Pidie
Kekerasan di Pesantren Nomor Dua Setelah Perguruan Tinggi, Ini Penjelasan Kadis Pendidikan Dayah
Dikatakan, saat ini, semua dayah di kabupaten/kota telah membentuk tim pengawas di dayah, seiring terjadi aksi kekerasan dan bullying...
Penulis: Muhammad Nazar | Editor: Eddy Fitriadi
Laporan Muhammad Nazar I Pidie
SERAMBINEWS.COM, SIGLI- Dinas Pendidikan Dayah Aceh mencatat, bahwa secara nasional kasus kekerasan di pesantren atau dayah menempati rangking kedua setelah perguruan tinggi atau PT.
"Kasus kekerasan di pesantren secara nasional nomor dua, tapi bukan di Aceh. Sehingga menjadi dasar surat Gubernur Aceh diterbitkan," kata Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh, Dr Munawar A Djalil MA, kepada Serambinews.com, Rabu (20/11/2024), disela-sela menjadi pematri dalam rakor di salah satu kafe di Sigli.
Menurutnya, surat Gubernur Aceh harus diterbitkan, lantaran isu kekerasan di lingkup pendidikan sangat serius. Sebab, secara nasional kekerasan di pesantren atau dayah, menempati rangking kedua setelah perguruan tinggi.
Kekerasan menimpa santri, mengingat santri tinggal di asrama dengan latar belakang yang berbeda.
"Misalnya ada santri boleh memegang kepala, tapi ada santri tidak boleh pegang kepala atau pegang pantat.
Kalau zaman dahulu tidak masalah, tapi anak-anak sekarang sangat sensitif, karena anak-anak berfikir, ini LGBT karena pegang pantat. Sehingga terjadilah kekerasan," jelasnya.
Dikatakan, saat ini, semua dayah di kabupaten/kota telah membentuk tim pengawas di dayah, seiring terjadi aksi kekerasan dan bullying terhadap santri di dayah. Surat Gubernur Aceh menjadi dasar pembentukan tim pengawas di dayah.
Ia menjelaskan, di tingkat provinsi telah dibentuk tim pengawas yang bertugas untuk melakukan sosialisasi di 15 titik dayah di beberapa kabupaten. Terdiri dari wilayah utara, tengah, barat dan selatan. Tim tersebut turun, yang didalamnya polisi, kejaksaan. Sebab, sebelumnya Dinas Pendidikan Dayah Aceh telah membuat MoU dengan polisi dan jaksa.
"MoU untuk menangani kekerasan di dayah dengan polisi dan kejaksaan. Kalau kita kan kedepankan pencegahan. Pendekatan selama ini secara persuasif, untuk menghormati abu maupun pimpinan dayah. Walaupun, abu tidak melakukan kekerasan. Jika kasus ringan diselesaikan secara adat dan kultur," ujarnya.
Kecuali, kata Dr Munawar, adanya kasus kekerasan di dayah yang diadukan orang tua santri, maka bisa berpotensi ke ranah hukum. Tapi, selama ini penyelesaiannya lebih kepada preventif dan edukatif. Namun, jika orang tua tidak mengadu, maka bisa diselesaikan secara internal dayah.
Selain itu, sebutnya, jika adanya kekerasan yang parah, yang tidak bisa ditorelil, tentunya harus diproses secara hukum.
Menurutnya, hasil dinas turun ke lapangan juga menemukan, bahwa kekerasan terjadi berawal dari saling ngejek atau verbal. Akar kekerasan itu yang tidak diketahui santri, yang berawal dari ejek yang berakhir dengan fisik.
Untuk itu, pihak dayah dan pemerintah harus menyampaikan penyebab awal kekerasan di dayah.
Ia menjelaskan, kodisi kekerasan dayah di Aceh, tidak baik-baik saja. Pihak dinas tidak menerima laporan detail terhadap kasus kekerasan di dayah, tapi dinas mengetahui dari pemberitaan media marak terjadi kekerasan di dayah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.