Jurnalisme Warga

Kematian Jenderal Belanda di Krueng Lamnyong dalam Lintas Sejarah

Di pinggir sungai ini terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda melawan mujahid Aceh sebagai lanjutan dari aneksasi Belanda terhadap Kesultana

Editor: mufti
IST
RISMA, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik Kampus UBBG Banda Aceh, melaporkan dari Lamnyong, Banda Aceh 

RISMA, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik Kampus UBBG Banda Aceh, melaporkan dari Lamnyong, Banda Aceh

Krueng Lamnyong, sungai yang membelah ibu kota Provinsi Aceh ini ternyata memiliki pesona di sepanjang air mengalir, dan masih terjaga keasriannya, mulai dari hulu hingga hilir.

Krueng Lamnyong yang proses normalisasi (pendalaman dan pelurusan)-nya dikerjakan oleh perusahaan Kukdong dari Korea Selatan berhulu di atas Seulimuem, Aceh Besar, dan bermuara di Alue Naga, Banda Aceh.

Sungai ini menjadi salah satu saksi sejarah kekejaman kolonialis Belanda di daerah Serambi Makkah, Aceh.

Di pinggir sungai ini terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda melawan mujahid Aceh sebagai lanjutan dari aneksasi Belanda terhadap Kesultanan Aceh yang diawali pada 26 Maret 1873.

Perang Aceh berlangsung tiga dekade sehingga tercatat sebagai perang kolonial terlama di Nusantara. Perang ini dipicu oleh upaya Belanda untuk menguasai wilayah Kesultanan Aceh yang berdaulat sejak 1511.

Ada empat jenderal Belanda yang tewas selama perang Belanda melawan Aceh. Mereka adalah Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler, Panglima Perang Belanda pada invansi pertama Maret 1873. Ia tewas ditembak mujahid Aceh di bawah pohon gelumpang di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh yang saat itu masish bernama Koetaradja.

Jenderal lainnya, Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel, tewas di pinggir Krueng Lamnyong pada 23 Februari 1876. Peristiwa ini menambah masyhur Krueng Lamnyong.

Berikutnya, Jenderal Henry Demmeni pada 1886. Dan terakhir, Jendral Jacob Charles Moulin pada 8 Juli 1896 yang tewas di Koetaradja.

Jenderal Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel merupakan Panglima Sipil dan Militer Belanda di Aceh, Ia jenderal Belanda kedua yang mati dalam perang Belanda melawan  Aceh. Ia tokoh militer Belanda yang menjadi komandan di Koetaradja dan sudah terlibat dalam perang ketika masih menjadi opsir pada awal mula perang Belanda melawan Aceh pada tahun 1873.

Pada tanggal 26 April 1874 saat kekalahan kedua perang Belanda di Aceh, saat itu tinggallah Jendaral Johannes Ludovicius JH Pel yang berada dalam posisi sulit karena harus mengurus dan memimpin keadaan pasukan Belanda yang amburadul dan morianya menurun.

Lalu, pada tanggal 24 Januari 1875, Jenderal Johannes Ludovicius JH Pel diberikan gelar komandan dalam Militaire Willems Orde, oleh Raja Willem III (Raja Belanda dan Adipati Agung Luksemburg,) barulah setelah itu bala bantuan datang,  Johannes LJH Pel baru dapat memimpin peperangan lanjutan di Aceh.

Untuk menghadapi perlawanan bersenjata para pejuang Aceh sejak akhir abad XIX dan awal abad XX pihak Belanda telah melakukan berbagai upaya atau taktik. Salah satu di antaranya adalah dengan membentuk sebuah pasukan elite yang diberi nama Het Korps Marechaussee (Pasukan Marsose).

Di buku De Krijsgeschiedenis van N.I. jilid III dinukilkan tentang kematian Jenderal Johannes LJH Pel. Dalam buku disebutkan bahwa pasukan bergerak pada tanggal 25 Februari 1876 tepat pada pukul 6 sore. Mereka berjalan tanpa satu hambatan, melintasi sepajang pinggir Pinang (Gampong Pineung) dan melalui Lamgugop juga sepanjang jalan Tonga (Prada) menuju Krueng Cut.

Mereka tiba jam setengah sepuluh malam. Sesampainya di sana dari sisi lain pihak musuh (pejuang Aceh)  langsung menyerang bagian depan pasukan Belanda yang telah diperkuat dua kompi dan satu seksi pasukan meriam.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved