Breaking News

Luar Negeri

Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pimpin Pemberontakan Gulingkan Assad, AS Hargai Kepalanya Rp158 M

Abu Mohammed al-Jawlani, yang dituduh sebagai pelanggar hak asasi manusia, memimpin HTS, yang merupakan jaringan al-Qaeda

|
Editor: Faisal Zamzami
Tangkap layar X
Abu Mohammed al-Jawlani. Kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) kini menguasai Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah, melalui serangan mendadak yang dipimpin oleh Abu Mohammed al-Jawlani. 

SERAMBINEWS.COM - Kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) kini menguasai Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah, melalui serangan mendadak yang dipimpin oleh Abu Mohammed al-Jawlani (Abu Mohammed al-Golani).

Al-Jawlani adalah sosok yang pernah membelot dari al-Qaeda dan ISIS. 

Dia juga dikenal sebagai pemimpin kelompok penentang pemerintahan Presiden Bashar al-Assad.

Baca juga: Israel Bombardir Damaskus hingga Duduki Zona Suriah di Golan Setelah HTS Gulingkan Bashar Al-Assad

Abu Mohammed al-Jawlani, yang dituduh sebagai pelanggar hak asasi manusia, memimpin HTS, yang merupakan jaringan al-Qaeda dan telah dilabeli sebagai organisasi teroris oleh banyak negara.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) menawarkan hadiah sebesar $10 juta (sekitar Rp158 miliar) bagi siapa saja yang dapat menangkapnya.

Dikutip dari BBC, identitas asli al-Jawlani menjadi perdebatan.

Dalam wawancara dengan PBS, ia mengaku bernama asli Ahmed al-Sharaa, lahir di Riyadh, Arab Saudi, dan dibesarkan di Damaskus, Suriah.

Namun, laporan lain menyebutkan bahwa ia mungkin lahir di Deir ez-Zor, Suriah Timur, dengan rentang tahun kelahiran yang berbeda-beda, antara 1975 hingga 1981.

Baca juga: Pemberontak Suriah Kuasai Aleppo, Panglima Perang HTS Abu Mohammed Bertekad Gulingkan Presiden Assad

Karier Militer dan Kepemimpinan HTS

Al-Jawlani bergabung dengan al-Qaeda di Irak setelah invasi militer koalisi yang dipimpin AS pada 2003.

Ia ditangkap oleh pasukan AS pada 2010 dan dipenjara di Camp Bucca, di mana ia bertemu dengan berbagai kombatan militan.

Setelah dibebaskan, ia menjadi komandan kelompok bersenjata Nusra, yang terafiliasi dengan ISIS, sebelum memutuskan hubungan dengan ISIS pada 2013 dan beralih ke al-Qaeda.

Pada 2017, al-Jawlani menggabungkan berbagai kelompok milisi di Suriah untuk membentuk Hayat Tahrir al-Sham dan menjabat sebagai pemimpin.

Di bawah kepemimpinannya, HTS menjadi kelompok dominan di wilayah Idlib dan sekitarnya, yang kini dihuni sekitar empat juta jiwa akibat arus pengungsi.

Sebelum masa peperangan, sekitar 2,7 juta warga tinggal di wilayah itu.

 
Sejumlah pihak memperkirakan penduduk di daerah tersebut bertambah menjadi sekitar empat juta jiwa lantaran arus masuk pengungsi.

Kelompok al-Jawlani menguasai "Pemerintahan Keselamatan" yang bertindak layaknya otoritas lokal di Provinsi Idlib dengan memberikan layanan kesehatan, pendidikan, serta keamanan.

Pada 2021, al-Jawlani berkata media PBS bahwa pihaknya tidak mengikuti strategi jihad global ala al-Qaeda, melainkan fokus pada upaya menjungkalkan Presiden al-Assad.

AS dan negara-negara Barat pun memiliki tujuan yang sama dengan dirinya.

"Wilayah ini tidak merepresentasikan ancaman keamanan kepada Eropa dan Amerika," katanya.

HTS diketahui menegakkan hukum Islam di wilayah kendalinya, tetapi dengan cara yang lebih longgar dibanding kelompok-kelompok jihad lainnya.

Kelompok tersebut juga secara terbuka menjalin hubungan dengan komunitas Kristen dan kelompok non-Muslim lain.

Hal ini membuat HTS sempat dikritik kelompok jihad lain karena dianggap terlalu moderat.

Sementara itu, organisasi HAM menuduh HTS melakukan penindasan terhadap aksi protes dan telah melakukan pelanggaran HAM. Namun al-Jawlani membantah tuduhan ini.

HTS dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh sejumlah negara Eropa, Timur Tengah, serta Dewan Keamanan PBB.

Baca juga: Pemberontak Suriah Rebut Sistem Radar Rusia yang Mendeteksi Rudal Storm Shadow di Kota Hama

 

Muncul di Media

Al-Jawlani alias Golani pertama kali diwawancarai oleh media pada 2013, namun wajahnya ditutupi syal gelap, dan hanya punggungnya yang terlihat oleh kamera.

Berbicara kepada Al Jazeera, ia menyerukan agar Suriah dijalankan sesuai dengan hukum syariah.

Sekitar delapan tahun kemudian, ia diwawancarai oleh program FRONTLINE dari US Public Broadcasting Service, kali ini menghadap kamera dan mengenakan kemeja serta jaket.

Golani menyebut label teroris yang diberikan kepadanya sebagai sesuatu yang tidak adil, dan menyatakan bahwa ia menentang pembunuhan orang-orang tak bersalah.

Ia juga menjelaskan bagaimana Front Nusra berkembang dari hanya enam orang yang ikut bersamanya dari Irak menjadi 5.000 anggota dalam waktu satu tahun.

Namun, ia menegaskan bahwa kelompoknya tidak pernah menjadi ancaman bagi Barat.

"Saya tegaskan kembali - keterlibatan kami dengan Al-Qaeda telah berakhir, dan bahkan ketika kami bersama Al-Qaeda, kami menentang operasi di luar Suriah. Itu sepenuhnya bertentangan dengan kebijakan kami," katanya.

Pada tahun 2013, Golani terlibat dalam perang berdarah melawan sekutunya di masa lalu, Baghdadi, karena ISIS mencoba menumbangkan Front Nusra.

 
Meskipun berafiliasi dengan Al-Qaeda, Nusra dianggap lebih toleran dan tidak sekejam ISIS dalam berurusan dengan warga sipil dan kelompok pemberontak lainnya.

ISIS kemudian dikalahkan dari wilayah yang mereka kuasai di Suriah dan Irak oleh sejumlah musuh, termasuk aliansi militer yang dipimpin AS.

Setelah ISIS runtuh, Golani memperkuat cengkeraman HTS di provinsi Idlib, barat laut Suriah.

Ia mendirikan pemerintahan sipil yang disebut Pemerintahan Keselamatan.

Pemerintahan Assad memandang HTS sebagai kelompok teroris, sama seperti pemberontak lainnya yang bangkit melawan pemerintahannya.

Dengan pemberontak Muslim Sunni kini maju, HTS telah mengeluarkan beberapa pernyataan yang berusaha meyakinkan komunitas Syiah Alawi dan minoritas lainnya di Suriah.

Salah satu pernyataan mendesak kaum Alawi untuk meninggalkan pemerintahan Assad dan bergabung dengan masa depan Suriah yang tidak menganut sektarianisme.

Dalam sebuah pesan kepada penduduk Kristen di selatan Aleppo pada Rabu, Golani mengatakan bahwa mereka akan dilindungi, dan harta benda mereka akan dijaga.

Ia juga mengimbau mereka untuk tetap tinggal di rumah dan menolak "perang psikologis" yang dilakukan oleh pemerintah Suriah.

"Kelompok Golani berusaha mengklaim warisan revolusioner, dengan mengatakan bahwa mereka adalah bagian dari gerakan 2011, orang-orang yang bangkit melawan Assad, sambil tetap menganut Islam," ujar seorang pengamat.

Tujuan Golani: Menggulingkan Pemerintahan Assad

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan CNN, Abu Mohammed al-Golani menyatakan bahwa tujuan utamanya adalah menggulingkan pemerintahan Presiden Suriah, Bashar al-Assad.

Dalam wawancara media pertamanya setelah beberapa tahun, yang dilakukan di lokasi rahasia di Suriah, Golani berbicara tentang rencananya untuk membentuk pemerintahan baru berdasarkan lembaga-lembaga dan "dewan yang dipilih oleh rakyat."

"Ketika kita berbicara tentang tujuan, tujuan revolusi tetaplah menggulingkan rezim ini. Merupakan hak kami untuk menggunakan segala cara yang tersedia guna mencapai tujuan tersebut," kata Golani.

Ia juga menambahkan, "Benih-benih kekalahan rezim sudah ada dalam dirinya."

 
"Iran berusaha menghidupkannya kembali, mengulur waktu, dan kemudian Rusia mencoba menopangnya."

"Namun, kebenaran tetap ada: rezim ini sudah mati."

 

Baca juga: Jalan Nasional di Beutong Ateuh Sempat Lumpuh 2 Jam karena Longsor, Kini Transportasi Kembali Lancar

Baca juga: Istri di Bondowoso Ngamuk Bacok Suami dan 2 Tetangganya, Ternyata Pernah Dirawat di Poli Jiwa

Baca juga: Fraksi PAS Aceh Demokrat dan PAN Bireuen Minta Naikkan Insentif Imum Gampong

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved