Jurnalisme Warga
Ujung Paking Objek Wisata Ekstrem yang Manakjubkan
Ini desa budaya yang berkembang pesat di bawah kepemimpinan Reje Idrus Saputra. Semua capaian desa ini tidak terlepas dari dukungan masyarakat yang b
CHAIRUL BARIAH, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Bireuen, melaporkan dari Takengon, Aceh Tengah
Udara dingin sore itu menyambut saya dan keluarga di Desa Paya Tumpi Baru, Aceh tengah. Ini desa budaya yang berkembang pesat di bawah kepemimpinan Reje Idrus Saputra. Semua capaian desa ini tidak terlepas dari dukungan masyarakat yang begitu mencintai desanya.
Banyak kegiatan yang dilaksanakan di desa ini, salah satunya Desember Kopi, akhir tahun lalu. Di desa ini pula untuk pertama kalinya diperkenalkan ‘jembolang’ (penutup kepala laki-laki) hasil karya sang Reje yang dimodifikasi dengan motif khas Gayo.
Tujuan kami ke Aceh Tengah kali ini adalah mengunjungi keluarga dan berwisata sekaligus membawa ananda saya untuk berlibur dan rehat sejenak dari rutinitas pekerjaan dan hiruk-pikuknya Kota Jakarta.
Suasana malam waktu itu gerimis sehingga udara sangat dingin. Kami pun memutuskan untuk membuat perapian dari kayu dan arang agar rasa dingin teratasi. Malam itu suuhu 15 derajat Celsius, tak heran mengapa kaki dan bibir kami terasa kaku. Pada saat berbicara pun dari mulut seperti keluar asap.
Setelah badan sedikit hangat, kami putuskan untuk tidur. Saat berjalan dari dapur menuju kamar tidur lantai seakan disirami es. Dingin sekali. Cepat-cepat kami melompat ke tempat tidur dan menutup seluruh badan dengan selimut tebal. Orang Gayo menyebutnya ‘opoh jebel’.
Beberapa jam kemduian, waktu shalat subuh pun tiba. Meski udara dingin sampai ke ubun-ubun, ibadah harus dinomorsatukan. Kami berwudu dengan air yang dinginnya bagaikan es. Tangan dan kaki serasa kaku, bibir bergetar. Namun, semua sangat mengesankan.
“Suasana di Takengon memang sering hujan,” ujar kakak saya mengawali pembicaraan pagi itu di dapur. Kami mempersiapkan menu makan siang bersaama di lokasi wisata yang menjadi pilihan kami, yaitu Ujung Paking.
Menurut Reje Paya Tumpi Baru, lokasi Ujung Paking ini luas dan pemandangannya pun indah.
Waktu liburan yang terbatas mengharuskan kami mengatur waktu dengan baik. Jarak tempuh menuju lokasi ± 20 menit dari kediaman mantan reje Paya Tumpi Baru. Oleh karenanya, kami harus bergegas menuju Ujung Paking pada pukul 10.30 WIB.
Perjalanan kami sedikit tersendat karena hari itu bersamaan dengan libur terakhir semester ganjil tahun akademik 2024/2025. Jadi, begitu banyak wisatawan yang datang dari berbagai daerah. Ini terlihat dari pelat kendaraan yang melintas, ada B, BK, BM, BG, BH dan yang paling banyak adalah pelat BL.
Objek wisata Ujung Paking ini berada di sebelah utara Danau Laut Tawar. Untuk bisa sampai ke lokasi ini kita harus melewati Desa Mendale, tempat wisata Putri Pukes yang berada disisi kiri jalan.
Ruas jalan ini ternyata merupakan jalan pintas menuju Gayo Lues dan Aceh Tenggara. Struktur jalannya sangat bagus, dapat dilalui bersamaan oleh dua kendaraan roda empat.
Akhirnya, kami pun sampai di lokasi tujuan. Ada beberapa petugas yang datang mengecek jumlah penumpang di dalam mobil yang kami kendarai. “Lima puluh lima ribu, Pak,” kata petugas kepada Reje yang menjadi ‘driver’ kami, sambil menyerahkan secarik kertas tanda parker dan kami bayar.
Pada saat memasuki gerbang Ujung Paking kami terkejut ternyata lokasi wisatanya di bawah jalan dengan titik kemiringan hampir 150 derajat. Mendadak rasa takut menyelimuti hati karena turunannya sangat terjal dan tikungannya patah. Tentu butuh sopir yang ahli dan bernyali untuk melewati jalan ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.