Internasional

Anggota Parlemen Korea Selatan Serukan Pemakzulan Presiden Yoon terkait Darurat Militer

Yoon mengumumkan bahwa penerapan martial law diperlukan untuk melindungi negara dari ancaman Korea Utara yang bersenjata nuklir dan kelompok-kelompok

Penulis: Sri Anggun Oktaviana | Editor: Ansari Hasyim
Reuters
Masyarakat memegang poster saat unjuk rasa menyerukan pengunduran diri Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, di Seoul, Korea Selatan, 4 Desember 2024. 

SERAMBINEWS.COM - Krisis politik besar terjadi di Korea Selatan setelah Presiden Yoon Suk Yeol mengumumkan penerapan martial law (undang-undang darurat) pada Selasa malam.

Pengumuman tersebut menimbulkan ketegangan di kalangan warga dan politisi, yang akhirnya memaksa Yoon untuk membatalkan keputusan tersebut hanya beberapa jam setelahnya.

Kejadian ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk oposisi yang menyerukan pemakzulan terhadap Yoon. Krisis ini menjadi yang terbesar dalam beberapa dekade terakhir dan memicu kekhawatiran internasional.

Pada Selasa malam (3/12/2024), Yoon mengumumkan bahwa penerapan martial law diperlukan untuk melindungi negara dari ancaman Korea Utara yang bersenjata nuklir dan kelompok-kelompok anti-negara yang pro-Korea Utara.

Ia juga mengatakan bahwa martial law diperlukan untuk menjaga tatanan konstitusional yang bebas, meskipun ia tidak merinci ancaman spesifik yang dimaksud. Namun, pengumuman tersebut segera memicu reaksi keras dari parlemen dan publik.

Pasukan militer yang dilengkapi helm memasuki Gedung Majelis Nasional melalui jendela yang dihancurkan, sementara helikopter militer terbang di atas gedung.

Keadaan ini menciptakan suasana kacau, dengan para asistennya menyemprotkan pemadam kebakaran untuk mengusir pasukan militer, sementara di luar gedung, para demonstran bentrok dengan polisi.

Situasi ini menyebabkan banyak pihak, termasuk anggota parlemen, untuk meminta Yoon mencabut keputusan tersebut.

Pada akhirnya, dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pengumuman tersebut, Majelis Nasional Korea Selatan yang terdiri dari 300 anggota, dengan 190 anggota hadir, secara bulat meloloskan mosi untuk mencabut martial law.

Keputusan ini juga mendapat dukungan dari 18 anggota partai Yoon yang hadir. Setelah itu, Presiden Yoon segera membatalkan deklarasi martial law tersebut.

Setelah pembatalan keputusan martial law, partai oposisi utama, Partai Demokrat, menyerukan agar Yoon mengundurkan diri atau menghadapi pemakzulan.

Mereka menyebutkan bahwa meskipun martial law telah dicabut, Yoon tetap tidak bisa menghindari tuduhan pengkhianatan, karena ia telah menunjukkan bahwa ia tidak dapat memimpin negara dengan baik. "Dia harus mundur," ujar anggota parlemen senior dari Partai Demokrat, Park Chan-dae.

Di Korea Selatan, pemakzulan presiden dapat dilakukan jika lebih dari dua pertiga anggota parlemen setuju. Setelah itu, proses pemakzulan akan dilanjutkan ke Pengadilan Konstitusi untuk diputuskan.

Partai yang berkuasa, Partai Kekuatan Rakyat, yang dipimpin oleh Yoon, menguasai 108 kursi di Majelis Nasional.

Jika Yoon mundur atau dipecat, Perdana Menteri Han Duck-soo akan menggantikan posisinya sementara hingga pemilihan presiden baru dilaksanakan dalam waktu 60 hari.

Krisis ini juga mendapat perhatian internasional, Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Korea Selatan, menyambut keputusan Yoon untuk membatalkan deklarasi martial law.

Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, menegaskan bahwa AS mengharapkan perselisihan politik diselesaikan dengan damai dan sesuai hukum.

AS juga memiliki sekitar 28.500 tentara yang ditempatkan di Korea Selatan sebagai bagian dari hubungan pertahanan antara kedua negara setelah Perang Korea 1950-1953.

Namun, akibat krisis ini, beberapa rencana penting seperti pembicaraan pertahanan dan latihan militer bersama antara Korea Selatan dan AS terpaksa ditunda. Selain itu, kunjungan Perdana Menteri Swedia ke Korea Selatan juga ditunda.

Dalam aspek ekonomi, pasar keuangan Korea Selatan mengalami volatilitas. Saham Korea Selatan turun sekitar 2 persen, sementara mata uang won stabil setelah sempat jatuh ke posisi terendah dalam dua tahun terakhir.

Para pejabat Korea Selatan, termasuk Menteri Keuangan Choi Sang-mok dan Gubernur Bank of Korea Rhee Chang-yong, mengadakan pertemuan darurat dan berjanji akan mendukung pasar jika diperlukan.

Pemerintah juga berjanji untuk menyuntikkan likuiditas tanpa batas ke pasar saham, obligasi, dan pasar valuta asing untuk menstabilkan kondisi ekonomi.

Presiden Yoon, yang sebelumnya merupakan seorang jaksa karier, memenangkan pemilihan presiden Korea Selatan pada tahun 2022 dalam salah satu pemilu paling ketat dalam sejarah negara tersebut.

Ia memanfaatkan ketidakpuasan publik terhadap kebijakan ekonomi, skandal, dan ketegangan gender di negara tersebut. Namun, setelah menjabat, popularitasnya merosot, dengan peringkat dukungan yang hanya berkisar sekitar 20 persen selama berbulan-bulan.

Pada April 2024, partainya mengalami kekalahan telak dalam pemilihan legislatif, menyerahkan kontrol Majelis Nasional kepada partai oposisi yang menguasai hampir dua pertiga kursi.

Penerapan martial law yang diumumkan oleh Yoon merupakan yang pertama kali sejak 1980. Pada tahun tersebut, sekelompok perwira militer yang dipimpin oleh Chun Doo-hwan memaksa Presiden Choi Kyu-hah untuk memproklamirkan martial law guna menanggulangi gerakan oposisi yang mendesak pemulihan pemerintahan demokratis.

Sejak Korea Selatan berdiri sebagai republik pada tahun 1948, sudah ada lebih dari selusin kali penerapan martial law di negara tersebut.

Krisis yang dipicu oleh deklarasi martial law ini menggambarkan ketegangan politik yang sedang berlangsung di Korea Selatan.

Meskipun situasi tersebut tampaknya telah mereda dengan pencabutan martial law dan tekanan untuk pemakzulan Yoon, dampak jangka panjang dari kejadian ini terhadap stabilitas politik dan ekonomi negara tersebut masih harus dilihat.

 Kejadian ini juga menunjukkan betapa sensitifnya situasi politik di Korea Selatan, yang merupakan salah satu ekonomi terbesar di Asia dan sekutu penting bagi Amerika Serikat.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved