KUPI BEUNGOH

Metode-Metode Dalam Penetapan Awal Ramadhan Dan Awal Syawal

Metode rukyatul hilal ini terus berlanjut sampai saat ini dan pemerintah Indonesia melalui kementerian agama RI juga masih terus menggunakannya.

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
Dosen Akuntansi Syari'ah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, Dr. Tgk. Muhammad Arfan, S.E., M.Si., Ak., CA 

Kenapa demikian? Karena belum memenuhi kriteria dalam metode hisab imkanurrukyah.

Berdasarkan contoh tersebut, walaupun sama-sama menggunakan metode hisab, mungkin saja perbedaan awal Ramadhan atau Syawal itu bisa terjadi.

Contoh lain sama-sama menggunakan hisab wujudul hilal, bisakah kumugkinan terjadi perbedaan dalam memulai awal ramadhan atau awal syawal? 

Jawabannya bisa saja perbedaan itu terjadi, walaupun sama-sama menggunakan hisab wujudul hilal. 

Misalnya, di wilayah Indonesia posisi hilal masih di bawah ufuk dan belum terjadi ijtimak pada saat matahari terbenam pada tanggal 29 Sya,'ban, sehingga di Indonesia bulan Sya'ban disempurnakan bilangannya menjadi 30 hari dan 1 Ramadhan atau 1 Syawal tertunda satu hari (jatuh besok lusa).

Sementara 4 jam kemudian pada saat matahari terbenam di Arab Saudi, sudah terlebih dahulu terjadi ijtimak dan posisi hilal di atas ufuk, sehingga di Arab Saudi, 1 Ramadhan jatuh besoknya.

Terjadi perbedaan dalam mengawali bulan Ramadhan antara Indonesia dan Arab Saudi, walaupun sama-sama menggunakan hisab wujudul hilal.

Contoh lain, bahkan bisa terjadi dalam wilayah negara yang sama.

Misalnya, pada saat matahari terbenam pada tanggal 29 Sya'ban posisi hilal di wilayah Papua masih di bawah ufuk dan belum terjadi ijtimak sebelum matahari terbenam.

Satu jam kemudian pada saat matahari terbenam 29 Sya'ban di kawasan Jakarta hilal sudah di atas ufuk dan sudah terjadi ijtimak.

Dalam contoh ini, untuk kawasan Jakarta besoknya sudah masuk 1 Ramadhan, sedangkan di kawasan Papua belum karena belum memenuhi kriteria hisab wujudul hilal, sehingga terjadilah perbedaan dalam mengawali bulan Ramadhan antara Jakarta dan Papua, pada hal masih dalam satu negara.

Di Jakarta besoknya mulai berpuasa, sedangkan di Papua tertunda satu hari yaitu besok lusa.

Oleh karena itu, jangan dipaksakan Papua harus sama dengan Jakarta. Kalau di Jakarta besok mulai berpuasa, jangan dipaksakan Papua juga harus besok berpuasa.

Hal ini sebagaimana Hadits Rasulullah Saw: "Janganlah kalian berpuasa sebelum kelihatan hilal dan janganlah kalian berhari raya sebelum kelihatan hilal..." (HR Muslim).

Berdasarkan contoh di atas jangankan antar negara, antar provinsi dalam negara yang sama saja, bisa saja perbedaan itu terjadi walaupun sama-sama menggunakan hisab wujudul hilal, kecuali dipaksakan sama.

Demikian juga metode-metode yang lain. Dengan demikian, terbantahkanlah bila ada pernyataan "supaya seragam/sama dalam menetapkan 1 Ramadhan atau 1 Syawal, maka harus menggunakan metode hisab". Ini pernyataan yang keliru!!!

Untuk metode hisab saja bisa kemungkinan terjadi perbedaan, apalagi metode rukyatul hilal.

Dalam metode rukyatul hilal, perbedaan/ikhtilaf mathali' (tempat melihat hilal, tempat terbit bintang) bisa menyebabkan terjadinya perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan atau awal Syawal.

Misalnya, di wilayah Papua belum kelihatan hilal, di wilayah Aceh sudah kelihatan hilal, akibatnya terjadilah perbedaan dalam penetapan 1 Ramadhan atau 1 Syawal antara Papua dan Aceh.

Dalam kitab Al Fiqhu As Syafi'i Al Muyassar karya Syeikh Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili, disebutkan bahwa 1 mathali' tidak kurang dari 24 farsakh. 1 farsakh = 5.544 m. 24 farsakh = 24 x 5.544 m = 133.056 m atau 133 km.

Jadi, jarak minimal 133 km sudah dapat dikatakan 1 mathali' (berdasarkan yang disebutkan dalam kitab Al Fiqhu As Syafi'i Al Muyassar).

Namun, ada juga ulama menyebutkan perbedaan waktu satu jam sudah dapat dikatakan perbedaan mathali'. Ketika hilal terlihat di satu wilayah, maka penduduk yang mathali'nya sama dengan wilayah tersebut harus mengikutinya.

Perbedaan 1 Ramadhan dengan menggunakan metode rukyatul hilal juga pernah terjadi pada masa sahabat Rasulullah  Saw.

Imam Muslim meriwayatkan dari Kuraib, dia berkata: Aku telah melihat hilal di Syam. Begitu sampai di Madinah Ibnu Abbas bertanya, 'Kapan kamu melihat hilal?'

'Malam Jumat,' jawabku.

'Benar kamu telah melihatnya?

Ya! Orang-orang juga melihatnya dan telah berpuasa. Mu'awiyah juga berpuasa.'

'Tetapi kami melihatnya malam sabtu. Karena itu, kami terus berpuasa hingga bilangannya sempurna.'

'Aku bertanya, 'Bukankah rukyat yang dilakukan Mu'awiyah dan puasanya cukup menjadi acuan bagimu?'

Tidak. Demikianlah Rasulullah Saw memerintahkan kami".

Kuraib dalam riwayat tersebut adalah sahabat Ibnu Abbas. 

Berdasarkan riwayat Muslim dari Kuraib di atas, antara Syam dan Madinah tidak sama dalam memulai awal Ramadhan, walaupun agak dekat dan sama-sama nenggunakan rukyatul hilal.

Ibnu Abbas yang di Madinah tidak mengikuti rukyahnya Mu'awiyah di Syam, dan Ibnu Abbas berkata: Demikianlah Rasulullah Saw memerintahkan kami.

Jadi, tidak mesti mengawali Ramadhan atau Syawal itu harus sama karena Nabi Saw memerintahkan demikian. Bila dipaksakan sama, tentu bertentangan dengan perintah Rasulullah Saw.

Pertanyaan berikutnya, metode yang manakah yang digunakan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat beliau? Jawabannya adalah rukyatul hilal. Hal ini didasarkan pada beberapa hadits Rasulullah Saw:

صوموالرٶيته وافطروالرٶيته فإن غم عليکم فأکملوا عدةشعبان ثلاثين يوم

"Berpuasalah kalian karena telah melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) kalian karena telah melihat hilal. Maka jika ada yang menutupi/ menghalangi kalian melihat hilal (seperti awan tebal atau kabut atau mendung atau hujan lebat, dan sebagainya), maka cukupkanlah/genapkanlah/sempurnakanlah bilangan bulan sya'ban 30 hari" (HR Bukhari).

Hadits yang lain:

اذا را يتموه فصوموا واذا رايتموه فأفطروا فإن اغمي عليکم فعدوا ثلاثين

Apabila kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya (hilal) berbukalah (berhari rayalah). Maka jika ada yang menghalangi/menutupi kalian melihat hilal (seperti awan tebal atau kabut atau mendung atau hujan lebat, dan sebagainya), maka hitunglah/perkirakanlah 30" (HR Muslim).

Hadits yang lain:

لا تصوموا حتی ترواالهلال ولا تفطروا حتی تروه فإن غم غليکم فاقدروله

"Jangan kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan kalian berbuka (berhari raya) hingga kalian melihatnya (hilal). Maka jika ada yang menutupi/menghalangi kalian melihat hilal, maka cukupkanlah/ sempurnakanlah (bilangannya)" (HR Muslim).

Hadits-hadits tersebut di atas saling melengkapi dan tidak bersifat multi tafsir, dan oleh karena itu, dalam mazhab fiqih yang empat (Hanafi, Mailiki, Syafi'i, dan Hanbali) ittifaq (sama hasil ijtihad para imam fiqih yang empat) bahwa dalam penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal dengan menggunakan rukyatul hilal. 

Selain dari dalil di atas yaitu haditas-hadits Rasulullah Saw ditambah satu dalil lagi riwayat Imam Muslim dari Kuraib yang telah disebutkan di atas.

Metode rukyatul hilal inilah yang diperintahkan dan dipraktikkan oleh Rasululllah Saw dan terus berlanjut pada masa sahabat-sahabat beliau, masa tabi'in, masa tabi' tabi'in, dan imam fiqih yang empat (Hanafi, Mailiki, Syafi'i, dan Hanbali) ittifaq bahwa penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal dengan menggunakan rukyatul hilal.

Metode rukyatul hilal ini terus berlanjut sampai saat ini dan pemerintah Indonesia melalui kementerian agama RI juga masih terus menggunakan metode rukyatul hilal ini yang dibantu dengan metode hisab imkanurrukyah. 

Menurut Imam As-Subki, yang diikuti oleh ulama lainnya, bila rukyah sudah terjadi di wilayah timur.

Maka pasti rukyah juga terjadi di wilayah barat, bukan sebaliknya, sebab malam datang dari wilayah timur, bukan dari wilayah barat.

Dengan kata lain, bila rukyah telah terjadi di wilayah timur, maka seluruh wilayah barat terkena kewajiban melakukan sesuatu yang berkaitan dengan rukyah itu (berpuasa atau berhari raya), walaupun berbeda mathali'nya.

Sebagai contoh, bila di Papua telah kelihatan hilal, maka di wilayah Aceh dikenakan kewajiban mengikuti rukyah Papua, (walaupun Aceh dan Papua berbeda mathali'), tetapi tidak sebaliknya. 

Demikian, sekilas tentang metode-metode yang digunakan dalam penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal.

Dalam penulisan ini hanya dikemukakan tiga metode saja karena ke tiga metode tersebut digunakan oleh mayoritas umat Islam. (*)

Wallahu a'lam bis shawab.

*) PENULIS adalah Dosen Akuntansi Syariah pada FEB USK Banda Aceh

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DISINI

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved