Jurnalisme Warga
Sisi yang Kerap Terlupakan dalam Menjaga Kesucian Ramadhan
Ada sisi yang luput dari perhatian kita. Sepele sih, tapi justru menjadi sangat krusial. Persoalan yang sering terabaikan tersebut adalah sampah.
Terkait persoalan sampah, kita lantas menempatkan dinas kebersihan selaku badan pemerintah yang mengurusi sampah dan lingkungan, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Dengan mudah kita menghakimi pemerintah, karena dianggap abai dalam menjalankan tugas. Atau boleh jadi, kita akan langsung menuding dinas kebersihan tidak becus dalam bekerja. Lebih parah lagi memberi stigma kepada petugas sebagai pemakan gaji buta. Kebersihan lingkungan publik sering dianggap hanya menjadi tanggung jawab petugas kebersihan. Anggapan ini membuat seseorang merasa ringan untuk “menitipkan” sampahnya secara sembarangan. Harapannya, nanti akan datang petugas yang mengambil dan membersihkan.
Di sini saya tidak bermaksud menihilkan fungsi dinas kebersihan sebagai tangan pemerintah yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mengelola dan mengurusi sampah. Meskipun pemerintah punya tugas dan tanggung jawab dalam mewujudkan tata kelola lingkungan yang bersih dan sehat, akan tetapi rasanya tidak bijak apabila menyerahkan tanggung jawab tersebut hanya kepada pihak pemerintah semata. Pada dasarnya kebersihan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama. Kebersihan lingkungan tak bisa benar-benar terwujud kalau hanya mengandalkan peran pemerintah, sedangkan kesadaran dan budaya hidup bersih belum dimiliki oleh penghuninya. Percuma saja setiap upaya kebersihan yang dilakukan oleh petugas kebersihan atau sukarelawan kebersihan lainnya jika akan terus terjadi perulangan perbuatan yang sama. Selama budaya hidup bersih belum dimiliki dan mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat, selama itu pulalah kondisi lingkungan yang bersih, indah dan nyaman akan sulit terwujud.
Sebagai seorang muslim yang meyakini bahwa kebersihan itu merupakan sebagian dari iman, sudah sepatutnya kita harus memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang hidup bersih layaknya orang beriman. Sedemikian pentingnya kebersihan dalam hidup, hingga Islam mengumpamakan demikian. Kebersihan dan kesucian adalah bagian paling mendasar dalam agama samawi yang kita anut ini.
Selain perihal sampah di atas, ada fenomena lain yang membuat saya juga tergelitik menyajikan tulisan ini untuk kita kaji bersama. Salah satu sisi lain yang tanpa kita sadari ikut menodai kesucian Ramadhan adalah hal kemubaziran. Empat belas jam menahan lapar dan haus kerap membuat banyak orang merasa lapar mata saat berbuka. Tak sedikit orang yang kalap untuk membeli berbagai makanan dan minuman karena dorongan nafsu “berbuka”. Momen berbuka puasa pun terkadang dijadikan ajang "balas dendam" setelah seharian menahan diri. Tanpa disadari kebiasaan membeli makanan berbuka yang berlebihan membawa akibat buruk. Betapa tidak, aneka penganan yang dibeli bukan karena kebutuhan konsumsi yang sewajarnya tersebut, telah menyisakan kemubaziran yang besar. Akhirnya, banyak makanan dan minuman yang kemudian dibuang begitu saja.
Mari sejenak kita bermain matematika. Bayangkan jika misalnya satu orang membuang 500 gram menu berlebih saat berbuka, tinggal kalkulasikan saja dengan kaum muslim yang berpuasa di Indonesia. Hasilnya akan mencengangkan bukan? Ratusan ribu ton sisa makanan dihasilkan setiap hari selama bulan Ramadhan.
Belum lagi jika dihitung untuk muslim di seluruh belahan dunia. Makanan yang terbuang percuma tersebut secara akumulatif akan menimbulkan kemubaziran pangan, selain persoalan sampah. Ironisnya, perbuatan membuang-buang makanan itu sering dianggap hal yang lumrah. Padahal, Islam sendiri sangat melarang perbuatan mubazir. Allah membenci hamba-Nya yang melakukan perbuatan buruk tersebut, karena mubazir itu merupakan perbuatan setan. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Isra’ ayat 26-27, yang artnya “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur- hamburkan (hartamu) secara boros.”
Fenomena kemubaziran yang menyedihkan tersebut boleh dikata menjadi bukti jika proses penyucian diri selama menjalankan ibadah puasa ternyata masih sebatas menahan diri dari makan dan minum semata. Ibadah puasa dan amal kebaikan lainnya dilakukan demi meraup pahala sebesar-besarnya. Akan tetapi, masih ada yang terlupakan. Hendaknya, bulan Ramadhan juga dapat dijadikan momentum untuk meningkatkan kesadaran diri dalam bertindak, termasuk dalam hal konsumsi dan menjaga lingkungan.
Tradisi bukber
Hal identik lainnya di bulan Ramadhan adalah bukber alias buka puasa bersama. Dalam tradisi Islam, momen buka puasa bersama menjadi sebuah kebiasaan yang terus dipertahankan dari masa ke masa, tak terkecuali kaum muslim di Nusantara. Salah satunya adalah acara buka puasa bersama yang dilakukan di tempat ibadah seperti mesjid dan meunasah. Melalui momen buka bersama ini kita dapat berbagi rezeki sekaligus memperkuat ukhuwah persaudaraan sesama muslim. Islam sendiri menganjurkan tradisi baik ini. Acara bukber akan dilanjutkan dengan shalat Isya dan Tarawih bersama, hingga mendengar tausiah Ramadhan. Melihat kebaikan dan berkah dari tradisi ini, pastinya tak ada alasan untuk menyalahkan tradisi baik tersebut.
Namun, di balik kebaikan dan berkah yang didatangkannya, acara buka puasa bersama itu kerap menyisakan problema lain yang meresahkan. Setelah berbuka, kerap muncul sampah berserakan dan sisa makanan yang bertebaran. Sampah ditinggalkan begitu saja, tak peduli di lingkungan masjid sekalipun. Ada yang lepas tangan, menganggap tugas bersih-bersih hanya menjadi tanggung jawab panitia saja. Tak mengherankan, jika selepas kegiatan berbuka, terlihat bekas botol air kemasan, kotak bungkusan makanan dan sisa makanan atau jenis sampah lainnya tercampak begitu saja di areal masjid. Padahal, tempat-tempat sampah telah disediakan. Akibat kurangnya kepedulian dan rasa tanggung jawab, alhasil pada bulan Ramadhan lingkungan masjid menjadi lebih kotor dibandingkan hari biasa.
Produksi sampah yang terus melonjak karena kegiatan rutin buka puasa bersama menjadi persoalan baru bagi masjid di bulan Ramadhan. Sedihnya lagi, tidak semua pengurus masjid cukup bijak dalam mengelola masalah sampah ini. Sebagian pengurus masjid cenderung ringan dalam melihat persoalan ini, sehingga pemandangan sampah menumpuk di lingkup halaman masjid jadi pemandangan baru selama bulan suci Ramadhan. Masjid sebagai tempat ibadah yang seharusnya terjaga kebersihan, kesucian dan keindahannya, malah ternodai oleh perilaku dan akhlak kaum muslim sendiri.
Disayangkan pula, tema tentang kebersihan dan ketertiban lingkungan justru jarang menjadi bahan ceramah para mubalig selama Ramadhan. Tema kebersihan lingkungan ini cenderung kurang dilirik dibandingkan hukum fikih lainnya. Seakan tak ada hubungan antara ibadah puasa dengan peningkatan budaya dan disiplin hidup bersih.
Sejatinya, Ramadhan adalah bulan kebersihan dan kesucian. Seorang muslim tak hanya dituntut melakukan penyucian jiwa, melainkan harus dibarengi pula dengan kesadaran budaya bersih diri dan lingkungan. Rasulullah mengajak umatnya untuk hidup bersih. Baginda Rasul bersabda, "Sesungguhnya Allah itu baik, Dia menyukai kebaikan. Allah itu bersih, Dia menyukai kebersihan. Allah itu mulia, Dia menyukai kemuliaan, maka bersihkanlah olehmu lingkunganmu.” (HR. Tirmizi).
Tentu kita tidak mau menjadi muslim yang ikut menodai kesucian Ramadhan bukan? Mari terus berproses menjadi muslim yang lebih baik.
Semoga Ramadhan tahun ini menjadi momentum terbaik untuk berbenah dalam segala hal, tak terkecuali dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungan. (*)
Bu Nur, Sosok Guru Panutan SMAN 1 Baitussalam yang Purna Tugas Setelah 36 tahun Mengabdi |
![]() |
---|
Melirik Potensi Ekowisata di Samar Kilang |
![]() |
---|
Membangun Potensi Lokal: Menulis dari Gampong untuk Dunia |
![]() |
---|
Mengatasi Luka Pengasuhan: Menemukan Kesembuhan Melalui Kekuatan Pemaafan |
![]() |
---|
Jejak Leluhur Dalam DNA: Sebait Puisi Genetik dari Masa Silam |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.