Duka di Awal Tahun 2025, Tiga Ulama Aceh Berpulang

Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali kepada Serambinews.com mengatakan, kepergian ketiga ulama ini merupakan sebuah musiba

|
Penulis: Yeni Hardika | Editor: Agus Ramadhan
KOLASE SERAMBINEWS.COM/IST
ULAMA KHARISMATIK ACEH - Aba H Asnawi Bin Tgk Ramli atau Aba Budi Lamno (kiri), Tgk H Usman Ali atau Abu Kuta Krueng (tengah), Abuya H Musa Jailani Bin Husien (kanan). Ketiga ulama kharismatik asal Aceh tersebut telah meninggal dunia di awal tahun 2025. (KOLASE SERAMBINEWS.COM/IST) 

SERAMBINEWS.COM - Duka mendalam dirasakan oleh masyarakat Aceh di awal tahun 2025. Ulama besar yang selama ini menjadi panutan hampir seluruh umat muslim di Aceh, telah berpulang ke rahmatullah. 

Yakni Pimpinan Dayah Darul Munawwarah di Kuta Krueng, Pidie Jaya, Tgk H Usman Ali atau lebih dikenal dengan Abu Kuta Krueng, yang meninggal dunia pada Kamis (13/2/2025) pukul 04.30 WIB. 

Sosok ulama kharismatik tersebut menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin, Banda Aceh setelah sebelumnya sempat menjalani perawatan intensif selama beberapa hari. 

Kabar kepergian Abu Kuta Krung cukup mengguncang hati masyarakat muslim di Aceh

Namun belum sempat mengering air mata atas berita kepulangan Abu Kuta Krueng, masyarakat Aceh kembali menerima kabar duka lainnya.

Kabar duka itu datang dari Lamno, Aceh Jaya. 

Salah seorang ulama dari daerah tersebut, Aba H Asnawi Bin Tgk Ramli, juga berpulang ke rahmatullah. 

Berita meninggalnya pimpinan Dayah Bahrul 'Ulum Diniyah Islamiyah (Budi) Mesja Lamno tersebut beredar cepat di kalangan masyarakat Aceh, hanya berselang beberapa menit setelah kabar meninggalnya Abu Kuta Krueng.

Aba H Asnawi Bin tgk Ramli atau yang lebih dikenal dengan Aba H Asnawi atau Aba Budi Lamno meninggal dunia pada Kamis (13/2/2025) pukul 09.45 pagi di kediamannya, kompleks Dayah Budi Lamno, Desa Jangeut, Kecamatan Aceh Jaya. 

Baik berita duka kepergian Abu Kuta Krueng dan Aba H Asnawi, sama-sama diterima Serambinews.com pada Kamis (14/2/2025) dalam waktu hitungan menit. 

Namun tak lama kemudian, beredar kembali kabar kepergian seorang ulama kharismatik lainnya.

Baca juga: Mengenang Jasa Abu Kuta Krueng, Ulama Besar Aceh yang Wariskan Keteladanan di Bidang Pendidikan

Kabar duka ketiga itu datang dari Negeri Seribu Bukit, yakni Gayo Lues.

Disebutkan, bahwa Abuya H Musa Jailani Bin Husien, Pimpinan Pondok Pesantren Bustanul Arifin, Desa Penosan Kecamatan Blangjerango, Kabupaten Gayo Lues telah meninggal dunia.

Kabar meninggalnya pendiri pondok pesantren tertua di Gayoe Lues itu beredar pada hari yang sama dengan kabar meninggalnya Abu Kuta Krueng dan Aba H Asnawi. 

Namun dari informasi yang ditelusuri Serambinews.com, Abuya H Musa meninggal dunia pada Rabu, 1 Januari 2025.

Abuya H Musa tutup usia di RS Tanah Gayo Blangkejeren sekitar pukul 09.45 WIB dan dikebumikan di kebumikan komplek pondok pesantrennya.

Meski telah lebih dahulu berpulang, kabar meninggalnya Abuya H Musa yang diterima pada hari yang sama dengan kepergian Abu Kuta Krueng dan Aba Budi semakin menambah kesedihan masyarakat Aceh

Di awal tahun 2023, bahkan sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, masyarakat Aceh kehilangan tiga ulama besar yang selama ini menjadi rujukan dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan. 

Kehilangan ulama musibah bagi ummat

Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali kepada Serambinews.com mengatakan, kepergian ketiga ulama ini merupakan sebuah musibah bagi ummat muslim khususnya di Aceh

Baik Abu Kuta Krueng, Aba Budi Lamno maupun Abuya H Musa, ketiganya cukup dikenal dekat oleh Tgk Faisal Ali.

"Ketiga-tiganya ulama yang saya kenal. Mereka memang ulama dari generasi yang usianya di atas 70-an," kata Ketua MPU Aceh saat dihubungi Serambinews.com melalui sambungan telepon, Jumat (14/2/2025).

"Kepulangan mereka memang sebuah musibah bagi umat Islam, khususnya yang ada di aceh," sambung ulama yang juga dikenal dengan Abu Sibreh tersebut.

Menurut Abu Sibreh, kepergian tiga ulama kharismatik tersebut menjadi sebuah musibah karena mereka juga ikut membawa pulang serta ilmu-ilmunya.

Sementara itu, ummat muslim para generasi muda, masih belum seluruhnya menyerap ilmu dari para ulama ini.

"Bukan tidak diberikan, tapi kita yang terbatas mengambil ilmu dari ketiga ulama ini," jelas Abu Sibreh.

Baca juga: Ketua MPU Aceh Lem Faisal Cerita Momen Terakhir Bertemu Abu Kuta Krueng dan Aba Asnawi Lamno 

Tak ada kaitannya dengan fenomena alam

Meski meninggalnya ulama menjadi musibah bagi ummat, namun bukan berarti sebuah pertanda buruk yang memicu bencana atau fenomena alam.

Tgk Faisal Ali mengatakan, musibah atau pertanda buruk yang dimaksud dari kepulangan ulama ialah, umat muslim telah kehilangan sumber ilmu dan pembelajaran.

"Pertanda buruk iya, tapi bukan dalam konteks alam, seperti banjir, gempa, gerhana, hujan, bukan seperti itu. Ini pertanda buruk dimana kita sangat sulit untuk mendapatkan wejangan, bimbingan, arahan kalau ada masalah-masalah yang kita hadapi," ujar ulama yang juga disapa dengan Lem Faisal tersebut.

Penjelasan Lem Faisal ini menanggapi fenomena alam yang biasanya dikaitkan oleh masyarakat saat seorang ulama meninggal dunia.

Diketahui, pada hari meninggalnya Abu Kuta Krueng dan Aba Budi Lamno, beberapa wilayah Aceh yang pada awalnya cerah, seketika berubah jadi mendung dan dilanda hujan ringan hingga lebat.

Ada banyak masyarakat yang mengaitkan perubahan cuaca tersebut karena kepergian ulama di Aceh.

Lem Faisal menjelaskan, bahwa setara dhahir hal tersebut tidak ada kaitannya.

"Secara dhahir, tidak ada kaitannya bahwa hujan, kering, kemarau, atau gerhana dengan kematian dan kelahiran seseorang. Tidak ada. Itu adalah proses yang lain," tegas Ketua MPU Aceh

Oleh sebab itu, ia pun meminta agar masyarakat Aceh tidak perlu cemas dan berprasangka buruk atas kepergian para ulama

Alih-alih berprasangka buruk, Ketua MPU Aceh meminta masyarakat untuk meneladani ilmu dan sifat dari para ulama besar tersebut.

Termasuk juga mengambil pelajaran dari kepulangan mereka ke pemilik-Nya.

"Misalnya ada yang tidak senang dengan para ulama. Ulama itu warasatul anbiya, kalau tidak ada yang senang maka Allah Swt akan mengambilnya. Semoga saja kita masyarakat Aceh tidak termasuk di dalamnya," pungkas Lem Faisal. 

Baca juga: Ribuan Jamaah Bergantian Shalat Jenazah Abu Kuta Krueng, Waled Nu Pimpin Zikir Sambil Tunggu Antrean

Profil Abu Kuta Krueng

Tgk H Usman Ali atau lebih dikenal dengan nama Abu Kuta Krueng, ialah ulama kharismatik asal Aceh sekaligus pimpinan Dayah Darul Munawwarah di Kuta Krueng, Pidie Jaya, yang dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan Islam terkenal di Aceh.

Abu Kuta Krueng juga merupakan murid dari Almarhum Abon Tgk. H. Abdul Aziz Bin Tgk. Muhammad Saleh, yang juga dikenal sebagai Abon Samalanga.

Keberadaan Abu Kuta Krueng sebagai seorang ulama besar sangat dipengaruhi oleh bimbingan dan ajaran dari gurunya yang sangat dihormati tersebut.

Dilansir dari Serambinews.com, Kamis (14/2/2025), Abu Kuta Krueng dilahirkan di Desa Kuta Krueng, Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh, pada tanggal 31 Desember 1940.

Ia dikenal sebagai pimpinan Dayah Darul Munawwarah di Kuta Krueng, Pidie Jaya, Aceh, yang merupakan salah satu pusat pendidikan Islam terkemuka di daerah tersebut.

Sebagai seorang ulama yang dihormati, Abu Kuta Krueng mengabdikan diri untuk membimbing dan mendidik ribuan santri di dayah yang beliau pimpin.

Setelah menuntaskan pendidikan di Sekolah Rakyat (SR), ia melanjutkan perjalanan ilmunya dengan mendalami agama di Dayah Ma'hadal Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, yang terletak di Desa Mideun Jok, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh.

Di dayah ini, Abu Kuta Krueng mengasah pengetahuan agamanya lebih dalam, dan tempat ini menjadi landasan bagi perjalanan spiritual dan intelektual beliau yang kelak mengantarkannya menjadi seorang ulama besar di Aceh.

Selama menuntut ilmu di Dayah MUDI Mesra Samalanga, Abu Kuta Krueng telah menunjukkan tanda-tanda sebagai seorang ulama sejak dini.

Kepribadiannya tercermin dalam sikap, karakter yang kuat, serta kemampuannya dalam menyerap berbagai ilmu agama dengan cepat, sudah terlihat jelas pada masa-masa awal belajar.

Baca juga: Aba Budi Lamno Dirawat di Malaysia, Keadaan Sudah Membaik, 1 Juli Dijadwal Pulang Ke Aceh

Abu Kuta Krueng tidak hanya mampu menguasai materi dengan baik, tetapi juga memancarkan aura kebijaksanaan yang membuatnya dihormati oleh guru dan teman-temannya.

Sebagai seorang santri, Abu Kuta Krueng selalu menunjukkan rasa hormat yang mendalam terhadap para gurunya.

Ia percaya bahwa dengan memuliakan dan menghormati guru, ilmu yang diperoleh akan membawa keberkahan dan manfaat yang lebih besar.

Prinsip ini sangat diyakini oleh setiap anak dayah, dan Abu Kuta Krueng senantiasa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Keberkahan ilmu yang beliau peroleh pun tercermin dalam tindakan dan bimbingannya yang selalu memberi manfaat bagi banyak orang.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Dayah MUDI Mesra Samalanga, Abu Kuta Krueng kembali ke kampung halamannya dan mendirikan sebuah dayah sebagai wujud pengabdiannya dalam dunia pendidikan agama.

Dayah tersebut diberi nama Dayah Darul Munawwarah, yang terletak di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya.

Dengan tekad dan semangat yang tinggi, ia membangun dayah ini sebagai tempat untuk menyalurkan ilmu dan mendidik generasi muda dalam ajaran Islam.

Kehadiran Tgk. H. Usman Bin Tgk. Ali, atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Kuta Krueng, dalam dunia pendidikan di Aceh telah memberikan kontribusi besar yang tercatat dalam sejarah.

Abu Kuta Krueng turut memperkaya Aceh, yang dijuluki sebagai "bumi seribu dayah," dengan menambah cahaya ilmu di bumi yang dikenal sebagai Serambi Mekkah ini. 

Sebagai seorang ulama tasawuf, Abu Kuta Krueng juga dikenal sebagai sosok yang kharismatik dan sangat dihormati.

Kepemimpinan dan kebijaksanaannya menjadikannya sebagai tokoh yang menjadi kebanggaan bagi seluruh masyarakat Aceh, yang selalu merasa terinspirasi oleh dedikasi beliau dalam mengajarkan nilai-nilai agama dan moral.

Baca juga: Ribuan Orang Ikut Shalatkan Aba H Asnawi Lamno 

Prodil Aba Budi Lamno

Aba H Asnawi Bin tgk Ramli atau lebih dikenal dengan nama Aba Budi Lamno, merupakan pimpinan Lembaga Pendidikan Islam Bahrul ‘Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Janguet (BUDI MESJA), Desa Janguet, Kec. Indra Jaya, Lamno, Aceh Jaya.

Diberitakan Serambinews.com (18/4/2021), Dayah Budi Mesja merupakan salah satu dayah yang terkenal di Kabupaten Aceh Jaya, yang didirikan pada 4 April 1967 oleh Tgk H. Ibrahim Ishaq atau yang dikenal dengan nama Abu Budi Lamno.

Abu Budi Lamno memipin dayah ini sejak 1967-1997.

Setelah meninggal dunia, kepemimpinan dayah ini dilanjutkan oleh Aba Asnawi atau Tgk H Asnawi Ramli yang merupakan alah satu anak didik Abu Budi.

Menurut biografi yang dikutip dari laman resmi Dayah Mudi Mesra Samalanga, Aba Asnawi atau Aba Budi Lamno ternyata pernah menempuh pendidikan di LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga.

Aba Asnawi masuk ke pesantren yang berlokasi di kemukiman Mesjid Raya, kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen itu pada tahun 1965, setelah menyelesaikan pendidikan agama di Dayah Bustanul-‘Aidarusiyyah (BUSAIDA) Lamno.

Pada akhir 1968, Aba BUDI kembali ke Lamno dan berguru kepada Abu H. Ibrahim Ishaq (Abu BUDI Lamno).

Setelah menikah, Aba memilih untuk berdagang sebagai penopang kehidupan ekonominya sambil tetap belajar kepada Abu BUDI dan mengajar para santri yang menetap di salah satu dayah terbesar di Pantai Barat-Selatan Aceh tersebut. 

Barulah setelah Abu BUDI wafat dan Aba dipercayakan oleh para alumni untuk memimpin Dayah BUDI Lamno.

Beliau meninggalkan usaha perdagangan yang telah dijalaninya selama 14 tahun dan kembali fokus memberikan kehidupan beliau sepenuhnya untuk perkembangan BUDI Mesjid Janguet Lamno.

Selama kepemimpinannya di dayah BUDI Mesja, Aba Asnawi mampu mempertahankan keberhasilan yang telah dicapai oleh pemimpin sebelumnya, baik disektor pendidikan dan juga perekonomian.

Sehingga nama harum Dayah bahrul ‘Ulum Diniyah Islamiyah (BUDI) masih melekat di hati masyarakat Aceh dan sebagian masyarakat nusantara.

Bahkan setelah peristiwa gempa dan tsunami yang sempat meratakan infrastuktur Dayah BUDI Mesja, lembaga Pendidikan tersebut mampu bangkit dan kembali popular seperti sedia kala. 

Profil Abuya Musa

Bagi masyarakat Gayo Lues dan suku Gayo secara umum, Abuya H Musa Jailani tentu bukan sosok yang asing. 

Dilansir dari pemberitaan Serambinews.com, (11/10/2024), Abuya H Musa termasuk ulama sepuh yang ada di negeri Seribu Bukit.

Abuya H Musa lahir di Kecamatan Kutapanjang, Gayo Lues pada 16 April 1946.

Ia merupakan pendiri lembaga pendidikan agama, Bustanul Arifin, yang juga merupakan pondok pesantren tertua di Gayo Lues.

Abuya H Musa semasa mudanya sempat menuntut ilmu di Dayah Darusssalam selama sekitar 11 tahun, dari tahun 1956-1967.

Ia juga sempat berguru kepada Abuya Maulana Syech H Muhammad Waly, dan ulama-ulama kharismatik Aceh lainnya seperti Abuya Imam Syamsudin, Abuya Adnan Bakongan, dan Abuya Prof DR Muhibbudin Waly.

Setelah merasa cukup mendapatkan ilmu, Abuya H Musa lalu memutuskan kembali ke kampung halamannya di Negeri Seribu Bukit, Gayo Lues.

Tujuannya tidak lain adalah untuk mengembangkan agama islam yang berlandaskan ahlussunnah wal jama’ah.

Karena hari demi hari minat masyarakat yang ingin belajar terus bertambah, Abuya Tgk H Musa akhirnya memutuskan mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam pertama di Gayo Lues.

Lembaga pendidikan tersebut dinamakan Bustanul Arifin, yang terletak di Desa Penosan, Kecamatan Blang Jerango, Kabupaten Gayo Lues.
 
Abuya Tgk H Musa juga termasuk salah satu ulama yang diundang Presiden Soeharto ke Istana Negara (sekitar 1980-an), bersama sejumlah ulama Aceh lainnya.

(Serambinews.com/Yeni Hardika)

BACA BERITA LAINNYA DI SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved