Opini

Kemiskinan dan Harga Sebuah Perdamaian

Kini, tugas terbesar adalah menjaga warisan perdamaian tersebut melalui kebijakan ekonomi yang berkelanjutan, transparansi dalam pengelolaan dan perpa

Editor: mufti
IST
Dr HT Ahmad Dadek SH MH, Kepala Bappeda Aceh 

Dr HT Ahmad Dadek SH MH, Kepala Bappeda Aceh

KONDISI kemiskinan di Aceh antara tahun 1993 hingga 2000 menunjukkan tren yang sangat fluktuatif dibandingkan dengan rata-rata nasional. Pada tahun 1993, tingkat kemiskinan di Aceh berada di angka 13.46 persen, turun menjadi 10.79 % pada tahun 1996. Namun, pada tahun 1998 terjadi lonjakan tajam hingga mencapai 32.24 % , sebelum akhirnya turun kembali ke 15.20 % pada tahun 2000. Secara keseluruhan, kemiskinan di Aceh mengalami kenaikan 1.74?ri tahun 1993 ke 2000.

Sebaliknya, tingkat kemiskinan nasional juga mengalami tren penurunan dari 13.70 % pada tahun 1993 menjadi 11.30 % pada tahun 1996. Namun, akibat krisis ekonomi Asia pada tahun 1998, angka kemiskinan nasional melonjak ke 24.20 % , sebelum akhirnya turun menjadi 19.14 % pada tahun 2000. Secara keseluruhan, tingkat kemiskinan nasional mengalami penurunan sebesar 5.44?lam periode yang sama.

Penyebab Kemiskinan di Aceh 1993-2000 adalah krisis moneter menyebabkan anjloknya nilai tukar rupiah, meningkatnya harga barang kebutuhan pokok, dan turunnya daya beli masyarakat, banyak perusahaan tutup dan terjadi pemutusan hubungan kerja. Sehingga angka pengangguran meningkat tajam, Aceh, yang bergantung pada sektor pertanian dan perikanan, juga terdampak oleh kenaikan harga input produksi dan menurunnya daya beli masyarakat.

Konflik bersenjata (GAM vs Pemerintah RI) yang semakin memanas di akhir 1990-an mengganggu aktivitas ekonomi dan investasi di Aceh. Infrastruktur rusak akibat konflik, menyebabkan keterbatasan akses ekonomi dan menghambat perdagangan serta distribusi barang. Banyak masyarakat yang mengungsi akibat konflik, sehingga kehilangan sumber penghidupan mereka.

Di samping itu, Aceh sangat tergantung pada sektor primer terutama sektor pertanian dan perikanan, yang lebih rentan terhadap gejolak ekonomi dan bencana alam.

Kurangnya diversifikasi ekonomi menyebabkan Aceh lebih rentan terhadap dampak dari krisis ekonomi nasional. Minimnya infrastruktur dan investasi, situasi keamanan yang tidak kondusif membuat investor enggan berinvestasi di Aceh. Minimnya infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan pasar menyebabkan harga barang lebih mahal dibandingkan daerah lain.

Adapun strategi yang telah ditempuh adalah pemulihan ekonomi Pasca-Krisis 1998 dimana pemerintah memberikan bantuan sosial dan subsidi bagi kelompok rentan untuk menstabilkan daya beli masyarakat.
Program padat karya dicanangkan untuk menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang kehilangan pekerjaan.

Perbaikan harga dan stabilisasi pangan melalui intervensi pasar oleh Bulog. Upaya penanganan konflik dengan sejumlah inisiatif dialog antara pemerintah pusat dan kelompok GAM dilakukan untuk meredakan ketegangan. Beberapa program bantuan kemanusiaan diberikan kepada masyarakat terdampak konflik, program rehabilitasi ekonomi di wilayah-wilayah yang terkena dampak konflik mulai dilakukan, peningkatan infrastruktur dan diversifikasi ekonomi, pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan dan listrik untuk meningkatkan akses ekonomi masyarakat.

Program penguatan sektor UMKM untuk mengurangi ketergantungan ekonomi pada sektor pertanian saja melalui peningkatan akses permodalan bagi masyarakat untuk mendorong pertumbuhan wirausaha baru. Program bantuan sosial dan kesejahteraan melalui peningkatan akses pendidikan dan kesehatan melalui program beasiswa dan layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin, program bantuan pangan bagi masyarakat kurang mampu, pelatihan keterampilan bagi pekerja yang terdampak krisis dan konflik.

Aceh mengalami lonjakan kemiskinan yang jauh lebih drastis dibandingkan rata-rata nasional akibat kombinasi dari krisis ekonomi 1998 dan konflik bersenjata. Namun, dengan berbagai strategi pemulihan ekonomi, stabilisasi sosial, dan pembangunan infrastruktur, kemiskinan di Aceh mulai menurun setelah tahun 2000. Meskipun masih menghadapi tantangan besar, langkah-langkah yang telah ditempuh menjadi fondasi bagi pemulihan ekonomi yang lebih berkelanjutan di masa mendatang.

Hasil analisis detail angka kemiskinan Aceh dan Nasional (2004-2024) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Aceh mencapai 28.37 % , dan tahun 2024, angka ini menurun menjadi 12.64 % , atau adanya penurunan total sebesar 15.73 % . Sedangkan  Nasional, sebesar 16.66 % (2004), dan 2024 turun menjadi 8.57 % , penurunan total sebesar 8.09 % selama periode ini.

Aceh mengalami penurunan kemiskinan yang lebih besar dibandingkan rata-rata nasional. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh berbagai program pemulihan pascakonflik dan bencana, terutama setelah tsunami 2004. Namun, meskipun penurunannya lebih signifikan, tingkat kemiskinan di Aceh masih lebih tinggi dibandingkan angka nasional pada tahun 2024 (12.64 % vs 8.57 % ). Aceh sempat mengalami angka kemiskinan yang sangat tinggi pada 2005-2006 (sekitar 28 % ) sebelum mulai mengalami tren penurunan yang lebih stabil setelah 2008. Secara nasional, tingkat kemiskinan juga menurun tetapi dalam pola yang lebih stabil dibandingkan Aceh.

Penyebab dan strategi

Penurunan kemiskinan di Aceh yang lebih cepat dibandingkan rata-rata nasional selama periode 2004-2024 disebabkan oleh beberapa faktor kunci. Pertama, bantuan dan program rekonstruksi pascatsunami 2004 berperan besar. Lonjakan angka kemiskinan pada 2005-2006 akibat bencana tersebut direspons dengan bantuan internasional yang masif, termasuk dari BRR, lembaga donor, dan NGO global. Rekonstruksi infrastruktur membuka lapangan kerja baru, mengurangi pengangguran, dan mendorong perekonomian lokal.

Kedua, perjanjian perdamaian Helsinki 2005 menjadi tonggak penting. Konflik panjang antara GAM dan pemerintah RI yang menghambat pertumbuhan ekonomi berakhir, membuka akses ke wilayah sebelumnya terisolasi, meningkatkan investasi, dan memulihkan aktivitas ekonomi masyarakat yang terdampak konflik.
Ketiga, penerimaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) sejak 2008 mempercepat pembangunan di Aceh. Dana ini dialokasikan untuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan penguatan ekonomi komunitas, memungkinkan implementasi program pengentasan kemiskinan lebih efektif dibanding daerah lain.

Keempat, penguatan sektor pertanian dan perikanan pascatsunami memanfaatkan potensi sumber daya alam Aceh untuk meningkatkan ekonomi lokal. Kelima, peningkatan infrastruktur memperbaiki konektivitas antarwilayah, mempermudah distribusi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan. Keenam, dukungan pendidikan dan kesehatan meningkatkan kualitas SDM, mendorong produktivitas, dan secara tidak langsung menurunkan angka kemiskinan.

Pelantikan Gubernur Aceh dari kalangan mantan kombatan bukan sekadar peristiwa politik, melainkan bagian dari proses panjang perdamaian yang berdampak langsung pada aspek ekonomi. Stabilitas politik yang dihasilkan dari rekonsiliasi pascakonflik membuka ruang bagi pembangunan yang lebih inklusif, mendorong diversifikasi ekonomi, dan memperbaiki tata kelola pemerintahan. Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa perdamaian ini tidak hanya menjadi simbol politik. Tetapi juga terwujud dalam kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Aceh.

Aceh telah membayar harga mahal untuk sebuah perdamaian. Kini, tugas terbesar adalah menjaga warisan perdamaian tersebut melalui kebijakan ekonomi yang berkelanjutan, transparansi dalam pengelolaan dan perpanjangan Dana Otsus, serta komitmen untuk mengurangi ketimpangan sosial. Karena pada akhirnya, keberlanjutan perdamaian bukan hanya soal politik, tetapi bagaimana ekonomi menjadi fondasi yang kokoh bagi masa depan Aceh yang lebih sejahtera. Orang Aceh sangat paham hubungan antara perdamaian dan ekonomi, karenanya pascakonflik gubernur definitif adalah mereka yang berkaitan gerak dengan perdamaian. Selamat pelantikan Mualem dan Dek Fad sebagai penerus legasi rakyat Aceh yang mencintai perdamaian sebagai landasan penting kesejahteraan.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved