Jurnalisme Warga

Sisi yang Kerap Terlupakan dalam Menjaga Kesucian Ramadhan

Ada sisi yang luput dari perhatian  kita. Sepele sih, tapi justru menjadi sangat krusial. Persoalan yang sering terabaikan tersebut adalah sampah.

Editor: mufti
IST
DEWI SOFIANA, S.P., guru, berdomisli di Bireuen, melaporkan dari Bireuen  

Terkait persoalan sampah, kita lantas   menempatkan  dinas kebersihan selaku badan pemerintah yang  mengurusi sampah dan lingkungan, sebagai pihak yang paling  bertanggung jawab. Dengan mudah kita menghakimi pemerintah,  karena dianggap abai dalam menjalankan tugas. Atau boleh jadi, kita akan langsung menuding dinas kebersihan tidak becus dalam bekerja.  Lebih parah lagi memberi stigma kepada petugas sebagai pemakan gaji buta. Kebersihan lingkungan publik sering dianggap hanya menjadi  tanggung jawab petugas kebersihan. Anggapan ini membuat  seseorang merasa ringan untuk  “menitipkan” sampahnya secara sembarangan. Harapannya, nanti akan datang petugas yang  mengambil dan  membersihkan.

Di sini saya tidak  bermaksud menihilkan fungsi dinas kebersihan sebagai tangan  pemerintah yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mengelola dan mengurusi sampah. Meskipun pemerintah punya tugas dan tanggung jawab dalam mewujudkan tata kelola lingkungan yang bersih dan sehat, akan tetapi rasanya tidak bijak apabila menyerahkan tanggung jawab tersebut hanya kepada pihak pemerintah semata. Pada dasarnya kebersihan lingkungan merupakan  tanggung jawab bersama. Kebersihan lingkungan tak bisa benar-benar  terwujud kalau hanya mengandalkan peran  pemerintah, sedangkan kesadaran dan budaya hidup bersih belum dimiliki oleh penghuninya.  Percuma saja setiap upaya kebersihan yang dilakukan oleh petugas kebersihan atau sukarelawan kebersihan lainnya jika akan terus terjadi perulangan  perbuatan yang sama. Selama budaya hidup bersih belum dimiliki dan mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat, selama itu pulalah kondisi lingkungan yang bersih, indah  dan nyaman akan sulit terwujud.

Sebagai seorang muslim yang meyakini bahwa kebersihan itu merupakan  sebagian dari  iman, sudah sepatutnya kita harus memiliki pengetahuan dan kesadaran  tentang hidup bersih  layaknya orang beriman.   Sedemikian pentingnya kebersihan dalam hidup,  hingga Islam mengumpamakan demikian.  Kebersihan dan kesucian adalah bagian paling mendasar dalam agama samawi yang kita anut ini.

Selain perihal sampah di atas, ada fenomena lain yang membuat saya juga tergelitik menyajikan tulisan ini untuk kita kaji bersama. Salah satu sisi lain yang tanpa kita sadari ikut menodai kesucian Ramadhan adalah hal kemubaziran. Empat belas jam menahan lapar dan haus kerap membuat banyak orang merasa lapar mata saat berbuka. Tak sedikit orang yang kalap untuk membeli berbagai makanan dan minuman karena dorongan nafsu “berbuka”. Momen berbuka puasa pun terkadang dijadikan ajang "balas dendam" setelah seharian menahan diri. Tanpa disadari kebiasaan membeli makanan berbuka yang berlebihan  membawa akibat buruk. Betapa tidak, aneka penganan yang dibeli bukan karena kebutuhan konsumsi yang sewajarnya  tersebut, telah  menyisakan kemubaziran yang besar. Akhirnya, banyak makanan dan minuman yang kemudian dibuang begitu saja.

Mari sejenak kita bermain matematika. Bayangkan jika misalnya  satu orang  membuang 500 gram menu berlebih saat berbuka, tinggal kalkulasikan  saja dengan kaum muslim yang berpuasa di Indonesia. Hasilnya akan mencengangkan bukan? Ratusan ribu ton sisa makanan dihasilkan setiap hari selama bulan Ramadhan.

Belum lagi jika dihitung untuk muslim di seluruh belahan dunia. Makanan yang terbuang percuma tersebut secara akumulatif akan  menimbulkan kemubaziran pangan, selain  persoalan  sampah. Ironisnya, perbuatan membuang-buang makanan itu  sering dianggap hal yang lumrah.  Padahal, Islam sendiri sangat melarang perbuatan mubazir. Allah membenci hamba-Nya yang melakukan perbuatan buruk tersebut,  karena mubazir itu  merupakan perbuatan setan. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Isra’ ayat 26-27, yang artnya “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur- hamburkan (hartamu) secara boros.”

Fenomena kemubaziran yang menyedihkan tersebut  boleh dikata menjadi bukti jika proses penyucian diri selama menjalankan ibadah puasa ternyata masih sebatas menahan diri dari  makan dan minum semata. Ibadah puasa dan amal kebaikan lainnya dilakukan demi meraup pahala sebesar-besarnya. Akan tetapi, masih ada yang terlupakan. Hendaknya, bulan Ramadhan juga dapat dijadikan  momentum untuk meningkatkan kesadaran diri dalam bertindak, termasuk dalam hal konsumsi dan menjaga lingkungan.

Tradisi bukber

Hal identik lainnya di bulan Ramadhan adalah bukber alias buka puasa bersama. Dalam tradisi Islam, momen buka puasa bersama  menjadi sebuah kebiasaan  yang terus dipertahankan dari masa ke masa, tak terkecuali kaum muslim di Nusantara.  Salah satunya adalah acara buka puasa bersama yang dilakukan di tempat ibadah seperti mesjid dan meunasah. Melalui  momen buka bersama ini kita dapat berbagi rezeki sekaligus memperkuat ukhuwah persaudaraan sesama muslim. Islam sendiri menganjurkan tradisi baik ini.  Acara bukber akan dilanjutkan dengan shalat Isya dan Tarawih bersama, hingga mendengar tausiah Ramadhan. Melihat kebaikan dan berkah  dari tradisi ini, pastinya tak ada alasan untuk menyalahkan tradisi baik tersebut.

Namun, di balik kebaikan dan berkah yang didatangkannya, acara buka puasa bersama itu  kerap  menyisakan problema lain yang meresahkan. Setelah berbuka, kerap muncul sampah berserakan dan sisa makanan yang bertebaran. Sampah ditinggalkan begitu saja, tak peduli di lingkungan masjid sekalipun. Ada yang lepas tangan, menganggap tugas bersih-bersih hanya menjadi tanggung jawab panitia saja. Tak mengherankan, jika selepas kegiatan berbuka, terlihat bekas botol    air kemasan, kotak bungkusan makanan dan sisa makanan atau jenis sampah lainnya tercampak begitu saja di areal masjid. Padahal, tempat-tempat sampah telah  disediakan. Akibat kurangnya kepedulian dan  rasa tanggung jawab, alhasil pada bulan Ramadhan lingkungan masjid  menjadi lebih kotor dibandingkan hari biasa.

Produksi sampah yang terus melonjak karena kegiatan rutin buka puasa bersama menjadi persoalan baru bagi masjid di bulan Ramadhan.  Sedihnya lagi, tidak semua pengurus masjid cukup bijak dalam mengelola masalah sampah ini. Sebagian pengurus masjid  cenderung ringan dalam melihat persoalan ini, sehingga  pemandangan sampah menumpuk di lingkup halaman masjid jadi pemandangan baru selama bulan suci Ramadhan. Masjid sebagai tempat ibadah yang seharusnya terjaga kebersihan, kesucian dan keindahannya, malah ternodai oleh perilaku dan akhlak kaum muslim sendiri.

Disayangkan pula, tema tentang kebersihan dan ketertiban lingkungan justru  jarang menjadi bahan ceramah para  mubalig selama Ramadhan. Tema kebersihan lingkungan ini cenderung  kurang dilirik  dibandingkan hukum fikih lainnya. Seakan tak ada hubungan antara ibadah puasa dengan peningkatan budaya dan disiplin hidup bersih.

Sejatinya, Ramadhan adalah bulan kebersihan dan kesucian. Seorang muslim tak hanya dituntut melakukan  penyucian jiwa, melainkan harus  dibarengi pula  dengan kesadaran budaya bersih diri dan lingkungan.  Rasulullah mengajak umatnya untuk hidup bersih. Baginda Rasul  bersabda, "Sesungguhnya Allah itu baik, Dia menyukai kebaikan. Allah itu bersih, Dia menyukai kebersihan. Allah itu mulia, Dia menyukai kemuliaan, maka bersihkanlah olehmu lingkunganmu.” (HR. Tirmizi).

Tentu kita tidak mau menjadi  muslim yang  ikut menodai kesucian Ramadhan  bukan? Mari terus berproses menjadi muslim yang lebih baik.

Semoga Ramadhan tahun ini menjadi momentum terbaik untuk berbenah dalam segala hal, tak terkecuali dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungan. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved