Kupi Beungoh

Saatnya Ulama dan Eks GAM Bersatu

Pihak yang menyatakan tidak setuju juga punya alasan bahwa Wali diklaim tidak lagi mampu mencerna isinya karena usia yang cukup sepuh dan kondisi kese

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Tgk Mukhtar Syafari MA, alumnus Dayah MUDI dan Universitas Islam Al-Aziziyah Indonesia (UNISAI) Samalanga serta seorang pemerhati politik. 

Oleh: Tgk Mukhtar Syafari MA*)

KAMIS 15 Agustus 2024, tepatnya 19 tahun perdamaian Aceh telah terwujud antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah konflik 29 tahun lamanya. 

Dengan kata lain, umur perdamaian sudah berjalan dua pertiga lamanya konflik Aceh dari 4 Desember 1976 sampai 15 Agustus 2005.

Isi perjanjian damai sebenarnya cukup positif untuk kemajuan Aceh. Kita memiliki kewenangan dalam semua sektor publik kecuali 6 hal yang merupakan hak pemerintah pusat (baca: poin 1.1.2 MoU Helsinki). 

Aceh juga mendapat pembagian hasil alam mulai 30 persen, 70 % hingga 100 % . 

Ini bermakna bahwa Aceh sebagai pemerintahan sendiri (self government) yang memiliki kewenangan sangat luas. 

Namun setelah 19 tahun perdamaian terlewati, kita seperti hampir kehilangan harapan. 

Masyarakat Aceh belum menikmati konsekuensi hasil perdamaian seutuhnya. 

Baca juga: DPP PKS Serahkan SK Dukungan kepada Mualem Sebagai Bacagub Aceh, Ketua PA Ini Dinilai Sosok Tepat

Bahkan ada pihak yang mengklaim Aceh telah kembali dikhianati janjinya oleh pemerintah pusat. 

Hal ini bermula sejak perjanjian Presiden Soekarno ketika Daud Beureueh dan beberapa tokoh menyatakan Aceh menjadi bagian NKRI. 

Saat ini muncul banyak faksi yang tetap berjuang untuk kemerdekaan Aceh sesuai hukum internasional.

Baca juga: Usai Terpental dari Bursa Cawagub Mualem, Generasi Milenial Pro Syariat Daftarkan Tu Sop Ke PAS Aceh

 Kita belum perlu memperdebatkan apakah Wali Tgk Hasan di Tiro setuju atau tidak dengan perdamaian Aceh. 

Pihak yang menyatakan setuju tentu punya bukti video pertemuan dengan Wali pasca perdamaian. 

Pihak yang menyatakan tidak setuju juga punya alasan bahwa Wali diklaim tidak lagi mampu mencerna isinya karena usia yang cukup sepuh dan kondisi kesehatan (sumber wawancara Tgk Musanna Tiro di Youtube). 

Yang pasti Wali tidak setuju dengan kondisi Aceh yang terus stagnan seperti ini. 

Namun kita ingin kedamaian Aceh abadi dan tidak ada lagi konflik yang mengakibatkan rakyat Aceh kembali dirugikan. 

Oleh karena itu pusat dan Aceh harus segera mengkaji penyebab gagalnya implementasi seluruh poin MoU di usia 19 tahun. 

Jangankan bicara luasnya kewenangan Aceh dan menikmati pembagian hasil alam yang signifikan. Persoalan realisasi bendera saja belum terwujud pasca 11 tahun lahirnya Qanun Bendera Aceh.

Saat ini, Aceh masih sebagai provinsi termiskin di Sumatera dan 5 besar secara nasional. 

Banyak masyarakat Aceh masih terhimpit oleh tembok penderitaan dan kemiskinan padahal bumi Aceh menyimpan harta kekayaan melimpah. 

Ini berarti ada banyak kesalahan yang harus segera diperbaiki. 

Dalam membangun Aceh, kita tidak boleh terjebak oleh kesalahan berpikir bahwa Aceh bisa dibangun oleh kelompok tertentu. 

Sudah seharusnya kita bersatu dan memiliki tujuan yang sama untuk kemajuan Aceh ke depan. 

Wali Neugara Dr Tgk Hasan di Tiro Ph.D ketika memberikan materi untuk para tentara elite GAM saat pendidikan militer di kamp Tajura Libya sekitar tahun 1986 sebagaimana rekaman dikutip dari Youtube mengamanahkan bahwa: 

"Politik Agama Islam Aceh hari ini juga seperti itu. Kita mesti menjaga agar rakyat Aceh bisa bersatu. Kita mesti berdiri dengan tegak untuk memperjuangkan perkara-perkara yang penting untuk agama Islam. Kita mesti memperjuangkan kepentingan nasional Aceh dan kepentingan Islam di Aceh. Tidak mungkin itu bisa terwujud kalau kita tidak bersatu".

Konsep perjuangan Wali cukup jelas, tidak memisahkan antara kepentingan Aceh (dunia) dan kepentingan agama Islam (akhirat). (Baca: Tujuan Tertinggi Perjuangan Tgk Hasan Di Tiro Untuk Keselamatan Dunia dan Akhirat, 11/7/24). Hal Ini hanya bisa terwujud jika seluruh elemen Aceh bersatu, minimal antara Ulama dan eks GAM sebagai pemantik persatuan Aceh.

Peran Ulama 

Sejak awal lahirnya Kesultanan Aceh di akhir abad ke 15 Masehi, ulama memiliki peran yang begitu besar dalam mewujudkan kejayaan Aceh. 

Ulama juga berada di garda terdepan dalam memimpin perjuangan melawan agresi penjajah. Mulai Syech Syamsuddin As Sumatrani, Qadhi Malikul Adil masa Sultan Iskandar Muda yang syahid melawan Portugis di Malaka, Teungku Syiek di Tiro Syeck Muhammad Saman. 

Dan cukup banyak tokoh Ulama lainnya terlibat aktif dalam berjuang untuk Aceh. 

Penjajah Belanda melalui konsultan perang dan pakar antropologi, Profesor Snouck Hurgronje selalu berusaha menciptakan perpecahan antara Ulama dan kaum bangsawan untuk melemahkan kekuatan agar Aceh mudah dikalahkan dan dihancurkan. 

Salah satu warisan pemikiran Snouck Hurgronje yang masih lestari sampai saat ini adalah memisahkan Islam dan Ulama dari politik. 

Padahal Ulama menurut Rasulullah sebagai penerima warisan ilmu dan tugas tugas kenabian untuk memimpin Umat dan agama. 

Menjelang jadwal pendaftaran Pilkada pada 27 Agustus 2024. Ketua Umum Partai Aceh, Muzakir Manaf yang lebih dikenal Mualem diprediksi menjadi calon terkuat. 

Saat ini baru muncul satu poros yang sudah memenuhi syarat dukungan parpol untuk bisa mendaftar ke KIP Aceh. Poros lainnya ada Bustami Hamzah yang diusung Partai Nasdem dengan 10 kursi DPR Aceh dari 13 kursi yang disyaratkan. 

Meskipun Mualem sudah memenuhi syarat, namun saat ini masih muncul berbagai dinamika siapa calon Wakil Gubernur yang akan mendampingi Mualem

Diprediksi minimal ada 3 bakal calon yang berpeluang besar mendampingi Mualem yaitu Kamaruddin Abu Bakar (Sekjen PA), Fadhlullah (Ketua Partai Gerindra Aceh dan mantan kombatan GAM) dan Tgk H Muhammad Yusuf (Tu Sop), seorang ulama populer dan Ketua Umum Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). 

Jika nanti yang dipilih Mualem adalah Kamaruddin Abu Bakar atau Fadhlullah (Dek Fad), maka ini akan berpotensi melahirkan anggapan bahwa Pilkada hanya sebagai ajang bagi-bagi jabatan bagi mantan kombatan GAM bukan didasari keseriusan membangun Aceh. 

Banyak pihak berharap agar Tu Sop bisa mendampingi Mualem. Hal ini sangat beralasan karena Mualem dan Tu Sop memiliki segmen massa pemilih yang berbeda dan ini akan memudahkan Mualem bisa menang dengan suara signifikan. 

Dengan tambahan dukungan Partai Gerindra sebagai parpol yang diketuai Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Partai Demokrat yang dipimpin Presiden ke 6, SBY maka sudah lebih dari cukup; kekuatan untuk melobi pemerintah pusat agar bisa memberikan perhatian secara maksimal untuk Aceh. 

Belum lagi dukungan PKB dan PKS dan diprediksi akan bertambah dukungan parpol lain jelang pendaftaran jika Mualem jadi berpasangan dengan Tu Sop. 

Mualem butuh calon Wakil Gubernur yang tidak hanya memiliki kemampuan melobi pemerintah pusat tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengajak masyarakat Aceh untuk "melobi" Allah sebagai penguasa seluruh alam jagat raya ini agar Aceh segera dikaruniakan kesejahteraan dan kemakmuran. (Baca: Konsep Politik Aceh, Mengetuk Pintu Langit, Serambi Indonesia, 2/8/24). 

Jika Aceh cuma fokus menyatukan kekuatan untuk melobi penguasa pusat dan mengabaikan kekuatan untuk "melobi" Allah, apakah Aceh sudah siap menerima konsekuensi jika Allah juga akan mengabaikan Aceh? 

Bahkan siapkah Aceh jika Allah kembali menurunkan bala akibat menjauhi Ulama dan Aceh tidak serius bersyariat. Semoga Ulama dan Eks GAM serta berbagai elemen masyarakat Aceh lainnya bisa bersatu pada Pilkada 2024 untuk menuju kebangkitan Aceh dalam naungan Dinul Islam.

*) Penulis alumnus Dayah MUDI dan PPs UIN Ar Raniry, seorang pengkaji pemikiran politik Islam Tgk Hasan di Tiro

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved