Opini
Coretax, Menuju Sistem Perpajakan Inklusif dan Transparan
Dalam 3 dekade terakhir, APBN Indonesia memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada penerimaan pajak.
Aulia Hidayat, Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan Sinabang
PAJAK merupakan sumber utama penerimaan negara. Dalam 3 dekade terakhir, APBN Indonesia memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada penerimaan pajak. Hal tersebut tercermin dari nilai persentase penerimaan pajak terhadap penerimaan negara, dari sebesar 58,45 persen di tahun 2001 menjadi 70,97 % (proyeksi APBN 2024). Secara nominal, persentase kenaikan penerimaan pajak telah mengalami peningkatan dari tahun 2001 ke proyeksi tahun 2024 sebesar 1.030 % .Namun, peningkatan penerimaan pajak tersebut ternyata belum sejalan dengan peningkatan tax ratio Indonesia.
Tax ratio merupakan perbandingan antara penerimaan pajak dengan produk domestik bruto (PDB) di masa yang sama. Dengan perbandingan periode data yang sama, yaitu tahun 2001 dengan proyeksi tahun 2024, terlihat bahwa terdapat penurunan tax ratio, dari sebesar 12,10 % di tahun 2001 menjadi 10,02 % di tahun 2024.
Angka tersebut menunjukkan bahwa bahwa laju pertumbuhan PDB Indonesia lebih tinggi dari pertumbuhan penerimaan pajak. Artinya, terdapat potensi penerimaan pajak yang belum berhasil dikumpulkan oleh Pemerintah. Untuk mengukur elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan PBD, dapat menggunakan indikator tax buoyancy. Rajaraman et al (2006) menjelaskan bahwa tax buoyancy berfungsi untuk mengukur persentase respons dari penerimaan pajak terhadap 1 % perubahan dalam basis pemajakan. Idealnya, nilai tax buoyancy adalah 1, yang berarti setiap 1 % pertumbuhan ekonomi menghasilkan penerimaan pajak sebesar 1 % .
Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak yang disampaikan oleh BPS dan Kementerian Keuangan, tax buoyancy atau elastisitas penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto berada di nilai -0,47 per Kuartal III/2024 (periode JanuariāSeptember 2024). Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan laju penerimaan pajak.
Selanjutnya, dalam Revenue Statistics yang diterbitkan oleh OECD November 2024 lalu, diketahui bahwa rata-rata negara OECD memiliki nilai tax ratio sebesar 34,0 % di tahun 2022. Secara regional, Kawasan Amerika Latin dan Karibia memiliki nilai yang lebih baik dari Asia Pasifik, yaitu 21,5?rbanding 19,3 % . Adapun Kawasan Afrika, di tahun yang sama memiliki rata-rata tax ratio sebesar 15,6 % . Ā Secara negara, tax ratio Indonesia hanya lebih baik dari Sri Lanka, Bangladesh, Pakistan, Laos, dan Bhutan.
Fenomena tersebut menunjukkan adanya urgensi perubahan sistem perpajakan Indonesia yang lebih andal, inklusif, transparan, dan berkeadilan, sehingga manfaat dan beban pajak dapat ditanggung secara merata dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Untuk mewujudkan hal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah melakukan serangkaian agenda reformasi perpajakan, meliputi aspek kelembagaan, SDM, regulasi, proses bisnis, dan IT serta basis data.
Perpajakan inklusif
Salah satu output dari reformasi perpajakan yang akan segera tampak di depan mata adalah implementasi Core Tax Administration System (CTAS) atau coretax. Coretax akan mulai diimplementasikan per 1 Januari 2025. Sistem baru tersebut akan sangat jauh berbeda dari sistem Informasi DJP yang berlaku saat ini, sehingga Wajib Pajak perlu mendapatkan edukasi terkait penggunaan Coretax. Saat ini penggunaan coretax sudah mulai disosialisasikan kepada wajib pajak secara masif melalui berbagai kanal informasi dan edukasi, baik secara daring, maupun tatap muka di unit kerja DJP di seluruh Indonesia. Coretax yang diimplementasikan nanti, merupakan cerminan hasil dari pembenahan berbagai aspek yang dilakukan DJP secara berkelanjutan. Setidaknya, ada 6 dari 10 business directions yang tampak jelas dalam implementasi coretax.
Pertama, streamlined process. Langkah-langkah manual dalam proses pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak di era coretax akan semakin dikurangi, antara lain dengan adanya prepopulated data, dimana Wajib Pajak mendapatkan data relevan yang diterbitkan oleh pihak ketiga dalam akun Wajib Pajaknya secara real time. Hal ini akan mengurangi proses yang selama ini masih sering dilakukan secara manual, seperti permintaan bukti potong kepada pemberi penghasilan.
Kedua, customer-centric approach based on user experience. Coretax yang diimplementasikan akan memberikan banyak kemudahan bagi Wajib Pajak, sehingga cost of compliance (biaya kepatuhan yang dikeluarkan Wajib Pajak untuk dapat memenuhi kewajiban perpajakannya) menjadi turun dan Wajib Pajak menjadi lebih efisien.
Salah satu fitur yang ditawarkan adalah perubahan data Wajib Pajak yang dapat diajukan melalui akun taxpayer portal Wajib Pajak secara online. Bayangkan, berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh Desa di Kecamatan Alafan (Simeulue), untuk menugaskan seorang Kepala Urusan Keuangannya menempuh perjalanan yang hampir 4 jam lamanya ke KP2KP Sinabang hanya untuk mengubah data Penanggung Jawab desanya? Di era coretax, perubahan data tersebut dapat dilakukan secara online di desa tanpa harus hadir ke KPP/KP2KP terdaftar.
Ketiga, open and integrated system. Dalam sistem inti administrasi perpajakan yang akan diimplementasikan nanti, seluruh proses bisnis akan terintegrasi dalam satu sistem informasi dan juga terhubung dengan sistem Informasi di sekitarnya, sehingga Wajib Pajak tidak perlu bingung dengan banyaknya aplikasi yang digunakan untuk dapat melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Keempat, risk based compliance approach. Melalui coretax, DJP memanfaatkan business intelligence, knowledge management, dan compliance risk management dalam menjalankan proses bisnisnya. Penanganan (treatment) atas Wajib Pajak dilakukan secara tepat berdasarkan data dan pendekatan risiko dalam pengambilan keputusan, sehingga mencerminkan asas keadilan dalam pemungutan pajak.
Kelima, digitized and automated process. Saat coretax diimplementasikan, akan semakin banyak proses yang dilakukan secara digital, otomatis, serta pengurangan penggunaan kertas (paperless). Contohnya, di sistem yang berlaku saat ini, DJP mengirimkan Surat Tagihan Pajak (STP) kepada Wajib Pajak secara manual via pos atau jasa ekspedisi. Di coretax, pengiriman STP akan dikirimkan pula secara elektronik ke Akun Wajib Pajak secara real time setelah diterbitkan. Sehingga, Wajib Pajak dapat mengetahui terbitnya STP tersebut secara real time.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.