

Sehingga terbayang bahwa ke depan seks bebas dianggap sesuatu yang biasa, bukan lagi hal tabu dan terlaknat untuk dilakukan oleh anak-anak kecil dan remaja. Sehingga dapat menambah deretan panjang daftar pengidap penyakit HIV dan Aids.

Membekali anak

Sebenarnya menyiapkan alat kontrasepsi yang katanya diperuntukkan bagi siswa yang telah menikah sebagai upaya menunda kehamilan saat studi, bukanlah solusi yang tepat. Sebab persentase siswa menikah sangat sedikit. Artinya, solusi ini bisa saja disalahgunakan oleh siswa yang juga belum menikah dan mengakibatkan pergaulan bebas pada anak remaja.

Karena jika mengedepankan akal sehat, banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah kehamilan pada siswa menikah dan menghindari terjadinya pergaulan bebas yang mengakibatkan angka aborsi tinggi, atau hamil di luar nikah. Misalkan dengan memberi edukasi kesehatan reproduksi seperti merencanakan keluarga berencana menggunakan pil KB, IUD, spiral atau lainnya. Apalagi kekhawatiran banyak pihak muara akhir dari PP ini ke depannya harus menyiapkan ATM Kondom sehingga alat pengaman ini akan mudah diakses oleh siapa saja, di mana saja yang kontras dengan budaya ketimuran. Naudzubillah.

Pada siswa yang belum menikah dapat diedukasi seputar kesehatan reproduksi, di antaranya penjelasan tentang sistem, fungsi, dan proses reproduksi, juga tentang pentingnya menjaga kesehatan reproduksi. Mengenal perilaku seksual berisiko dan akibatnya, melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual dan pemilihan media hiburan sesuai usia anak, bukan pada penyediaan alat kontrasepsi.

Untuk itu, tugas kita sebagai orang tua membekali anak-anak tentang pendidikan seks sejak dari rumah, baik dari segi agama maupun medis tentang bagaimana seorang muslim menghargai dan menghormati lawan jenisnya. Menjaga kesucian mereka sebagai bentuk tanggung jawab. Juga tentang bagaimana seorang muslimah menjaga diri dari gangguan laki-laki dan menjaga kehormatannya dengan luar biasa.

Kemudian jika sudah dewasa anak perempuan akan mengalami menstruasi dan anak laki-laki mimpi basah. Tidak boleh ada yang menyentuh organ vitalnya kecuali di saat darurat, seperti saat sedang membutuhkan perawatan atau pertolongan medis. Kesucian dan kehormatan itu sesuatu yang sangat bernilai tinggi yang tidak dapat diukur dengan apapun.

Islam tidak mentolerir melakukan persetubuhan antardua insan kecuali sudah memiliki ikatan pernikahan yang sah. Jika melakukannya, berarti telah menanggung dosa besar yang sangat keji yang dapat didera bahkan dirajam. Kemudian pergaulan bebas akan merusak keturunan dan menimbulkan permusuhan serta merendahkan derajat manusia yang tak ubahnya seperti hewan. Terlebih kita sebagai orang Islam Allah berikan amanah untuk menjaga anak cucu agar terbebas dari siksa api neraka.

Bukan solusi

Andai saja banyak orang tua yang mau berlelah dan repot dengan mengawalinya dari rumah dan mengedukasi urgensitasnya ini pada anak-anaknya secara benar, maka rasanya tidak perlu PP ini lahir. Cukup mengedukasi anak-anak remaja kita akan bahaya dan dampak negatif dari pergaulan bebas, menguatkannya dengan pemahaman agama dan juga dampaknya secara medis.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved