Ramadhan 2025
Hukum Wanita Pakai Lipstik Saat Berpuasa, Ini Penjelasan Ustadz Abdul Somad
Sebagian besar kaum hawa mungkin sempat bertanya-tanya bagaimanakah hukum memakai lipstik ketika puasa, apakah dapat membatalkan puasa?
Sebagian besar kaum hawa mungkin sempat bertanya-tanya bagaimanakah hukum memakai lipstik ketika puasa, apakah dapat membatalkan puasa?
SERAMBINEWS.COM - Dai kondang Tanah Air, Ustadz Abdul Somad atau UAS, mengatakan memakai lipstik saat puasa Ramadhan tidak membatalkan puasa karena hanya digunakan di bagian luar tubuh.
Namun, UAS mengingatkan agar tidak berlebihan dalam berdandan, sebab kecantikan sejati berasal dari inner beauty dan ibadah.
Sebagian besar kaum hawa mungkin sempat bertanya-tanya bagaimanakah hukum memakai lipstik ketika puasa, apakah dapat membatalkan puasa?
Tentunya, mereka juga ingin mengetahui jawaban dengan adanya penjelasan hukum Islamnya.
Berikut ini Serambinews.com rangkum penjelasan Ustadz Abdul Somad alias UAS saat menjawab pertanyaan dari salah seorang jamaah terkait hukum memakai lipstik saat puasa.
Tanya jawab itu terjadi dalam sebuah majelis pengajian yang direkam, kemudian videonya diunggah ke akun YouTube.
Baca juga: Sudah Witir Saat Tarawih, Jangan Dilakukan Lagi Usai Tahajud di Rumah, UAS: Tak Boleh Ada Dua Witir
Seorang peserta pengajian bertanya apakah hukum seorang perempuan memakai lipstik saat berpuasa? apakah puasanya batal?
Sebagaimana diketahui, selama ini di masyarakat banyak sekali beredar informasi ketika perempuan memakai lipstik, puasanya dianggap tidak sah.
"Pak Ustaz, apakah hukumnya kalau puasa perempuan pakai lipstik? Apakah ibadah puasanya sah?," demikian pertanyaan salah seorang jemaah kepada Ustaz Abdul Somad, dikutip Serambinews.com dari kanal YouTube Okta Nur Amalaia, Selasa (28/3/2023).
Dalam jawabannya, pendakwah kondang ini menjelaskan jika penggunaan lipstik pada perempuan tidak dapat membatalkan ibadah puasa seseorang.
Lanjutnya, sesuatu yang digunakan di bagian luar tubuh tidak dapat membatalakan ibadah puasa, terutama di bagian bibir seperti penggunaan lipstik.
"Lipstik tak membatalkan puasa kecuali pakai lipstik sambil minum es teh, karena lipstik itu dliluar," ungkap UAS disambut tawa hangat oleh jamaah.
Baca juga: Imam Sudah Baca Al-Fatihah dalam Shalat, Haruskah Makmum Membacanya Lagi? Berikut Penjelasan UAS
Menurut pendakwah jebolan Universitas Al Azhar ini, di dalam mazhab Hambali, hal-hal yang berhubungan dengan di luar tubuh tidaklah batal.
"Dalam Mazhab Hambali, jangankan di luar, ujung lidah yang mencicip gula tidak batal. Tapi mencicip sekali jangan setengah mangkuk," lanjut Ustaz asal Riau.
Jangan Berlebihan Soal Riasan Wajah
Hanya saja, di akhir ceramahnya, pengkhotbah asal Asahan, Sumatera Utara ini mengingatkan kaum hawa untuk tidak terlalu berlebih-lebihan saat menggunakan riasan wajah terutama lipstik.
"Cuma masalah lipstik ini, jangan pakai make-up, lipstik merah, bedak muka putih tangan hitam," imbuhnya.
Tegas UAS, seorang wanita sudah cantik tanpa menggunakan riasan wajah secara berlebihan.
Adapun kecantikan itu berasal dari dalam diri seorang perempuan yang biasa disebut sebagai inner beauty.
Inner beauty pada diri seorang perempuan akan terpancarkan jika ia memenuhi ibadah sunnah seperti sholat tahajud.
"Janga pakai make-up, cantik itu di inner beauty dari tahajudmu. Kalau orang sudah terbiasa pakai make-up, ketika dia tidak pakai make-up, dia tidak percaya diri, dia tidak berani menghadapi orang nantinya," tutup Ustadz Abdul Somad di akhir ceramahnya.
Baca juga: Dikaitkan Akhir Zaman Usai Lavender Mekar di Gurun Arab Saudi, Begini Kata UAS Soal 5 Tanda Kiamat
Wanita Dibolehkan tidak Puasa Jika Alami 4 Hal Ini saat Ramadhan, Begini Penjelasan Buya Yahya
Menjalankan ibadah puasa saat bulan Ramadhan adalah sebuah kewajiban bagi umat Muslim yang sudah baligh.
Namun, ada beberapa kelompok yang mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa. Salah satunya bagi wanita.
Menurut pendakwah ternama asal Cirebon, Buya Yahya, wanita diperbolehkan tidak puasa di bulan Ramadhan jika mengalami empat hal berikut ini, apa saja?
Puasa adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh umat Islam selama bulan Ramadhan.
Semua orang yang berada dalam keadaan fisik dan mental wajib menjalaninya.
Namun, ada beberapa ketentuan yang memperbolehkan seorang muslim melewatkan puasa, terutama seorang wanita jika mengalami empat hal berikut ini.
Meskipun mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa, orang-orang ini harus menggantinya di hari lain saat sudah tidak memiliki halangan atau membayar fidiah.
Membayar fidiah dilakukan dengan mengganti satu hari puasa dengan memberi makan satu orang miskin.
Dikutip Serambinews.com dari laman resmi buyayahya.org, Senin (27/3/2023), Buya Yahya mengungkap sembilan golongan orang yang boleh tidak puasa Ramadhan.
Diantara kesembilan golongan tersebut, empat diantaranya adalah larangan atau keringanan anjuran tidak puasa bagi wanita.
Jika wanita mengalami hal berikut ini selama Ramadhan, maka ia diperbolehkan tidak puasa.
1. Hamil
Orang hamil diperbolehkan tidak ber puasa.
Adapun kategori orang hamil tersebut seperti orang hamil yang khawatir akan kondisi dirinya atau janin (bayinya).
2. Menyusui
Wanita yang tengah menyusui diperbolehkan tidak ber puasa apabila ia khawatir akan kondisi dirinya atau kondisi bayi yang masih di bawah umur dua tahun Hijriyah.
Bayi di sini tidak harus bayinya sendiri, tetapi bisa juga bayi orang lain.
3. Haid
Wanita yang sedang haid tidak wajib berpuasa, bahkan jika ber puasa, puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.
4. Nifas
Terakhir adalah wanita yang sedang nifas tidak wajib ber puasa.
Jika ber puasa puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.
Sementara itu sambung Buya Yahya, adapun golongan lainnya yang diperbolehkan tidak berpuasa yakni :
5. Anak kecil
Maksudnya, diantara orang yang boleh tidak puasa adalah anak yang belum baligh. Tanda baligh ada tiga, yaitu:
Pertama yang keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun Hijriah.
Kedua, keluar darah haid pada usia 9 tahun Hijriah (bagi anak perempuan).
Ketiga, jika tidak keluar mani dan tidak haid maka ditunggu hingga umur 15 tahun.
Jika sudah genap 15 tahun maka ia disebut dengan telah baligh dengan usia, yaitu genap usia 15 tahun Hijriyah.
6. Gila
Orang gila tidak wajib puasa. Seandainya puasa maka puasanya pun tidak sah.
Dalam hal ini, ulama membagi orang gila menjadi dua macam, yaitu:
Pertama, orang gila dengan disengaja.
Orang gila yang disengaja jika puasa maka puasanya tidak sah dan wajib mengqadha.
Sebab sebenarnya ia wajib puasa, kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya gila. Kesengajaan inilah yang membuatnya wajib mengqadha puasanya setelah sehat akalnya.
Kedua, orang gila yang tidak disengaja. Orang gila yang tidak disengaja tidak wajib ber puasa.
Seandainya berpuasa maka puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak berkewajiban mengqadha, karena gilanya bukan disengaja.
7. Sakit
Orang sakit boleh meninggalkan puasa.
Adapun ketentuan bagi orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah:
Sakit parah yang memberatkan untuk puasa yang berakibat semakin parahnya penyakit atau lambatnya kesembuhan.
Adapun yang bisa menentukan sakit seperti ini adalah dokter Muslim yang terpercaya dan berdasarakan pengalamannya sendiri.
Dalam hal ini, tidak terbatas kepada orang sakit saja.
Akan tetapi, siapa pun yang sedang puasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk puasa dengan kondisi yang membahayakan terhadap dirinya maka saat itu pun dia boleh membatalkan puasanya.
Akan tetapi, ia hanya boleh makan dan minum seperlunya, kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang puasa.
Berbeda dengan orang sakit, ia boleh berbuka dan boleh makan sepuasnya untuk memulihkan kesehatannya.
8. Orang Tua
Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan puasa diperkenankan untuk meninggalkan puasa.
Dalam hal ini, tidak ada batasan umur.
Akan tetapi, asalkan betul-betul puasa memberatkan baginya hingga sampai membahayakan maka ia boleh berbuka puasa.
9. Bepergian (Musafir)
Semua orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa dengan ketentuan sebagai berikut ini:
Tempat yang dituju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.
Di pagi (saat Shubuh) hari yang ia ingin tidak ber puasa, ia harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan).
Misalnya kata Buya Yahya :
Seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Jarak antara Cirebon – Semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km).
Ia meninggalkan Cirebon pukul 2 malam (Sabtu dini hari). Shubuh hari itu adalah pukul 4 pagi. Pada pukul 4 pagi (saat Shubuh) ia sudah keluar dari Cirebon dan masuk Brebes.
Maka, di pagi hari Sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa.
Berbeda jika berangkatnya ke Semarang setelah masuk waktu Shubuh, Sabtu pagi setelah masuk waktu Shubuh masih di Cirebon.
Maka, di pagi hari itu ia tidak boleh meninggalkan puasa karena sudah masuk Shubuh ia masih ada di rumah.
Akan tetapi ia boleh meninggalkan puasa di hari Ahadnya, karena di Shubuh hari Ahad ia berada di luar wilayahnya.
Ada beberapa catatan khusus bagi yang melakukan berpergian saat puasa.
Seseorang dalam bepergian akan dihukumi mukim (bukan musafir lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari.
Misalnya, orang yang pergi ke Semarang yang tersebut dalam contoh, saat ia sampai di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di Semarang juga tetap boleh berbuka, asalkan ia tidak bermaksud tinggal di Semarang lebih dari 4 hari.
Jika ia berniat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari maka semenjak ia sampai di Semarang, ia sudah disebut mukim dan tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh mengqashar shalat.
Untuk dihukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari seperti kesalahpahaman yang terjadi pada sebagian orang.
Akan tetapi, kapan ia sampai tempat tujuan yang ia niat akan tinggal lebih dari 4 hari, ia sudah disebut mukim.
Yang dihitung empat hari di sini adalah empat hari utuh, tidak dihitung hari masuk dan hari keluar, misal hari rabu siang dia sudah sampai di Semarang maka boleh dihitung hari pertama adalah malam Kamis, hari kedua adalah malam Jumat, hari ketiga adalah malam Sabtu, hari keempat adalah malam Ahad, dan dia keluar hari Senin maka hari Rabu saat ia datang dan hari Senin saat dia keluar tidak dihitung.
Begitu juga jika ada orang datang hari Sabtu siang, kemudian keluar hari Sabtu siang pekan berikutnya maka dua hari Sabtu tersebut tidak dianggap, sebab itu adalah hari keluar dan hari masuk yang tidak dihitung.
(Serambinews.com/Firdha Ustin)
puasa
Ramadhan
UAS
Ustaz Abdul Somad
Lipstik
wanita
hukum Wanita Pakai Lipstik saat puasa
Serambi Indonesia
Serambinews.com
berita serambi
Riasan Wajah
Ramadhan 2025
Mengenal Fidyah Puasa: Cara Membayar, Jumlah yang Harus Dibayar, dan Niatnya di Bulan Ramadhan |
![]() |
---|
Ini Beras Dianjurkan untuk Bayar Zakat Fitrah, Begini Pendapat Ulama soal Waktu & Tempat Pembayaran |
![]() |
---|
Keutamaan Shalat Tarawih Malam ke-30 Ramadhan: Allah SWT Balas dengan Kenikmatan Surgawi |
![]() |
---|
Buya Yahya Sebut Amalan Dahsyat Saat Ramadhan, Kerap Diabai, Padahal Kunci Agar Ibadah Tak Sia-sia |
![]() |
---|
Begini Penjelasan Ustadz Abdul Somad soal Hukum Zakat Fitrah Bagi yang Tidak Mampu |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.