KUPI BEUNGOH
Metode-Metode Dalam Penetapan Awal Ramadhan Dan Awal Syawal
Metode rukyatul hilal ini terus berlanjut sampai saat ini dan pemerintah Indonesia melalui kementerian agama RI juga masih terus menggunakannya.
Oleh: Dr. Muhammad Arfan, S.E., M.Si., Ak., CA
BEBERAPA metode yang umum digunakan dalam penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal, antara lain: 1. Hisab wujudul hilal, 2. Hisab imkanurrukyah, dan 3. Rukyatul hilal.
Hisab wujudul hilal
Hisab dalam penentuan awal bulan dalam kalender hijriyah adalah perhitungan matematis dan astronomis yang digunakan untuk memprediksi posisi hilal dan matahari.
Wujudul hilal artinya terbentuknya hilal. Hisab wujudul hilal bermakna perhitungan untuk menentukan posisi hilal dan matahari kapan hilal itu sudah wujud (terbentuk).
Kriteria hisab wujudul hilal (perhitungan hilal sudah wujud):
a. Sudah terjadi ijtimak (berkumpulnya bulan, matahari, dan bumi pada satu garis) sebelum matahari terbenam pada tanggal 29 bulan berjalan (29 Sya'ban untuk penetapan 1 Ramadhan atau 29 Ramadhan untuk penetapan 1 Syawal).
b. Pada saat matahari terbenam pada tanggal 29 tersebut, hilal di atas ufuk.
Bila dua kriteria di atas terpenuhi, maka hilal sudah terbentuk, dan besoknya masuk tanggal 1 bulan berikutnya (1 Ramadhan atau 1 Syawal).
Bila salah satu kriteria di atas tidak terpenuhi, maka bulan berjalan (bulan Sya'ban untuk penetapan 1 Ramadhan atau bulan Ramadhan untuk penetapan 1 Syawal) dicukupkan/digenapkan/disempurnakan bilangannya menjadi 30 hari,
dan tanggal 1 bulan berikutnya (1 Ramadhan atau 1 Syawal) tertunda 1 hari (1 Ramadhan atau 1 Syawal jatuh besok lusa).
Hisab imkanurrukyah
Imkanurrukyah artinya kemungkinan hilal dapat dilihat. Hisab imkanurrukyah adalah perhitungan matematis dan astronomis yang digunakan untuk memprediksi posisi hilal dan matahari kapan hilal itu kemungkinan dapat dilihat.
Kriteria hisab imkanurrukyah (hilal kemungkinan dapat dilihat) menurut MABIMS (Menteri/Majlis Agama Brunai Indonesia Malaysia Singapura):
a. Pada saat matahari terbenam pada tanggal 29 bulan berjalan (bulan Sya'ban untuk penetapan 1 Ramadhan atau bulan Ramadhan untuk penetapan 1 Syawal), ketinggian hilal minimal 3 derajat
b. Pada saat matahari terbenam pada tanggal 29 tersebut, elongasi (sudut jarak antara hilal dan matahari) minimal 6,4 derajat.
Bila dua kriteria tersebut di atas terpenuhi, maka besoknya ditetapkan tanggal 1 bulan berikutnya (1 Ramadhan atau 1 Syawal).
Bila salah satu kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka bulan sedang berjalan (bulan Sya'ban untuk menentukan 1 Ramadhan atau bulan Ramadhan untuk menentukan 1 Syawal) dicukupkan/digenapkan/disempurnakan bilangannya menjadi 30 hari,
sehingga tanggal 1 bulan berikutnya (1 Ramadhan atau 1 Syawal) tertunda satu hari (1 Ramadhan atau 1 Syawal jatuh besok lusa).
Rukyatul hilal
Rukyatul hilal artinya melihat hilal. Penentuan 1 Ramadhan atau 1 Syawal dalam metode ini dilakukan dengan melihat langsung hilal pada saat matahari terbenam pada tanggal 29 bulan berjalan (bulan Sya'ban untuk menentukan 1 Ramadhan atau bulan Ramadhan untuk menentukan 1 Syawal).
Bila hilal dapat dilihat pada saat pengamatan hilal, maka besoknya ditetapkan 1 Ramadhan atau 1 Syawal.
Namun, bila hilal tidak kelihatan atau tidak teramati pada saat pengamatan hilal, (misalnya disebabkan oleh mendung, awan tebal, kabut, hujan lebat, dsb), maka bulan berjalan (bulan Sya'ban untuk menentukan 1 Ramadhan atau bulan Ramadhan untuk menentukan 1 Syawal), dicukupkan/digenapkan/disempurnakan bilangannya menjadi 30 hari,
sehingga 1 Ramadhan atau 1 Syawal tertunda 1 hari (1 Ramadhan atau 1 Syawal jatuh besok lusa). Hal ini didasarkan pada (sesuai dengan) sabda Rasulullah Saw:
صوموالرٶيته وافطروالرٶيته فإن غم عليکم فأکملوا عدةشعبان ثلاثين يوم
"Berpuasalah kalian karena telah melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) kalian karena telah melihat hilal. Maka jika ada yang menghalangi kalian melihat hilal (seperti awan tebal atau kabut atau mendung atau hujan lebat, dan sebagainya), maka cukupkanlah/genapkanlah/sempurnakanlah bilangan bulan sya'ban 30 hari" (HR Bukhari).
Hadits yang lain:
اذا را يتموه فصوموا واذا رايتموه فأفطروا فإن اغمي عليکم فعدوا ثلاثين
Apabila kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya (hilal) berbukalah (berhari rayalah). Maka jika ada yang menghalangi/menutupi kalian melihat hilal (seperti awan tebal atau kabut atau mendung atau hujan lebat, dan sebagainya), maka hitunglah/perkirakanlah 30" (HR Muslim).
Hadits yang lain:
لا تصوموا حتی ترواالهلال ولا تفطروا حتی تروه فإن غم غليکم فاقدروله
"Jangan kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan kalian berbuka (berhari raya) hingga kalian melihatnya (hilal). Maka jika ada yang menutupi/menghalangi kalian melihat hilal, maka cukupkanlah/ sempurnakanlah (bilangannya)" (HR Muslim).
Namun, perlu dicatat bahwa rukyatul hilal tidak bisa berdiri sendiri tanpa dibantu oleh metode hisab.
Karena dalam penentuan tanggal 29 bulan berjalan, yaitu pada tanggal dilakukan pengamatan hilal harus dibantu dengan metode hisab.
Hal ini dilakukan supaya pada saat pengamatan hilal dilakukan pada tanggal yang tepat.
Selanjutnya, metode hisab yang digunakan untuk membantu para pemantau hilal dalam melakukan pemgamatan hilal adalah hisab imkanurrukyah.
Kenapa hisab ini yang digunakan? Karena hisab ini berhubungan dengan kemungkinan hilal dapat dilihat.
Hisab imkanurrukyah yaitu hisab yang dirancang benar-benar linier dengan rukyatul hilal, sehingga hisab tersebutlah yang cocok digunakan untuk membantu rukyatul hilal dalam penentuan tanggal kapan hilal itu semestinya dirukyat (dilihat/diamati).
Pertanyaan berikutnya: Adakah metode yang bila menggunakan metode tersebut, tidak terjadi perbedaan dalam penetapan 1 Ramadhan atau 1 Syawal?
Jawabannya, tidak ada satu pun metode yang bisa menjamin tidak terjadinya perbedaan.
Walaupun sama-sama menggunakan metode hisab, perbedaan memulai awal Ramadhan atau awal Syawal itu kemungkinan bisa saja terjadi, baik perbedaan itu terjadi antar wilayah maupun perbedaan itu terjadi dalam wilayah yang sama.
Contoh sama-sama menggunakan metode hisab, tetapi peluang perbedaan itu bisa saja terjadi.
Misalnya, dalam satu wilayah menggunakan metode hisab yang berbeda, yang satu kelompok menggunakan metode hisab wujudul hilal, sedangkan kelompok yang lain menggunakan metode hisab imkanurrukyah.
Bila dalam satu wilayah dimisalkan pada saat matahari terbenam pada tanggal 29 Sya'ban posisi ketinggian hilal 1 derajat, ijtimak sudah terjadi sebelum matahari terbenam, dan hilal di atas ufuk pada saat matahari terbenam, maka kelompok yang menggunakan hisab wujudul hilal besoknya ditetapkan 1 Ramadhan (karena sdh memenuhi kriteria),
sedangkan kelompok yang menggunakan metode hisab imkanurrukyah, karena belum memenuhi kriteria, bulan Sya'ban digenapkan/disempurnakan bilangannya menjadi 30 hari dan 1 Ramadhan jatuh besok lusa (tertunda 1 hari).
Kenapa demikian? Karena belum memenuhi kriteria dalam metode hisab imkanurrukyah.
Berdasarkan contoh tersebut, walaupun sama-sama menggunakan metode hisab, mungkin saja perbedaan awal Ramadhan atau Syawal itu bisa terjadi.
Contoh lain sama-sama menggunakan hisab wujudul hilal, bisakah kumugkinan terjadi perbedaan dalam memulai awal ramadhan atau awal syawal?
Jawabannya bisa saja perbedaan itu terjadi, walaupun sama-sama menggunakan hisab wujudul hilal.
Misalnya, di wilayah Indonesia posisi hilal masih di bawah ufuk dan belum terjadi ijtimak pada saat matahari terbenam pada tanggal 29 Sya,'ban, sehingga di Indonesia bulan Sya'ban disempurnakan bilangannya menjadi 30 hari dan 1 Ramadhan atau 1 Syawal tertunda satu hari (jatuh besok lusa).
Sementara 4 jam kemudian pada saat matahari terbenam di Arab Saudi, sudah terlebih dahulu terjadi ijtimak dan posisi hilal di atas ufuk, sehingga di Arab Saudi, 1 Ramadhan jatuh besoknya.
Terjadi perbedaan dalam mengawali bulan Ramadhan antara Indonesia dan Arab Saudi, walaupun sama-sama menggunakan hisab wujudul hilal.
Contoh lain, bahkan bisa terjadi dalam wilayah negara yang sama.
Misalnya, pada saat matahari terbenam pada tanggal 29 Sya'ban posisi hilal di wilayah Papua masih di bawah ufuk dan belum terjadi ijtimak sebelum matahari terbenam.
Satu jam kemudian pada saat matahari terbenam 29 Sya'ban di kawasan Jakarta hilal sudah di atas ufuk dan sudah terjadi ijtimak.
Dalam contoh ini, untuk kawasan Jakarta besoknya sudah masuk 1 Ramadhan, sedangkan di kawasan Papua belum karena belum memenuhi kriteria hisab wujudul hilal, sehingga terjadilah perbedaan dalam mengawali bulan Ramadhan antara Jakarta dan Papua, pada hal masih dalam satu negara.
Di Jakarta besoknya mulai berpuasa, sedangkan di Papua tertunda satu hari yaitu besok lusa.
Oleh karena itu, jangan dipaksakan Papua harus sama dengan Jakarta. Kalau di Jakarta besok mulai berpuasa, jangan dipaksakan Papua juga harus besok berpuasa.
Hal ini sebagaimana Hadits Rasulullah Saw: "Janganlah kalian berpuasa sebelum kelihatan hilal dan janganlah kalian berhari raya sebelum kelihatan hilal..." (HR Muslim).
Berdasarkan contoh di atas jangankan antar negara, antar provinsi dalam negara yang sama saja, bisa saja perbedaan itu terjadi walaupun sama-sama menggunakan hisab wujudul hilal, kecuali dipaksakan sama.
Demikian juga metode-metode yang lain. Dengan demikian, terbantahkanlah bila ada pernyataan "supaya seragam/sama dalam menetapkan 1 Ramadhan atau 1 Syawal, maka harus menggunakan metode hisab". Ini pernyataan yang keliru!!!
Untuk metode hisab saja bisa kemungkinan terjadi perbedaan, apalagi metode rukyatul hilal.
Dalam metode rukyatul hilal, perbedaan/ikhtilaf mathali' (tempat melihat hilal, tempat terbit bintang) bisa menyebabkan terjadinya perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan atau awal Syawal.
Misalnya, di wilayah Papua belum kelihatan hilal, di wilayah Aceh sudah kelihatan hilal, akibatnya terjadilah perbedaan dalam penetapan 1 Ramadhan atau 1 Syawal antara Papua dan Aceh.
Dalam kitab Al Fiqhu As Syafi'i Al Muyassar karya Syeikh Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili, disebutkan bahwa 1 mathali' tidak kurang dari 24 farsakh. 1 farsakh = 5.544 m. 24 farsakh = 24 x 5.544 m = 133.056 m atau 133 km.
Jadi, jarak minimal 133 km sudah dapat dikatakan 1 mathali' (berdasarkan yang disebutkan dalam kitab Al Fiqhu As Syafi'i Al Muyassar).
Namun, ada juga ulama menyebutkan perbedaan waktu satu jam sudah dapat dikatakan perbedaan mathali'. Ketika hilal terlihat di satu wilayah, maka penduduk yang mathali'nya sama dengan wilayah tersebut harus mengikutinya.
Perbedaan 1 Ramadhan dengan menggunakan metode rukyatul hilal juga pernah terjadi pada masa sahabat Rasulullah Saw.
Imam Muslim meriwayatkan dari Kuraib, dia berkata: Aku telah melihat hilal di Syam. Begitu sampai di Madinah Ibnu Abbas bertanya, 'Kapan kamu melihat hilal?'
'Malam Jumat,' jawabku.
'Benar kamu telah melihatnya?
Ya! Orang-orang juga melihatnya dan telah berpuasa. Mu'awiyah juga berpuasa.'
'Tetapi kami melihatnya malam sabtu. Karena itu, kami terus berpuasa hingga bilangannya sempurna.'
'Aku bertanya, 'Bukankah rukyat yang dilakukan Mu'awiyah dan puasanya cukup menjadi acuan bagimu?'
Tidak. Demikianlah Rasulullah Saw memerintahkan kami".
Kuraib dalam riwayat tersebut adalah sahabat Ibnu Abbas.
Berdasarkan riwayat Muslim dari Kuraib di atas, antara Syam dan Madinah tidak sama dalam memulai awal Ramadhan, walaupun agak dekat dan sama-sama nenggunakan rukyatul hilal.
Ibnu Abbas yang di Madinah tidak mengikuti rukyahnya Mu'awiyah di Syam, dan Ibnu Abbas berkata: Demikianlah Rasulullah Saw memerintahkan kami.
Jadi, tidak mesti mengawali Ramadhan atau Syawal itu harus sama karena Nabi Saw memerintahkan demikian. Bila dipaksakan sama, tentu bertentangan dengan perintah Rasulullah Saw.
Pertanyaan berikutnya, metode yang manakah yang digunakan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat beliau? Jawabannya adalah rukyatul hilal. Hal ini didasarkan pada beberapa hadits Rasulullah Saw:
صوموالرٶيته وافطروالرٶيته فإن غم عليکم فأکملوا عدةشعبان ثلاثين يوم
"Berpuasalah kalian karena telah melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) kalian karena telah melihat hilal. Maka jika ada yang menutupi/ menghalangi kalian melihat hilal (seperti awan tebal atau kabut atau mendung atau hujan lebat, dan sebagainya), maka cukupkanlah/genapkanlah/sempurnakanlah bilangan bulan sya'ban 30 hari" (HR Bukhari).
Hadits yang lain:
اذا را يتموه فصوموا واذا رايتموه فأفطروا فإن اغمي عليکم فعدوا ثلاثين
Apabila kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya (hilal) berbukalah (berhari rayalah). Maka jika ada yang menghalangi/menutupi kalian melihat hilal (seperti awan tebal atau kabut atau mendung atau hujan lebat, dan sebagainya), maka hitunglah/perkirakanlah 30" (HR Muslim).
Hadits yang lain:
لا تصوموا حتی ترواالهلال ولا تفطروا حتی تروه فإن غم غليکم فاقدروله
"Jangan kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan kalian berbuka (berhari raya) hingga kalian melihatnya (hilal). Maka jika ada yang menutupi/menghalangi kalian melihat hilal, maka cukupkanlah/ sempurnakanlah (bilangannya)" (HR Muslim).
Hadits-hadits tersebut di atas saling melengkapi dan tidak bersifat multi tafsir, dan oleh karena itu, dalam mazhab fiqih yang empat (Hanafi, Mailiki, Syafi'i, dan Hanbali) ittifaq (sama hasil ijtihad para imam fiqih yang empat) bahwa dalam penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal dengan menggunakan rukyatul hilal.
Selain dari dalil di atas yaitu haditas-hadits Rasulullah Saw ditambah satu dalil lagi riwayat Imam Muslim dari Kuraib yang telah disebutkan di atas.
Metode rukyatul hilal inilah yang diperintahkan dan dipraktikkan oleh Rasululllah Saw dan terus berlanjut pada masa sahabat-sahabat beliau, masa tabi'in, masa tabi' tabi'in, dan imam fiqih yang empat (Hanafi, Mailiki, Syafi'i, dan Hanbali) ittifaq bahwa penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal dengan menggunakan rukyatul hilal.
Metode rukyatul hilal ini terus berlanjut sampai saat ini dan pemerintah Indonesia melalui kementerian agama RI juga masih terus menggunakan metode rukyatul hilal ini yang dibantu dengan metode hisab imkanurrukyah.
Menurut Imam As-Subki, yang diikuti oleh ulama lainnya, bila rukyah sudah terjadi di wilayah timur.
Maka pasti rukyah juga terjadi di wilayah barat, bukan sebaliknya, sebab malam datang dari wilayah timur, bukan dari wilayah barat.
Dengan kata lain, bila rukyah telah terjadi di wilayah timur, maka seluruh wilayah barat terkena kewajiban melakukan sesuatu yang berkaitan dengan rukyah itu (berpuasa atau berhari raya), walaupun berbeda mathali'nya.
Sebagai contoh, bila di Papua telah kelihatan hilal, maka di wilayah Aceh dikenakan kewajiban mengikuti rukyah Papua, (walaupun Aceh dan Papua berbeda mathali'), tetapi tidak sebaliknya.
Demikian, sekilas tentang metode-metode yang digunakan dalam penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal.
Dalam penulisan ini hanya dikemukakan tiga metode saja karena ke tiga metode tersebut digunakan oleh mayoritas umat Islam. (*)
Wallahu a'lam bis shawab.
*) PENULIS adalah Dosen Akuntansi Syariah pada FEB USK Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DISINI
Mencermati Karya Bakti TNI di Masjid Indrapuri: Menyentuh Sejarah Aceh Sebelum Aceh |
![]() |
---|
Tanpa Badan Khusus, Perpanjangan Otsus Aceh Hanya Buang-Buang Dana |
![]() |
---|
Dilema Makan Bergizi Gratis |
![]() |
---|
Dari APBD ke Pasar Modal: Mengapa Pemerintah Daerah Harus Berani Menerbitkan Obligasi/Sukuk Daerah |
![]() |
---|
Serakahnomic: Teori Ditolak, Praktek Menjamur? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.