Ekonomi Global

Resesi di Depan Mata? Dolar Terkapar, Emas Bersinar Terang, Obligasi Dijual Massal!

"Jelas ada eksodus dari aset-aset AS. Pasar mata uang dan obligasi yang jatuh bukanlah pertanda baik," kata Kyle Rodda, analis pasar keuangan senior

Penulis: Sri Anggun Oktaviana | Editor: Amirullah
ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/tom/am
Pekerja melihat gawainya di dekat layar digital yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (28/6/2024). Pasar keuangan global mengalami tekanan hebat pada hari Jumat (11/4/2025) setelah aksi jual besar-besaran melanda saham, obligasi, dan dolar AS. 

SERAMBINEWS.COM-Pasar keuangan global mengalami tekanan hebat pada hari Jumat (11/4/2025) setelah aksi jual besar-besaran melanda saham, obligasi, dan dolar AS.

Kekhawatiran akan resesi global yang dalam muncul akibat meningkatnya ketegangan perang dagang dan penurunan kepercayaan terhadap aset-aset Amerika Serikat.

Saham-saham di berbagai negara turun tajam, sementara para investor bergegas mencari aset yang dianggap aman, seperti emas dan mata uang Swiss franc.

Emas bahkan mencatat rekor harga tertinggi sepanjang masa, dan franc Swiss melonjak ke level tertinggi dalam sepuluh tahun terhadap dolar AS.

Aksi Jual Obligasi AS dan Imbal Hasil Naik Tajam

Obligasi pemerintah AS mengalami tekanan hebat.

Dilansir dari kantor berita Reuters (11/4/2025), imbal hasil (yield) obligasi bertenor 10 tahun naik menjadi 4,475 persen, mencatat lonjakan lebih dari 40 basis poin hanya dalam satu minggu.

 Ini adalah kenaikan mingguan terbesar sejak tahun 2001, menurut data dari LSEG.

Imbal hasil obligasi 30 tahun juga melonjak hingga mencapai 4,90 persen, mendekati kenaikan mingguan tertinggi sejak tahun 1982.

Aksi jual ini menunjukkan bahwa para investor mulai kehilangan kepercayaan terhadap kekuatan ekonomi AS.

"Jelas ada eksodus dari aset-aset AS. Pasar mata uang dan obligasi yang jatuh bukanlah pertanda baik," kata Kyle Rodda, analis pasar keuangan senior di Capital.com.

"Ini lebih dari sekadar kekhawatiran perlambatan pertumbuhan dan ketidakpastian perdagangan."

Baca juga: Perang Dagang Memanas, Harga Emas Semakin Bersinar! Trump vs China Buat Pasar Global Panas Dingin


Saham Asia dan Wall Street Ikut Terguncang

Di kawasan Asia, pasar saham juga dibuka dengan kinerja buruk.

Indeks Nikkei Jepang anjlok 4,5 persen, sementara indeks saham Korea Selatan turun 1,7 persen.

 Indeks MSCI untuk saham Asia Pasifik di luar Jepang juga turun 0,5 persen.

Kontrak berjangka untuk indeks S&P 500 dan Nasdaq di Amerika Serikat masing-masing turun sekitar 1 persen, menandakan bahwa pasar Wall Street mungkin akan melanjutkan pelemahan.

"Prospek jangka pendek untuk aset berisiko global masih belum pasti, mengingat kekhawatiran akan pertumbuhan, inflasi, dan perkembangan cepat di bidang perdagangan serta tarif," ujar Vasu Menon, Direktur Pelaksana Strategi Investasi di OCBC Bank Singapura.

Perang Dagang Tiongkok-AS Memanas

Kekhawatiran investor diperburuk oleh memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Presiden AS Donald Trump baru-baru ini menaikkan tarif impor terhadap barang-barang dari Tiongkok, dengan kenaikan yang kini secara efektif mencapai 145 persen.

Sebagai balasan, Tiongkok juga menaikkan tarif terhadap barang-barang dari AS, memicu kekhawatiran bahwa bea masuk bisa terus naik dan memperparah ketegangan.

Saham-saham di Tiongkok pun lesu. Indeks saham unggulan CSI300 turun 0,5 persen dan indeks Hang Seng Hong Kong juga turun 0,38 persen.

"Prospeknya saat ini jauh lebih suram dan penuh ketidakpastian dibandingkan sebulan lalu. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dan tidak bisa dijawab," ujar James Athey, Manajer Pendapatan Tetap di Marlborough.


Dolar AS Kehilangan Dominasinya

Dalam beberapa minggu terakhir, dolar AS menghadapi tekanan jual terus-menerus.

Pada hari Jumat (11/4/2025), dolar melemah hingga ke level terendah dalam sepuluh tahun terhadap franc Swiss, dan menyentuh level terendah enam bulan terhadap yen Jepang.

Sementara itu, euro menguat tajam sebesar 1,7 persen ke angka 1,13855 dolar, level yang terakhir terlihat pada Februari 2022.

 Indeks dolar yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama lainnya turun di bawah angka 100 untuk pertama kalinya sejak Juli 2023.

Pelemahan dolar memberikan kelegaan sementara bagi mata uang negara berkembang, termasuk ringgit Malaysia yang sempat tertekan dalam beberapa pekan terakhir.

Baca juga: Dunia Geger! Trump Ancam Perang Dagang, Lalu Tiba-Tiba Rem Mendadak

Harga Emas Naik, Minyak Melemah

Di pasar komoditas, emas menjadi primadona. Arus modal dari investor yang mencari perlindungan membuat harga emas melonjak ke rekor tertinggi.

Harga emas terakhir tercatat naik 1,25 persen menjadi 3.214 dolar AS per ons.

Sebaliknya, harga minyak justru turun.

Pada awal perdagangan hari Jumat, minyak mentah AS jenis West Texas Intermediate (WTI) turun 0,48 persen, sementara minyak mentah Brent melemah 0,46 persen.

Sebelumnya, harga minyak sudah anjlok lebih dari 2 dolar per barel pada hari Kamis.

Data Ekonomi Diabaikan Pasar

Meskipun Departemen Tenaga Kerja AS merilis data yang menunjukkan penurunan harga konsumen secara tak terduga pada bulan Maret, pasar tidak terlalu bereaksi.

Banyak analis percaya bahwa dampak dari penurunan tarif yang sementara tidak akan mampu menahan laju inflasi jika perang tarif terus berlanjut.

Lebih dari itu, aksi jual besar-besaran di pasar obligasi AS telah memicu kekhawatiran akan terulangnya situasi seperti pada masa awal pandemi COVID-19, saat para investor secara besar-besaran menjual obligasi untuk mengumpulkan uang tunai.

Baca juga: Perang Dagang Makin Panas, Trump Naikkan Tarif Impor China hingga 104 Persen, Beijing Tak Gentar

(Serambinews.com/Sri Anggun Oktaviana) 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved