Breaking News

Kupi Beungoh

Fenomena Generasi Aceh Mabuk Jadi Selebgram

muncul selebgram di Aceh yang sering menggunakan bahasa kasar dan kotor, serta salah kaprah dalam menyambut dan menilai para kreator konten

|
Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Tgk Mustafa Husen Woyla, Ketua Umum ISAD, Wakil Pimpinan Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Kalee, dan Pengamat Bumoe Singet 

Fenomena Generasi Aceh Mabuk Jadi Selebgram 
(Antara Money Game dan Kebodohan)

Oleh Tgk Mustafa Husen Woyla*)

Fenomena selebgram atau artis media sosial di kalangan generasi muda kini semakin marak di Aceh, tidak hanya melibatkan anak muda, tetapi juga generasi yang lebih tua, termasuk "urueng tuha pateun" (orang tua tanggung). 

Dari satu platform ke platform lainnya, kita disajikan beragam konten oleh mereka yang dikenal sebagai influencer. 

Namun, apakah kita benar-benar memahami apa yang terjadi di balik layar ketenaran mereka? 

Mari kita telusuri fenomena ini dan menilai sejauh mana pengaruh money monkey, money game, dan kebodohan memengaruhi perjalanan mereka.

Belakangan ini, muncul selebgram di Aceh yang sering menggunakan bahasa kasar dan kotor, serta salah kaprah dalam menyambut dan menilai para kreator konten

Keadaan ini menarik perhatian penulis untuk mengulas fenomena tersebut secara mendalam.

Para Influencer Media Sosial: influencer, dalam pengertian sempit, adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi keputusan orang lain melalui media sosial

Mereka bisa berupa blogger, YouTuber, selebritas, atau public figure dengan pengikut yang sangat banyak. 

Baca juga: Selebgram asal Aceh Cut Intan Dipukul Suami KDRT, Pandawara: Maaf Sampah Ini Belum Kami Angkut

Pengaruh yang mereka miliki membuat mereka menjadi figur penting dalam dunia digital. 

Dengan platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube yang saling berebut untuk menarik pengguna, para pembuat konten menjadi komoditas berharga. 

Namun, jebakannya adalah ketika uang mulai berbicara, semua orang berlomba-lomba menciptakan konten yang menarik perhatian. 

Kreativitas murni sering kali tergeser oleh keinginan untuk mendapatkan klik dan bayaran, sehingga muncul konten yang tidak hanya menghibur tetapi juga berisiko merusak nilai-nilai etika.

Mengenal Monkey Business: Bisnis yang Menguntungkan Namun Merugikan

Istilah "monkey business" mengacu pada bisnis yang merugikan orang lain demi keuntungan pribadi melalui penipuan. 

Dalam dunia media sosial, para influencer sering kali terjebak dalam praktik serupa, di mana mereka menggunakan taktik provokatif untuk menarik perhatian demi meraih bayaran dari iklan atau sponsor. 

Misalnya, kita melihat bagaimana influencer terkadang terlibat dalam konten yang bombastis atau kontroversial hanya untuk mendapatkan klik.

 Ini tidak jauh berbeda dengan arisan bodong atau booming batu akik dan tokek yang menipu banyak orang dengan janji keuntungan cepat. 

Perilaku seperti ini merugikan banyak pihak dan menciptakan ekosistem di mana uang lebih berharga daripada integritas.

Media Sosial Wadah Positif atau Negatif?

Media sosial pada awalnya dirancang untuk memperluas jangkauan komunikasi, tetapi sekarang sering kali digunakan untuk memproduksi konten yang merusak moral dan etika. 

Platform-platform ini memberikan imbalan finansial kepada pembuat konten yang dapat menarik perhatian, sehingga mendorong munculnya konten negatif seperti pornografi, bahasa kasar, dan aksi yang melanggar norma. 

Baca juga: Israel Terjebak Dalam Dilema, Menanti Serangan Balasan Iran dan Kini Hadapi Perang Saudara di Israel

Di Aceh, di mana masyarakat sangat menjunjung tinggi ajaran Islam, dampak dari konten semacam ini bisa sangat merusak. 

Platform media sosial yang awalnya dimaksudkan untuk berkomunikasi secara positif, kini sering kali menjadi tempat penyebaran konten yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan agama.

Platform Media Sosial dan Bisnis Judi: Penipuan yang Disamarkan

Selain konten negatif, beberapa platform media sosial juga disusupi oleh konten yang mempromosikan perjudian. 

TikTok dan Instagram, misalnya, sering kali menampilkan iklan yang menyamarkan promosi judi dalam bentuk permainan atau aplikasi yang tampaknya tidak berbahaya. 

Penggunaan algoritma untuk menargetkan iklan ini memanfaatkan data pengguna untuk menyasar individu yang rentan, meningkatkan risiko ketergantungan judi dan kerugian finansial.

 Ini adalah bentuk penipuan yang tidak hanya mengeksploitasi pengguna tetapi juga merusak integritas platform yang seharusnya menjadi tempat hiburan yang sehat.

Media Sosial dan Pencucian Uang: Ancaman Terhadap Masyarakat

Lebih mengkhawatirkan adalah penggunaan media sosial sebagai alat pencucian uang, termasuk oleh para bandar narkoba. 

Platform seperti TikTok dan Instagram sering kali digunakan untuk menyamarkan transaksi finansial yang mencurigakan di balik konten yang tampak biasa. 

Hadiah virtual atau koin yang diberikan kepada kreator konten sering kali memiliki nilai tunai yang dapat digunakan untuk tujuan yang lebih gelap. 

Baca juga: Diskusi Fenomena Kebablasan di TikTok, KPI Aceh & Dinas Syariat Islam Sepakati Upaya Penanggulangan

Di Aceh, di mana narkoba telah menjadi masalah besar, penggunaan media sosial untuk pencucian uang dapat memperburuk situasi dengan memberikan peluang tambahan bagi pelaku kejahatan untuk menyembunyikan aktivitas ilegal mereka. 

Ini adalah ancaman serius yang memerlukan perhatian khusus dari semua pihak.

Latah Ikut Arus: Kesan Jangka Pendek yang Berbahaya

Fenomena latah ikut arus menjadi salah satu masalah utama. Banyak orang mengikuti tren tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. 

Ketika konten negatif menjadi populer, banyak orang berusaha menciptakan konten serupa demi mendapatkan popularitas dan uang.

 Ini menunjukkan betapa dangkalnya beberapa aspek dari dunia media sosial saat ini. 

Banyak yang terjebak dalam pusaran ini tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya hanya menjadi alat bagi sistem yang lebih besar—platform dan pengiklan yang mengontrol konten. 

Ini adalah jebakan yang tidak hanya merugikan pembuat konten tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.

Solusi: Kembali ke Nilai Dasar, Apa solusinya?

 "Woe bak punca"—kembali ke asal. Media sosial seharusnya digunakan untuk menyebarkan hal-hal positif dan bukan untuk merusak moral dan etika. 

Kita perlu lebih bijak dalam menggunakan media sosial, menciptakan konten yang bermanfaat, edukatif, dan inspiratif. 

Ini adalah tugas kita untuk memastikan bahwa media sosial tetap menjadi tempat yang mendukung nilai-nilai positif dan memberikan dampak yang baik bagi masyarakat.

Baca juga: Pria Aceh Utara Sebarkan Foto Bugil Mantan Istri ke FB dan Tiktok Dihukum Denda Rp 750 Juta

Terperangkap dalam Bisnis Orang Lain, Kita sedang terperangkap dalam bisnis orang lain. 

Platform media sosial sering kali mengeksploitasi pengguna dengan membuat mereka terjebak dalam konten yang menarik perhatian tetapi tidak bermanfaat. 

Kita adalah pasar yang menyedot paket data dan waktu kita dengan sia-sia. Konten unik dan nyeleneh memang menarik banyak perhatian, tetapi hanya sedikit yang benar-benar memiliki makna dan nilai. 

Ini adalah strategi untuk memastikan agar sistem algoritma tetap berjalan dengan lancar tanpa menimbulkan kecurigaan.

Gunakan Media Sosial dengan Bijak

Mari kita gunakan media sosial dengan bijak. Jangan membuat konten aneh hanya demi popularitas. 

Jangan latah mengikuti jejak para selebgram, TikToker, YouTuber, atau influencer lainnya tanpa berpikir panjang. 

Hakikatnya, mereka adalah alat bisnis bagi pemilik aplikasi yang memanfaatkan popularitas mereka untuk keuntungan finansial. 

Mari kita jadikan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan hal-hal positif dan membangun masyarakat yang lebih baik.

Fenomena Ketua Seleb dan Jhon Yahya

Tanda-tanda kebodohan, contoh nyata dari kebodohan dalam fenomena ini adalah masalah Jhon Yahya Tunai Nazar (peuleuh kaoy). 

Pria asal Bogor ini viral di media sosial karena perjalanan uniknya dari Bogor ke Sabang Aceh, yang memakan waktu enam bulan. 

Mengapa hanya di Aceh ia mendapatkan perhatian, sementara daerah lain yang dilaluinya tidak terlalu diperhatikan? 

Baca juga: Penipuan di Medsos Makin Marak, Para Mahasiswa UBBG Diperingatkan Waspadai Hoaks

Fenomena ini menunjukkan betapa dangkalnya penilaian masyarakat terhadap sesuatu yang viral—sering kali hanya terjebak pada tampilan tanpa memikirkan substansi dan dampaknya. 

Ka hana mupu lee. Male dan kanjai kawom, ban sigom donya. Cuma kiban taneuk peugah genarasi lemah "Lage Alee toh beulacan, barangpeue takheun malee tan, Alu penumbuk belacan,, apa pun kita katakan tidak malu."

Harapan kepada pemuka agama dan tokoh adat, jangan pernah memberikan legitimasi dan ruang kepada mereka yang hanya mencari sensasi dan keuntungan pribadi di tengah masyarakat yang religius dan berbudaya. 

Selalu ada cara untuk memanfaatkan media sosial dengan bijak dan produktif, tanpa terjebak dalam jebakan bisnis orang lain.

Simpul kata, mari kita gunakan kesempatan mudahnya mengakses informasi dengan hal positif dan kreativitas, bukan ajang peudeuh bangai demi cuan, manoe lam god (menampakkan kebodohan demi cuan rela mandi dalam god). 

Jadi, kita kembali ke nilai-nilai yang mendasar, menjaga agar media sosial tidak menjadi ladang penipuan dan kebodohan, melainkan sebuah platform yang mendukung pembelajaran, kreativitas, dan kebaikan. [Email: risalahbuyawoyla@gmail.com]

*) PENULIS adalah Ketua Umum ISAD, Wakil Pimpinan Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Kalee, dan Pengamat Bumoe Singet

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved